Tradisi Roan dan Pendidikan Karakter Santri

685 views

Banyak dari kita kaum santri, utamanya masyarakat awam, yang memandang lingkungan pondok pesantren sebagai tempat kotor dengan banyak penyakit yang sering menimpa santri-santrinya. Penyakit yang paling umum dan khas diderita para santri adalah penyakit kulit, atau dikenal dengan istilah gudig atau gudigen.

Penyebabnya karena kaum santri dinilai kurang dalam menjaga kebersihan, apalagi karena tinggal di pesantren, banyak santri yang harus memakai tempat dan peralatan yang sama dalam segala hal dengan sesama santri.

Advertisements

Mandi, misalnya, mereka harus bergantian menggunakan tempat mandi dan airnya pun kadang tidak selalu mengalir dan bersih. Dari situlah timbul banyak permasalahan kesehatan. Karena, ada stigma bahwa pondok pesantren sebagai tempat yang cenderung kotor dan kurang menjaga kebersihan.

Di sisi lain, pesantren mempunyai tradisi yang terus dilestarikan dan secara turun temurun, yakni tradisi bersih-bersih lingkungan pesantren. Mereka biasa menyebutnya dengan istilah roan. Tradisi ini dilakukan oleh semua santri yang tinggal di pesantren, baik senior maupun junior, baik santri putri maupun santri putra. Biasanya, roan dilakukan di hari libur. Jumat biasanya ditetapkan sebagai hari hari roan untuk para santri untuk membersihkan lingkungan pondok.

Setiap pesantren mempunyai kebijakan masing-masing dalam menetapkan jadwal roan untuk para santrinya. Ada pesantren yang menetapkan bahwa seluruh santri harus mengikuti roan satu minggu sekali setiap hari Jumat. Ada juga pesantren yang membuat jadwal bergilir bagi santri untuk roan. Biasanya jadwal ini ditetapkan berdasarkan kamar masing-masing. Jadwal ini dibuat untuk mempermudah santri dalam menyesuaikan kekompakan dalam melaksanakan kegiatan bersih-bersih ini.

Kegiatan bersih-bersih atau roan misalnya meliputi pembersihan kamar mandi, yaitu menguras bak mandi dan juga membersihkan closed. Tidak ketinggalan juga saluran air dan tempat berwudhu serta tempat mencuci pakaian. Dalam roan, para santri akan mengumpulkan sampah dan membuangnya ke tempat pembuangan akhir. Ada juga santri yang bertugas membersihkan ndalem atau rumah kiai.

Kegiatan ini disambut dengan antusias oleh para santri, karena mereka biasanya senang mendapat tugas bersih-bersih ini sembari bercanda dengan teman seperjuangan agar tidak merasa lelah.

Di pesantren yang mempunyai peraturan ketat dalam hal kebersihan, sesuai peraturan, jika ada pakaian yang jatuh dan tidak ada yang mengambil melebihi tujuh hari, maka akan dibuang oleh petugas piket roan. Dan jika ada yang menggantung jemuran melebihi tujuh hari, maka pengurus juga akan menyita pakaian tersebut sampai si pemilik mencari dan membayar denda serta menjalani hukuman takzir agar bisa mendapatkan pakaiannya kembali.

Peraturan ini memang terlihat kejam, namun hal ini sangat berguna bagi kehidupan santri di masa depannya. Melalui tradisi roan, pesantren melatih santri agar lebih disiplin lagi untuk menjaga kebersihan dirinya sendiri serta menjaga kebersihan lingkungan tempat tinggalnya sehari-hari. Karena tempat di pesantren milik umum dan banyak yang memakainya mereka harus sadar diri memikirkan teman yang lain. Mereka tidak boleh seenaknya saja melakukan suatu hal di pesantren jika tidak mau menjalani hukuman takzir atau denda.

Sebenarnya, pihak pesantren pun tengah berupaya menghilangkan stigma masyarakat bahwa pesantren adalah tempat yang kotor. Namun hal itu ternyata tidaklah mudah, karena menanamkan karakter kepada santri membutuhkan proses yang lama agar mereka terbiasa hidup bersih dan sehat. Karena terdapat ratusan bahkan ribuan santri yang ada di sebuah pesantren, maka tidak akan bisa jika harus memukul sama rata dalam hal pendidikan karakter ini. Haruslah perlahan dan penuh dengan kesabaran. Lama-lama santri-santri akan mengerti pentingnya menjaga kebersihan dan kesehatan jika mereka sendiri telah mengalami hal yang sangat menakutkan selama tinggal di pesantren, yaitu tertular gudig.

Dalam hal lain, kegiatan roan juga mempunyai banyak manfaat. Selain sebagai media pendidikan karakter untuk mencintai kebersihan, kegiatan ini bertujuan untuk membentuk jiwa sosial santri yang lebih tinggi lagi. Berani bersosial untuk sebuah tanggung jawab dan gotong-royong dalam meringankan pekerjaan. Santri yang mempunyai jiwa anti-sosial atau susah bergaul biasanya akan lebih mudah terbuka jika kegiatan ini. Hal ini begitu baik untuk bekal kehidupan santri di masa depan dalam menghadapi lingkungan sosial yang lebih luas lagi, yaitu lingkungan masyarakat.

Wallahua’lam Bisshawab.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan