“Anu Ning, semoga Tolak tidak menyusahkan ya di sini,” ucap Mak Sum tiba-tiba, saat mengulurkan loyang dengan adonan kue yang tertata rapi dan menunggu untuk dimasukkan ke dalam oven.
“Oh nggak Mak, enggak…” jawabku sambil tersenyum.
Saya tiba-tiba ingat penuturan Dini, salah seorang santri putri yang membantu bersih-bersih ndalem. Waktu itu, saya sedang tiduran di lantai kamar sambil membaca novel dan para santri putri sedang menyapu ndalem. Ada Dini, Aina, dan Ira. Hari itu, semua orang di ndalem pergi menghadiri undangan pernikahan salah seorang alumni santri. Kecuali saya. Kebetulan saya memang tidak enak badan sehingga memutuskan untuk diam di rumah. Barangkali karena merasa di ndalem tidak ada orang, santri-santri putri itu bergosip meski tetap sambil bisik-bisik.
“Eh si Tolak itu agak-agak gimana,” Dini membuka percakapan.
“Gimana memangnya? Kan sekamar sama kamu ya?” tanya Ira penasaran.
“Iya, itu diaaa. Tapi jangan cerita-cerita ya, takut nanti jadi gosip ke mana-mana…” pinta Dini.
“Kenapa sih? Tolak kenapa?” Aina tidak mau ketinggalan.
Kudengar hening cukup lama. Tanpa sadar, saya berhenti membaca. Ikut menunggu jawaban Dini.
“Jadi gini, Tolak itu ya suka senyum-senyum sendiri orangnya. Dimarahi, senyum. Diomelin, senyum. Kamu tahu mbak Khusnul keamanan kan? Yang seremnya naudzubillah itu… kemarin mbak Khusnul marah-marah sama Tolak, karena ketahuan jajan di jam ngaji. Lah itu, Tolak malah senyum-senyum. Kita aja kadang cuma disapa mbak Khusnul bawaannya pengen nangis kan? Ini loh dimarah-marahiiin. Bayangin aja!”
Kudengar suara “Haa?!” yang kompak dari dua santri lain yang mendengar penuturan Dini.
“Bukan cuma itu… yang aneh lagi tuh kalau habis mandi. Kan biasa tuh pakai deodoran. Ini si Tolak pasti cuma ketiak kanan doang yang dipakein deodoran. Kalau nggak dibantu teman-temannya, ya ketiak kirinya nggak dipakein deodoran. Pakai baju gitu juga. Yang dimasukin lengan kanan doang, lengan kirinya dibiarin. Makanya pasti kalau habis mandi itu teman-temannya ikut repot bantuin dia pakai deodoranlah, pakai bajulah. Soalnya kalau enggak, nanti cuma sebelah kanan doang yang dipakai, sebelah kirinya enggak.”
“Kamu doang yang repot, teman-temannya biasa aja itu bantuin Tolak,” karena tidak sabar mendengar gosip anak-anak yang makin melantur, saya menyibak gorden kamar dan langsung memotong kegiatan bergosip itu di tengah-tengah.
Ketiga anak yang sedang bersih-bersih itu kelabakan. Mereka tidak menyangka kalau ternyata di ndalem ada orangnya. Pasti dipikirnya semua pergi berangkat undangan. Mereka langsung mengucapkan maaf bergantian karena sudah bergosip di tengah aktivitas nyapu-nyapu sore.
Obrolan anak-anak itu membuat saya tiba-tiba merasa was-was. Takut Tolak dirundung oleh teman-teman yang lain karena dianggap berbeda. Kadang-kadang perundungan memang masih saja terjadi meskipun sudah berkali-kali pengasuh pondok memperingatkan para santrinya untuk tidak saling merundung satu sama lain.
“Anu Ning, Tolak itu memang agak berbeda. Tetapi dia sebetulnya baik. Mohon bimbingannya ya Ning,” ucapan Mak Sum menyentakkanku dari lamunan.
Saya mengangguk-angguk sambil mengeluarkan loyang-loyang yang kuenya kekuning-kuningan, pertanda sudah matang. Dalam kepalaku justru berkecamuk banyak hal. Memikirkan kemungkinan Tolak dirundung teman-temannya. Memikirkan apakah Tolak bisa survive atau tidak. Ah, tapi di sini semua baik-baik. Mustahil Tolak kenapa-kenapa. Saya berusaha berpikir positif, menenangkan kemelut yang berkecamuk.