Dayah atau pesantren merupakan sistem pendidikan tradisional di Indonesia yang paling genuine dan mampu bertahan hidup hingga sekarang ini. Tentu saja ini bukan sekadar proses alami, tapi pesantren memang memiliki elemen-elemen sub-kultur yang unik dan khas berciri khas bangsa Indoneisa.
Salah satu keunikan lembaga ini adalah independensinya yang kuat. Ia bebas dari segala bentuk intervensi luar. Lembaga ini, pada tingkat tertentu, bisa menjadi salah satu contoh self-governing school —sekolah yang memilki otonomi yang kuat. Teungku sebagai pemimpin pesantren atau dayah dengan leluasa mengekspresikan ide-idenya dalam menjalankan semua aktivitas pesantren dengan tujuan utama meningkatkan kemampuan santri.
Untuk menjaga independensi ini, dayah menyelenggarkan berbagai jenis kegiatan ekonomi untuk memenuhi kebutuhan finansial. Pesantren juga menyelenggarakan pelatihan-pelatihan keterampilan bagi para santri, agar mereka dapat mandiri segera setelah selesai belajar, tanpa tergantung pada orang lain termasuk pemerintah. Keterampilan dasar yang biasa diberikan adalah, misalnya, perdagangan, industri rumah tangga, dan berbagai kegiatan yang mendatangkan income.
Dayah dalam mempersiapkan masyarakat madani untuk membangun partisipasi aktif dunia pendidikan menghadapi tantangan semakin besar. Kontribusi lembaga pendidikan Islam, tidak saja dituntut untuk mengkristalisasikan semangat ketuhanan sebagai pandangan hidup universal, lebih dari itu institusi ini harus lebur dalam wacana dinamika.
Dayah sebagai lembaga alternatif diharapan mampu menyiapkan kualitas masyarakat yang bercirikan semangat keterbukaan, egaliter, kosmopolit, demokratis, dan berwawasan luas, baik menyangkut aspek spiritual, maupun ‘ilmu-ilmu”. Oleh karena itu, akhir-akhir ini penelaahan kembali pada lembaga pendidikan Islam mendapat perhatian serius.
Menyikapi realitas pendidikan sekarang, dayah tampil memodernisasi pendidikan Islam. Usaha ini dimaksudkan untuk menemukan format pendidikan ideal sebagai sistem pendidikan alternatif bangsa Indonesia masa depan. Kelebihan dan keunggulan pendidikan masa lampau dijadikan sebagai kerangka acuan untuk merekonstruksi konsep pendidikan yang dimaksudkan. Sedang berbagai bentuk sistem pendidikan lama yang tidak relevan lagi untuk ruang dan waktu, akan ditinggalkan.
Kontribusi dayah dalam memadukan kedua bentuk institusi pendidikan itu melahirkan sistem pendidikan Islam yang komprehensif, tidak saja hanya menekankanpenguasaan terhadap khazanah keilmuan Islam klasik tetapi juga mempunyai integritas keilmuan.
Lembaga pendidikan seperti ini, dalam arti yang sederhana, telah terwakilkan oleh lembaga dayah. Karena pada dayah ini para santri tidak hanya diproyeksikan mampu menguasai Arab klasik, tetapi juga bahasa Inggris yang dibutuhkan dalam mencari ilmu untuk masa sekarang. Dan kurikulum dayah menghadirkan perpaduan yang liberal, yakni tradisi belajar klasik dengan gaya Barat yang diwujudkan secara baik dalam sistem pengajaran maupun mata pelajarannya.
Namun demikian, dayah harus terus berbenah diri serta inovatif dalam mengembangkan sistem pendidikan dan pengajarannya, agar dapat bersaing di era global ini dengan lembaga pendidikan lainnya dalam menghasilkan lulusan yang bermutu. Selain itu juga karena dayah mempunyai tugas yang lebih berat dibandingkan dengan lembaga pendidikan lain. Sebab, dayah dituntut bukan hanya menghasilkan lulusan yang berkompeten di bidang IPTEK, namun juga mempunyai IMTAQ yang berkualitas serta berkarakter, juga mampu menjawab beragam tantangan zaman.
Salah satu fenomena mendasar yang terjadi hampir merata di dunia pendidikan kaum muslim kontemporer adalah terpisahnya lembaga-lembaga pendidikan yang memiliki konsentrasi dan orientasi yang berbeda. Ada lembaga yang menitikberatkan orientasinya pada ilmu-ilmu umum dan di sisi lain ada lembaga yang hanya memfokuskan diri pada ‚ilmu-ilmu tradisional.
Realitas ini lebih dikenal dengan dualisme pendidikan. Pendidikan dalam pondok pesantren pada prinsipnya menghilangkan dualisme pendidikan tersebut. Kedua bentuk lembaga ini sama-sama memiliki sisi positif yang patut dikembangkan dan juga mempunyai kelemahan yang sama sekali harus dibuang dan ditinggalkan. Usaha tertuju pada upaya untuk mengkompromikan kedua lembaga ini dengan memadukan sisi baik antara keduanya, sehingga pada gilirannya akan melahirkan sistem pendidikan yang ideal. Sistem pendidikan seperti ini disebut dengan sistem pendidikan Indonesia menuju ke arah titik temu atau konvergensi. Usaha ini berawal pada perpaduan unsur-unsur keilmuan.
Sejarah pendidikan Islam telah menunjukkan bahwa keseimbangan antara ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu dunia terdapat pada masa kejayaan dan kegemilangan Islam itu. Seperti diungkap oleh Hasan Langgulung, pakar pendidikan, keseimbangan ini tidaklah hilang kecuali pada zaman kelemahan.
Jadi kelemahan dan kemunduruan umat Islam bukan karena Islam, tetapi karena menjauhi Islam. Artinya, umat Islam ketika itu tidak mau lagi menerima ilmu-ilmu yang bersumber dari Barat. Dengan demikian, sistem pendidikan baru ini mengacu pada perpaduan kedua disiplin keilmuan tersebut. Oleh karena itu, dunia pendidikan Islam harus memperbarui diri guna mengejar ketertinggalannya, dan untuk memenuhi tuntutan teknologi di masa depan.
Lembaga pendidikan Islam di masa mendatang mestinya tidak terkonsentrasi penuh pada bidang kajian Islam saja, lebih dari itu institusi pendidikan tersebut juga menaruh perhatian yang tinggi pada penguasaan bidang matematika, fisika, kimia dan biologi (MIPA), dan sejenisnya. Bidang ini diperlukan untuk meningkatkan daya saing umat Islam di era sekarang yang dikenal dengan era 4.0 demi menyongsong era selanjutnya, baik 5.0 maupun selanjutnya.
Ide pemikiran ini tertuju pada upaya untuk memasukkan kurikulum umum yang selama ini diterapkan di dunia pendidikan umum ke dalam pendidikan Islam yang telah memiliki kurikulum tersendiri, sehingga yang akan terjadi nantinya kombinasi dua bentuk unsur keilmuan dalam skala yang utuh.
Konsep tersebut pada dasarnya juga merupakan usaha untuk mengkompromikan sistem pendidikan modern dengan sistem pendidikan tradisional. Oleh karena itu, konsep keterpaduan (keislaman, keindonesiaan, dan keilmuan) di atas, merupakan solusi dalam rangka menyikapi munculnya split personality, sebagai akibat dari tidak kompleksnya unsur keilmuan dalam pendidikan.
Dayah dalam kehidupan masyarakat telah berperan sebagai lembaga yang tidak hanya menghasilkan ulama atau tokoh agama, tetapi juga para pemimpin dan profesional bangsa yang saleh yang bergerak di bidang tertentu dan dijiwai dengan semangat moralitas agama yang dicita-citakan oleh pendidikan nasional. Karena perkembangan sistem pendidikan pesantren, santri dituntut memiliki komitmen yang kuat terhadap kompetensi dan profesionalisme dalam menjalankan tugasnya sebagai agen perubahan agama juga agent of change di bidang lainnya dalam masyarakat.
Seseorang dikatakan kompeten dan profesional karena pada dasarnya memiliki sikap dedikasi yang tinggi terhadap tugas-tugasnya, komitmennya terhadap proses, kualitas kerja dan kesinambungan, dengan selalu memperbaiki dan memperbarui model atau cara kerjanya sesuai dengan tuntutan zamannya. Konsepnya adalah al-muhafadzhah ‘alal qadiimish shaalih wal akhdzu bil jadiidil ashlah (memelihara atau meningkatkan nllai-nilai lama yang masih relevan dan mengambil dan mengupayakan nilai-nilai baru yang lebih relevan).
Sistem pendidikan dayah memiliki unsur-unsur yang terintegrasi antara Islam, keindonesiaan, dan ilmu pengetahuan. Sistem pendidikan terpadu tersebut diproyeksikan sebagai alternatif untuk menjawab tuntutan masyarakat sipil. Kompetensi santri merupakan komitmen untuk mempelajari ilmu-ilmu keislaman dan umum di dayah, selain menguasai berbagai disiplin ilmu sebagai bekal hidup di masyarakat nantinya. Sehingga mereka diharapkan mampu menghadapi segala tantangan di era digital seperti saat ini. Kita sangat berharap dengan sistem pendidikan yang diusung profesionalisme santri harus selalu ditingkatkan sebagai modal dalam menegakkan Islam di tengah kehidupan yang berkembang pesat dan berubah.