Tulah

65 views

Sadarkah kau bahwa semua ini terjadi sebagai tulah atas perbuatanmu? 

Masih melekat dalam ingatanku sewaktu kekasihku limbung lalu meregang nyawa. Benturan tubuhnya dengan lantai terus mengiang di kepalaku dan bunyi gesekan saat kau melumatnya dengan sepatu begerigi menyulut bara di dada. Tinggal menunggu waktu menjadi api.

Advertisements

Ilustrasi: pikbest.

Asal kamu tahu. Bulan depan, kami berencana menikah. Kami telah merencanakan tanggal, waktu, dan tempat serta mahkota yang akan dia kenakan. Kami juga terbayang akan mendidik anak-anak kami, mengajaknya jalan-jalan sebagaimana yang kau lakukan pada anakmu dan istrimu dulu. Lihatlah, sekarang, istrimu itu, tengah menangis melihatmu terbujur kaku di rumah sakit dengan selang menancap di dada dan tanganmu. Kepalamu dibalut perban sampai hampir menutupi wajah. Aku melihat dia mengguncangkan punggung.

Kurasa, semuanya hampir sebanding dan tinggal menunggu dirimu meregang nyawa sebagaimana kekasihku waktu itu. Baru aku akan merasa impas jika kau mati. Aku memang belum merasa puas sebelum kau mati melalui jamahan kaki-kakiku. Aku bernyanyi-nyanyi saat ini. Puasa dan doa-doaku yang kupanjatkan dari langit-langit sudut kamarmu terkabul. Aku bermunajat pada Tuhan semoga kau cepat mati agar jeritan pilu kekasihku segera sirna dari kepala, meski sebenarnya aku bisa terbang ke mana saja.

Aku heran. Entah mengapa kau tidak hirau pada jamahan kaki-kakiku di atas rambutmu malam itu atau kau memang tidak mendengar doa-doa yang kurapal sebelum kau mengempasku ke lantai. Tetap saja, kau bersikeras untuk pergi malam Jumat itu padahal istrimu, Rasih, sudah mengingatkanmu. Tangannya saling kepal. Dia merasa cemas. Aku bersaksi bahwa dia adalah perempuan yang tak akan menjadi benalu. Dia bagai anggrek yang hidup dalam comberan.

“Mas, kenapa kau…”

“Diam atau kusobek mulutmu!!” Beberapa jenak kemudian, terdengar deru mesin meninggalkan halaman.

Dia mendoakan keselamatanmu sembari bertanya mobil siapa yang kau bawa malam itu. Dia teringat ketika Djaja, rentenir desa ini menyuruh anak buahnya menagih utang-utangmu. Waktu itu kau tidak ada di rumah, sedang anakmu masih belajar di sekolah. Mereka merangsek masuk dan mengobrak-abrik isi lemari dan laci. Istrimu kelimpungan. Dia mengiba, memohon-mohon dan tak ada tetangga yang datang membantu. Ikut campur urusan Djaja sama saja seperti mengantar nyawa. Mereka tidak menemukan apa-apa selain sertifikat sawah dan cincin pernikahan kalian.

“Utang suamimu belum lunas,” sembur mereka. Rasih berdiri lemas. Dia tersedu-sedu.

“Jika masih belum lunas bulan ini juga,” ucap salah satu dari mereka sembari menyeringai serupa serigala ke arah istrimu, “maka kau yang akan kami ambil.” Mereka keluar dengan senyum menghina.

Dia terduduk tak berdaya. Setelahnya, beberapa tetangga berdatangan menenangkan dan memberinya air. Dia minum. Tapi air yang mengalir di tenggorokannya terasa sepat. Hanya sertifikat sawah itu harta yang kalian punya. Dan cincin pernikahan itu pun raib. Apakah ini pertanda bahwa dia harus cerai darimu? Berkali-kali dia ingin memintanya, tapi keinginannya terhalang oleh keberadaan anak kalian yang masih duduk di bangku sekolah dasar.

Tanpa rasa bersalah, kau datang beberapa hari setelahnya dan membentaknya. Aroma alkohol menguak dari mulutmu yang hitam, menjelaga. Terjadi pertengkaran. Untungnya anakmu tidak melihatnya. Dia tengah bermain. Aku bisa tahu sebab waktu itu, dari sudut langit-langit kamar, aku mengincar kematianmu melalui jamahan kaki-kakiku.

***

“Ibu!!”

Itu suara anakmu. Dia datang bersama Ning Udah, tetangga samping rumah.

“Mengapa Ning Udah bawa dia ke sini?”

“Aku tak tega. Dia terus menanyakanmu sejak pagi tadi, saat dia terbangun dan kau tak ada di sisinya,” balasnya.

“Apa kau sudah makan, sayang?”

“Sudah. Ning Udah membelikanku soto,” balasnya dan kau menatap perempuan paro baya itu mengucap terima kasih.

Anakmu berada dalam dekapan ibunya. Dia memandangmu melalui jendela. Selang-selang menancap di dada dan lenganmu. Balutan perban yang hampir menutupi wajahmu membuat dia bergidik dan hampir tak mengenal wajah di baliknya. Lalu lalang orang di rumah sakit memperhatikan mereka, sekilas. Sekarang jam sembilan malam. Sudah sehari dia menunggumu setelah mendengar berita kecelakaan malam Jumat itu. Ada penyesalan yang menancap di dadanya. Dada seorang perempuan yang telah lama menanggung sesak. Seandainya malam itu dia mampu mencegahmu, mungkin kecelakaan ini tidak akan terjadi.

“Sekarang kamu makan, sana. Biar aku yang jaga anak dan suamimu,” pinta Ning Udah.

Istrimu berseloroh. Badannya pegal-pegal. Matanya cekung dan merah. Dia menolak. Ning Udah memaksa. Dia bangkit, berjalan lesu menyusuri koridor rumah sakit. Dia berjalan bukan menuju warung makan atau bakso yang berjejer di depan. Dia menuju musala, mengambil wudhu dan melakukan salat. Pada sujud terakhir, dia memperpanjang sujudnya. Doa-doa untuk keselamatanmu dia rapal. Setelahnya, dia berzikir dan menengadahkan tangan ke langit.

Dalam setiap kedipan mata, namamu selalu disebut dan menepis segala perbuatan kurang ajar yang kau lakukan padanya. Sebagai seorang istri, dia membentengi diri dengan istighfar dan terus meneguhkan hati. Kau memang berlaku bejat padanya, tapi yang dia mau adalah surga. Surga di bawah kaki seorang bedebah yang dia panggil suami. Dia terisak. Jarum jam berdetak seirama jantungnya dan memutar kembali peristiwa malam Jumat itu.

***

Beberapa hari setelah kedatangan anak buah Djaja, kau kembali malam Jumat itu dan bertengkar dengan Rasih. Anehnya, setiap kali pertengkaran itu terjadi, anakmu selalu tidak ada di rumah. Hari itu istrimu mengantarnya ke rumah kakeknya. Istrimu hapal kapan kau pergi dan kapan kau akan kembali. Seolah sekembalimu ke rumah adalah neraka baginya.

Dan malam yang kutunggu tiba. Lama aku menantinya dari langit-langit sudut kamarmu setelah beberapa hari puasa dan terus merapal doa-doa. Aku menikmati pertengkaran kalian. Karena beberapa jam lagi, aku yakin kau akan pergi setelah menamparnya. Aku mencari waktu yang pas untuk menjamah kepalamu. Pertengkaran kalian memuncak.

“Apa kau sudah gila?”

“Ya. Semua itu karenamu.”

Dia menggeleng. Berbulir-bulir air mata jatuh dari kelopaknya, mengalir di pipi dan bermuara ke ceruk dada. Aku terus mengintai kalian. Tawaku buncah dan tidak ada satu pun yang mendengarnya.

“Mas, kumohon, tatap mata anak kita. Masa depannya masih panjang.”

“Cukup. Jangan ceramahi aku.”

Kamu mencari-cari sesuatu di laci. Istrimu sesenggukan di tubir kasur. Dalam situasi seperti ini, dia rela berpisah denganmu. Selama ini, tubuh ringkihnya bertahan demi anakmu dan kau tidak peduli.

“Mana sertifikat sawahku?”

Mendengarnya, dadanya bergolak. Sertifikat sawah itu warisan ibunya. Tidak ada setetes pun keringatmu di sana.

“Untuk apa? Sertifikat rumah ini telah kau gadai dan sekarang kau meminta sertifikat sawah?”

“Jangan membantah! Berikan padaku!!”

Dia mendelik, tapi tak kau hirau dan terus mencarinya. Lalu, di bawah kolong lemari kau temukan sesuatu berbungkus kain. Dia ingin merebutnya, tapi kau mendorongnya hingga dia terjengkang ke lantai. Kau mengeluarkan benda itu; gelang rantai dan kalung berliontin ikan. Perhiasan itu selamat dari jarahan anak buah Djaja dan dia menyembunyikannya di kolong lemari. Sekarang, tinggal menunggu waktu perhiasan itu dirampas olehmu. Dia pasrah.

“Mas, jangan ambil perhiasan itu!”

“Diam!!”

“Mas…!”

Istrimu bungkam. Tangan kekarmu mendarat keras di pipinya. Telinganya berdenging. Kau masukkan benda itu ke dalam saku mantel kulit yang kau kenakan. Kau memberi peringatan padanya. Dia menunduk. Setelahnya kau membanting apa pun yang bisa kau raih. Sebenarnya, aku merasa kasihan padanya. Kalian selalu bertengkar dan setiap pertengkaran suami-istri tentu dapat ditebak siapa yang akan jadi korbannya. Aku pun bersiap-siap di atas pintu saat melihatmu beranjak ke luar. Sebelum itu terjadi, kau memperingatiya sekali lagi.

“Ingat, kau. Sekarang aku muak tinggal denganmu. Persetan dengan Djaja dan anak buahnya. Kau juga telah kujadikan jaminan beserta rumah ini atas utang-utangku.”

Punggung istrimu berguncang hebat. Air matanya mengalir deras. Menguras jiwa. Kau melangkah ke luar. Tepat di ambang pintu, kau berdiri, mengambil pecahan vas bunga yang menancap di sepatumu yang bergerigi. Aku melompat, tepat di atas kepalamu. Aku menari-nari sembari merapal doa. Kujamah rambutmu dengan kaki-kakiku secepat yang kubisa. Sontak, kamu mengatupkan gigi lalu meraih tubuhku dan membantingnya ke lantai. Kau melumat tubuhku hingga tak bersisa. Kau keluar. Istrimu mengingatkan.

“Mas, kenapa kau…”

“Diam atau kusobek mulutmu!!”

Beberapa jenak kemudian, terdengar deru mesin meninggalkan halaman. Di balik kemudi, pikiranmu bekecamuk dan teringat pesan tetua dulu. Pamali jika ada cicak jatuh ke kepala pada malam Jumat. 

04/08/2020.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan