Tongkat Berselendang Merah

109 views

Ningsih sampai meletakkan sapu saat tahu suaminya berteriak histeris. Kedua kakinya melangkah tergopoh-gopoh menuju sumber suara. Ia mendapati wajah suaminya, Parto, pucat pasi. Kedua bola matanya mengerjap-ngerjap, napas naik turun, nyaris tersengal-sengal. Sesekali bibir mengatup dengan gigi gemerutuk. Ningsih membenarkan posisi kepala Parto yang jauh dari bantalnya. Ia memapah suaminya pelan dengan paras datar.

“Tidak mungkin! Kursi itu milikku!” Teriakan itu sudah biasa didengar telinga Ningsih. Parto baru membuka suara setelah disodorkan segelas air. Ningsih menatap tajam wajah suaminya yang hampir tidak berwajah manusia. Dalam hati Ningsih bertanya-tanya, sebanarnya apa yang sedang terjadi dengan suaminya?

Advertisements

Semenjak suaminya gagal menjadi kepala desa, Parto tak pernah keluar rumah. Ia selalu meringkuk di kamar dan berteriak seperti orang kesetanan. Ningsih sudah kehabisan akal untuk membawanya berobat. Tak hanya dokter spesialis, beberapa tabib yang ia kenal dan dengar dari orang lain sudah ia datangi, tapi nihil. Kesehatan Parto bertambah parah. Ia selalu meracau tak kenal waktu.

Pernah satu minggu lalu, Ningsih mengunci pintu kamar Parto dan menjejali bekas pakaian yang terdapat di celah-celah kamar. Cara ini dilakukan Ningsih supaya tidak mengganggu waktu santainya. Ningsih dari dulu memang perempuan yang suka bersolek dan berbelanja ria. Beraneka buah-buahan disajikan di atas meja tepat di hadapannya. Satu buah anggur ia comot dan menikmatinya senikmat mungkin. Kedua matanya menonton acara TV kesukaannya. Meski keadaan Parto membuatnya bosan, ia memilih bertahan karena masih ingin menikmati sisa kekayaan Parto waktu menjabat sebagai kepala desa.

***

Konon, Pak Parto menjabat sebagai kepala desa sampai lima belas tahun lamanya. Tak ada yang bisa menggantikan kedudukan Pak Parto. Ia terkenal sebagai penguasa kursi panas. Hanya ia yang bisa menaklukkan kursi kepala desa. Tak ada yang berani mencalonkan diri sebagai kepala desa melawannya. Barang siapa yang berani menandinginya, maka orang itu harus siap-siap terkuras hartanya dan menerima kekalahan.

Pada waktu pemilihan kepala desa kali ini, Subowo mencoba menyaingi Parto. Ia bukan orang biasa seperti para pesaing Parto sebelumnya. Ia terkenal kaya, memiliki perusahaan di mana-mana, beristri empat. Ia memiliki banyak pendukung yang tak kalah banyak dengan pendukung Parto. Orang yang memilihnya akan mendapat banyak bantuan. Masyarakat pun banyak yang tergiur.

***

Parto duduk di kursi dinasnya dalam keadaan tak biasa. Wajahnya tersirat rasa cemas. Kabar pencalonan Subowo yang baru ia dengar membuatnya gelisah dan terancam. Seberapa besar pun kekuasaan yang dirangkul seseorang, sedikit demi sedikit akan mengempis jika ada orang yang ingin menyainginya.

Parto mulai membuat ancang-ancang untuk mengalahkan Subowo. “Kita lihat saja nanti, siapa yang akan berhasil menduduki kursi ini,” ancam Parto sesekali menepuk meja yang ada di hadapannya.

Bibir hitamnya akibat kepulan rokok tersenyum sinis. Tiba-tiba ia teringat sesuatu. Ide bagus rupanya baru saja nuncul di otaknya. Ide yang pernah membuatnya bisa menjadi pejabat dan sudah lama terlupakan. Ia harus memanfaatkannya kembali setelah sekian lama tak ada orang yang menyainginya untuk mencalonkan diri sebagai kepala desa. Ia mulai memejamkan mata disertai bibir komat kamit. Lima menit kemudian, bau anyir mulai tercium memasuki kedua lubang hidung Parto. Pertanda sebentar lagi makhluk halus yang dibutuhkan Parto segera datang.

“Rupanya kau masih membutuhkanku, makhluk sombong.”

Parto langsung membungkukkan badannya. Mata Parto terasa berat untuk menatap makhluk halus itu. Sebab suaranya seperti halilintar. Parto sempat melihat rambutnya yang panjang melilit di lantai. Perasaan takut ia buang jauh-jauh. Satu per satu Parto mulai mengutarakan maksudnya.

“Kau jaga baik-baik benda ini, jika tidak, rasakan sendiri akibatmya,” pesan makhluk halus itu setelah menjelaskan tata cara menggunakan bendanya. Benda itu berbentuk tangkai kayu panjang dan dililiti kain berwarna merah. Sebut saja tongkat berselendang merah. Tangan Parto terasa dingin ketika memegangnya.

“Baik, Tuan,” tanpa pamit makhluk halus itu langsung pergi meninggal Parto sendirian.

***

Hari pemilihan calon kepala desa sudah tiba. Satu per satu orang bergantian memilih kepala desa sesuai pilihan masing-masing di TPS (Tempat Pemungutan Suara). Subowo nampak di atas panggung yang telah disediakan bagi calon kepala desa. Wajahnya tersenyum sumringah. Nampak sekali kalau dia yakin akan menang. Berbeda dengan Parto yang tidak terlihat di sebelah tempat duduk Subowo. Kabar yang terdengar, Parto tidak bisa hadir disebabkan sakit. Mendengar kabar itu, dalam hati Subowo tertawa terbahak-bahak. Ia membayangkan Parto sedang terbaring lemah dengan perasaan cemas karena sebentar lagi ia akan menggantikan posisi Parto.

***

Hari sudah mulai siang. Pemilihan kepala desa masih berjalan lancar. Tak ada kegaduhan antara pendukung masing-masing calon. Setelelah mencoblos, masyarakat pulang dengan tertib. Tapi tidak dengan perasaan orang yang memilih Subowo, mereka seperti orang linglung. Dalam diri mereka bertanya-tanya, kenapa tangannya mencoblos Parto, bukan Subowo pilihannya. Anehnya, mereka lupa kejadian itu. Setelah keluar dari tempat pencoblosan, mereka bersikap seperti tak ada apa-apa.

Rupanya, Parto yang menjadi dalang dari semua itu. Ia sengaja beralasan sakit. Padahal ia mengamati mulai tadi pagi dari atas tempat pencoblosan. Ia terbang menggunakan tongkat berselendang merah pemberian makhluk halus tersebut.

Tongkat panjang berselendang merah itu oleh Parto dikibas-kibaskan untuk menaburkan cahaya buram tepat di atas tempat pencoblosan. Mata masyarakat yang mencoblos merasakan perih, pandangan mereka kabur. Sebab itulah pendukung Subowo mengalihkan pilihan ke gambar Parto. Berbeda dengan Parto yang terkekeh-kekeh menyaksikan dari atas. Ia begitu bersemangat mengibaskan selendang merah yang ia pegang.

“Dasar Subowo tolol. Asal kau tahu, hari ini tak cukup jika hanya mengandalkan kekayaan, orang licik sepertiku kau lawan,” ucap Parto seraya melihat ke arah Subowo yang duduk tenang. Parto begitu membanggakan cara liciknya.

***

“Kau nanti akan mendapatkan bagian dari uang rakyat,” ucap Parto kepada anak buahnya. Ia dengan kelicikannya berpura-pura berbaring lemah di kamarnya.

“Kenapa Tuan begitu yakin? Pendukung Subowo lebih banyak dari pendukung Tuan,” tanya anak buah Parto ragu.

“Serahkan saja kepada bosmu ini, Parto kok diragukan!” Parto selalu optimis atas rencananya. Ia sangat yakin akan memenangkan pemilihan kepala desa. Mulutnya selalu berbicara tanpa lelah dan membuat rencana-rencana busuk untuk menindas rakyat. Namun, ia sampai lupa memandikan kembang tujuh rupa pada tongkat berselendang merah yang berada di dekat ranjangnya. Padahal malam hampir tiba.

“Kabar buruk, Bos. Subowo memenangkan pemilihan kepala desa,” anak buahnya datang tergopoh-gopoh. Parto kaget bukan kepalang. Ia langsung teringat makhluk halus dan tongkat panjang berselendang merah itu. Ia telah berbuat lalai karena kesombongannya. “Tidak mungkin. Kursi itu milikku!” Parto berteriak histeris, kasur di ranjangnya ia bolak balik. Anak buahnya lari tungang langgang.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan