Di manakah Nahdhatul Ulama (NU) Sumatra Utara dilahirkan? Di Medan, Ibu Kota Provinsi? Ternyata bukan. Ormas Islam terbesar dunia tersebut ternyata dilahirkan di Kota Padangsidimpuan 400 KM dari kota Medan. NU tingkat provinsi itu lahir di kota yang jika ditempuh dari jalan darat memakan waktu dua belas jam itu. Lalu, siapa tokoh di balik kelahiran itu?
Tokoh di balik lahirnya NU di Sumatra Utara adalah Tuan Guru Musthafa Hussein Nasution al-Mandaili. Tuan guru kharismatik itu dilahirkan pada tahun 1303 H atau 1886 M di Tano Bato, Kabupaten Mandailing Natal, Sumatra Utara. Tuan Guru Musthafa adalah putra ketiga dari dari pasangan H Umar Nasution-Hj Halimah. H Umar Nasution adalah seorang pedagang yang taat beragama, sehingga tidak heran jika sejak kecil Muhammad Yatim, nama kecil Tuan Guru Musthafa, dididik untuk kelak menjadi seorang yang taat dan alim.
Pada usia sekolah, Muhammad Yatim kecil didaftarkan oleh Umar Nasution ke Sekolah Rakyat Kayu Laut untuk menimba ilmu di sana hingga tamat. Yatim kecil ternyata adalah seorang yang cerdas. Ia dilamar untuk meneruskan pendidikannya ke jenjang Sekolah Raja di Bukittinggi. Tapi Umar berpendapat lain. Ia mengirimkan anaknya, Muhammad Yatim, untuk berguru kepada Syeh Abdul Hamid Lubis, ulama terkemuka Mandailing yang tinggal di Huta Pungkut. Yatim remaja, kira-kira berumur sebelas tahun ketika itu, menjadi santrinya Syeh Abdul Hamid Lubis.
Berkat ketekunannya, Mumammad Yatim direkomendasikan oleh Syeh Abdul Hamid untuk berangkat ke Makkah (1901). Di sana tinggal di keluarga Syeh Abdul Qodir Almandily. Pada satu kesempatan setelah wukuf di Padang Arafah, Muhammad Yatim berganti nama menjadi Musthafa Hussein Nasution al-Mandaili. Ia belajar di Makkah selama lima tahun. Tadinya, ia berniat hendak melanjutkan pendidikannya ke Mesir. Akan tetapi, seorang sahabat mengatakan bahwa akan lebih baik baginya untuk tetap menimba ilmu di Makkah hingga tahun 1915. Setelah tamat dari Madrasah Alshualatiyah Alhindiyah ia diberi kesempatan untuk mengajar ilmu fiqh di sana.
Pendiri Madrasah Al-Musthafawiyah
Tuan Guru Musthafa Hussein kembali ke Mandailing setelah ayahnya, H Umar Hussein Nasution, meninggal. Selain itu, ia pulang demi memenuhi panggilan ibunda tercinta. Di Tano Bato, Tuan Guru Musthafa mendirikan Madrasah Al-Musthafawiyah yang oleh penduduk setempat dikenal sebagai sekolah Arab. Madrasah tersebut berkembang dengan baik. Namun apa daya, bencana banjir besar yang melanda Tano Bato dan sekitarnya (28/12/1915) meluluhlantakkan semuanya.
Pada tahun 1915 ini pula ia memutuskan untuk mengikuti tawaran masyarakat Purba Baru untuk mendirikan madrasah di sana. Ia bersama murid-muridnya, Abdul Halim Khatib dan dua puluh orang lainnya, hijrah ke Purba Baru. Hingga saat ini masyarakat Tapsel-Madina lebih mengenal madrasah ini sebagai Sikola Purba atau Sekolah Purba. Pada masa itu, para santri hanya belajar di masjid yang berlokasi di dekat rumah Tuan Guru. Para santri datang dan belajar di kholaqoh (duduk melingkar dan bersila) di hadapan Sang Guru. Kondisi tersebut baru berubah sejak dibangunnya kelas permanen pada tahun 1931. Setelah itu, santri-santri Al-Musthafawiyah tidak hanya berasal dari Purba Baru dan Tano Bato, melainkan juga dari Panyabungan, Kotanopan, Barumum, Muara Sipongi, Sibuhuan, Padangsidimpuan, Angkola, Sipirok, dan Padang Bolak.
Organisator Andal
Tuan Guru Musthafa, selain seorang alim dan seorang guru, juga dikenal sebagai organisatoris yang andal. Sepulang dari Makkah, ia bergabung dengan berbagai organisasi kemasyarakatan Islam. Pada tahun 1915, ia duduk sebagai Ketua Syarikat Islam Tano Bato. Pada tahun 1930 berdirilah Persatuan Muslim Tapanuli (PMT) dan Tuan Guru duduk sebagai Ketua Majlis Syar’iy. Pada tahun 1936, ia dipecaya menjadi Penasihat Pengurus Besar Al-Jami’atul Washliyah. Untuk menghimpun alumni Sikola Purba yang tersebar di seluruh tanah air, atas permintaan Tuan Guru, didirikan Al-Ittihadul Islamiyah (AII). Selain itu, di Padangsidimpuan berdiri Majlis Islam Tinggi (MIT) dan Tuan Guru didapuk menjadi ketuanya.
Ada satu hal yang menarik, pasca pembacaan teks proklamasi 17 Agustus 1945 para tokoh Islam di Tapanuli berniat melaksanakan tabligh akbar sebagai ungkapan rasa syukur atas kemerdekaan yang telah diraih. Ali Nuddin Lubis, sang pemrakarsa, atas rekomendasi Tuan Guru Musthafa, melaksanakan acara tersebut di Panyabungan. Acara tersebut meraih sukses besar. Oleh karenanya, acara tersebut berkembang menjadi Kongres Muslimin se-Tapanuli. Pada tahun 1947 berlangsung Kongres Muslimin se-Tapanuli yang kedua dan dihadiri oleh ulama-ulama se-Sumatra Utara. Di kongres tersebutlah Tuan Guru mewasiatkan bahwa NU adalah organisasi yang paling tepat untuk penganut paham ahlussunah waljamaah (Aswaja).
Pada tahun 1950 diadakan konferensi NU di Kota Padangsidimpuan. Konferensi tersebut dihadiri pengurus NU baik dari wilayah maupun dari pengurus pusat. Tak pelak, Tuan Guru diangkat menjadi Rois Syuriah NU Tapanuli. Tuan guru pernah berkata: “Setelah Ayahanda selidiki secara mendalam keadaan partai-partai Islam yang banyak itu, Ayahanda telah berpendapat bahwa partai Nahdlatul Ulama-lah yang baik untuk Ayahanda masuki dan diikuti seluruh anak-anakku dan pengikut Ayahanda”.
Memang, Tuan Guru Musthafa Hussein Al-Mandaili adalah sosok ulama yang paling kharismatik di Sumatera Utara atau boleh jadi salah satu yang paling berpengaruh se-Sumatera. Ia, sebenarnya, terpilih menjadi Anggota Konstituante/DPR mewakili Sumatera Utara pada tahun 1955. Namun, Allah berkehendak lain. Tuan Guru yang telah mewariskan ilmu kepada begitu banyak murid tersebut meninggal dunia tepat pada tanggal 5 November 1955. Tuan Guru Musthafa Hussein meninggalkan harta karun ilmu yang sangat berharga; yaitu Pesantren Al-Musthafawiyah Purba Baru. Tamatan Sikola Purba sekarang ada di mana-mana dan menjadi penerus Sang Tuan Guru.