Saya cukup penasaran ketika di media sosial berseliweran tagar boikot Trans7 (#BoikotTrans7). Setelah mengecek ke sana-sini, rupanya ada tayangan di Trans7 yang dianggap melecehkan atau merendahkan tradisi di pesantren, dalam hal ini Pondok Pesantren Lirboyo, Kediri, Jawa Timur.
Saya tak puas kalau hanya menyimak reaksi-reaksi kemarahan terhadap tayangan Trans7 tersebut. Saya harus melihat video aslinya. Seperti apa isi tayangannya sehingga bisa menimbulkan kemarahan publik, dalam hal ini kalangan pesantren.

Rupanya, yang menjadi objek kemarahan adalah tayangan program Xpose Uncensored yang tayang pada 13 Oktober 2025. Sesungguhnya, Xpose merupakan salah satu program unggulan Trans7. Ia lebih merupakan program hiburan, yang seringkali menayangkan gosip-gosip artis atau selebritas.
Yang saya heran, kenapa tiba-tiba sosok seorang kiai dan kehidupan di pesantren muncul dalam tayangan Xpose Uncensored itu? Apakah seorang kiai sudah dikelompokkan sebagai selebritas atau publik figur? Apakah kehidupan di pesantren sudah disamakan dengan gaya hidup selebritas atau panggung hiburan? Apakah Kiai Lirboyo sama dengan Ari Lasso?
Dari sisi pengelompokan dan penempatan konten tayangannya saja sudah problematik. Jika Trans7, sebagai salah satu media televisi terbesar di Indonesia, menganggap kehidupan pesantren sama dengan panggung hiburan dan menyamakan seorang kiai dengan selebritas sehingga diangkat dalam program Xpose Uncensored, maka prinsip-prinsip jurnalismenya layak dipertanyakan.
Jika melihat isi tayangannya, saya tak tahu apakah itu merupakan produk hiburan atau produk jurnalistik atau siaran yang didasarkan pada prinsip-prinsip jurnalistik. Jika disebut produk hiburan, jelas itu bukan tayangan yang menghibur. Jika disebut siaran jurnalistik, jelas itu bukan merupakan hasil kerja jurnalistik yang sesuai dengan prinsip-prinsip jurnalisme.
Jika dilihat secara keseluruhan, tayangan itu memang sangat problematik, entah disebabkan oleh prasangka atau kebodohan kreatornya. Tayangan berdurasi sekitar tiga menit itu sesungguhnya terdiri dari dua scene pokok. Yang pertama, barisan santri yang bersalaman dengan kiai dengan jalan membungkuk atau jongkok. Dalam tayangan itu, sebagian menyerahkan amplop kepada kiai. Yang kedua, kiai yang sama turun dari mobil (mewah) Alphard.
Andaikata gambar tersebut ditampilkan seperti apa adanya, tak akan berimplikasi apa-apa. Ia adalah fakta. Fakta akan berbicara apa adanya. Masalah muncul justru ketika dalam tayangan tersebut, gambar-gambar itu dilengkapi dengan teks narasi (audio description) dan audio narasi (voice over). Sebab, pertama, narasinya sepenuhnya berupa judgment (penghakiman) yang menjurus pada negative framing. Kedua, pilihan diksi dan karakter vokal naratornya dibuat-buat sedemikian rupa sehingga muncul kesan sedang mengolok-olok “realitas” yang tertayang.
Inilah narasi negative framing dan olok-olok yang membingkai “realitas” yang tertayang itu. “Santrinya aja minum susu kudu jongkok, emang gini kehidupan pondok?” dan “Kiainya yang kaya raya, tapi umatnya yang kasih amplop“.
Dengan begitu, apa yang ditayangkan Trans 7 melalui program Xpose Uncensored tersebut merupakan produk siaran (jurnalistik?) yang cacat dan mengandung kesalahan-kesalahan fatal.
Pertama, menempatkan sosok kiai sebagai selebritas dan kehidupan pesantren sebagai panggung hiburan sehingga tradisi itu diangkat ke dalam program Xpose Uncensored. Sebab, kemasan Xpose Uncensored memang program hiburan.
Kedua, penayangan program tersebut tidak mengikuti prosedur kerja jurnalistik atau penyiaran. Contohnya, tidak didahului dengan riset, wawancara, atau pendalaman. Narasi yang membungkus gambar-gambar yang ditayangkan itu membuktikan bahwa yang menyusun narasi tidak paham realitas sebenarnya dari yang dinarasikan. Mereka tidak paham pada tradisi yang hidup begitu lama di dunia pesantren.
Ketiga, penayangan video kontroversial tersebut sekaligus melanggar kode etik jurnalistik dan etika penyiaran, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang (UU) Pers maupun UU Penyiaran.
Karena cacat dan mengandung kesalahan-kesalahan fatal tersebut, sangat wajar jika kemudian tayangan tersebut menimbulkan kemarahan publik, terutama dari kalangan pesantren. Pertanyaannya adalah, kenapa materi atau konten seperti itu bisa lolos tayang? Karena kelalaian, kesengajaan, atau kebodohan?
Rasanya sulit dimengerti lembaga penyiaran sekaliber Trans7 (bagian dari Trans Corp) kalah jauh dari duniasantri.co dalam hal bagaimana melakukan kritik yang cerdas, kritik yang konstruktif, kritik yang beradab.
Portal duniasantri.co, meskipun memposisikan diri sebagai medianya kaum santri, justru begitu sering mengkritik dunia pesantren, dunianya sendiri. Begitu banyak tulisan-tulisan santri di duniasantri.co yang merupakan otokritik. Ini bukti bahwa pesantren tidak antikritik.
Karena itulah, judul tulisan ini menggunakan frasa “jurnalisme jongkok” pada tayangan Trans7 untuk menggambarkan dua hal. Pertama, produk siarannya atau jurnalistiknya nir-kecerdasan yang dalam ungkapan disebut otak jongkok. Kedua, “jurnalisme jongkok” menggambarkan jurnalisme yang menghamba (dengan cara jongkok atau ngesot) pada rating, viralitas, dan kapital. Ia tak peduli pada tanggung jawab publik. Yang dipedulikan adalah bagaimana produknya mendatangkan sebanyak-banyaknya cuan.
Jadi siapa sebenarnya yang jongkok bahkan ngesot? Santri atau Trans7?