Tutur Tinular: Pendidikan Karakter Lewat Lisan di Nusantara

Di masa kecil, cerita adalah jendela pertama untuk memahami dunia. Lewat dongeng sebelum tidur, petuah kakek-nenek, hingga legenda-legenda yang dibacakan guru di kelas, anak-anak diajak mengenal kebaikan, keberanian, kejujuran, dan cinta kepada sesama. Cerita bukan sekadar hiburan, tapi juga cara bangsa ini menyampaikan nilai-nilai luhur secara halus dan membekas, turun temurun.

Namun, di era digital yang penuh visual dan konten cepat, tradisi mendengar mulai kehilangan tempatnya. Cerita-cerita lama kalah bersaing dengan video viral dan konten instan. Anak-anak kini tumbuh tanpa mengenal Malin Kundang, Jaka Tarub, atau Ande-Ande Lumut. Lebih jauh lagi, mereka kehilangan satu warisan besar bangsa ini: tutur tinular, tradisi menyampaikan ilmu dan nilai lewat lisan dari generasi ke generasi.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Tutur Tinular berasal dari dua kata dalam bahasa Jawa: tutur yang berarti “ucapan” atau “cerita”, dan tinular yang berarti “diteruskan” atau “diwariskan”. Secara harfiah, tutur tinular berarti ucapan atau cerita yang diwariskan secara lisan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tradisi ini telah menjadi bagian dari peradaban Nusantara jauh sebelum aksara dikenal secara luas.

Ketika pendidikan karakter menjadi kebutuhan mendesak di tengah gempuran modernitas, kita perlu menoleh ke belakang—kepada warisan budaya lisan yang dulu menjadi media utama dalam membentuk manusia beradab dan berempati.

Di era yang didominasi oleh gawai, kecepatan informasi, dan media sosial, kita menyaksikan perubahan drastis dalam cara anak-anak belajar dan menyerap nilai. Waktu mendengar cerita sebelum tidur kini digantikan oleh video pendek. Satu warisan penting mulai tergerus: tradisi lisan sebagai alat pendidikan karakter.

Sayangnya, dalam sistem pendidikan sekarang, cerita rakyat dan narasi lokal hanya menjadi pelengkap—kalau tidak dibilang dilupakan sama sekali. Padahal, di balik setiap kisah rakyat, tersembunyi pelajaran tentang kemanusiaan, kepemimpinan, kerja sama, dan cinta pada lingkungan.

Tanpa kita sadari, ketika tradisi lisan ditinggalkan, kita juga kehilangan cara mendidik yang menyentuh hati. Sekolah menjadi tempat hafalan, bukan tempat pembentukan watak. Anak-anak tahu teori, tapi tidak belajar makna. Maka, menghidupkan kembali tutur tinular bukan semata-mata soal budaya, tapi soal masa depan pendidikan karakter bangsa.

Pada masa kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha seperti Majapahit dan Sriwijaya, pengetahuan dan nilai-nilai etika tidak hanya ditulis dalam kitab, tapi juga disampaikan membentuk kidung, tembang, cerita rakyat, babad, dan serat seperti Serat Rama, Serat Centhini, dan Babad Tanah Jawi dulunya dibacakan atau didongengkan secara lisan dalam forum-forum sosial maupun ritual adat.

Filosofi dasar tutur tinular adalah bahwa ilmu pengetahuan bukan hanya untuk dihafal, tapi untuk diresapi dan diwariskan. Cerita-cerita ini tidak hanya menyampaikan fakta, tapi membentuk rasa—rasa empati, rasa hormat, rasa tanggung jawab sebagai manusia yang hidup dalam tatanan sosial dan spiritual. Berbeda dengan cara menghafal dalam sistem pendidikan modern, tutur tinular mengajak manusia mengalami makna secara batin, membangun ingatan emosional yang dalam, dan secara tidak langsung membentuk karakter.

Laporan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) tahun 2022, menyatakan bahwa tradisi tutur tinular di Indonesia menghadapi risiko kepunahan karena tidak banyak yang mendokumentasikan dan meneruskan secara aktif. Meski begitu, laporan yang sama mencatat adanya inisiatif dari komunitas adat untuk melakukan pemulihan terhadap cerita-cerita lama, baik melalui pendidikan, seni pertunjukkan, maupun media digital.

Meski zaman telah berubah, esensi tutur tinular makin diperlukan. Dari sopan santun dalam berbicara, kemampuan mendengarkan, hingga kepekaan terhadap sesama. Lewat cerita, seseorang tidak hanya diberi tahu apa yang benar, tapi diajak merasakan mengapa itu benar. Cerita-cerita rakyat, legenda, hingga kisah hidup tokoh lokal bisa menjadi sarana pendidikan karakter yang alami dan membumi.

Kuncinya bukan pada bentuknya, melainkan pada nilai yang disampaikan. Tutur tinular bisa dituturkan di ruang kelas, panggung seni, ruang keluarga, hingga ruang digital. Yang penting pesan moralnya tetap kuat: tentang kejujuran, keteguhan hati, tolong-menolong, kesetiaan, dan hormat kepada yang lebih tua.

Dalam konteks pendidikan hari ini, terutama pendidikan karakter yang menjadi salah satu fokus nasional, tutur tinular dapat menjadi pendekatan kultural yang sesuai dengan akar bangsa. Ia tidak menggantikan metode formal, tapi memperkaya dan menghangatkannya.

Warisan lisan tutur tinular adalah warisan yang hidup, dan untuk melestarikannya adalah peran bersama. Selama masih ada yang bersedia menyampaikan, mendengarkan, dan mewariskan. Namun, agar tetap bertahan dan relevan, dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak.

Keluarga, adalah lingkungan pertama di mana tutur tinular bisa dihidupkan kembali. Kebiasaan sederhana seperti membacakan cerita rakyat sebelum tidur atau menceritakan sejarah keluarga, akan membuat anak-anak belajar bahwa cerita bukan sekadar hiburan, melainkan cermin nilai dan identitas.

Sekolah dan intuisi pendidikan juga memiliki peran penting. Alih-alih mengandalkan ceramah satu arah dalam pendidikan karakter, guru dapat memanfaatkan pendekatan naratif yang lebih menyentuh dan membumi. Yang tak kalah penting, peran masyarakat adat dan para pelaku seni tradisi tetap menjadi fondasi utama. Mereka adalah penjaga nilai, sumber cerita, dan teladan hidup dari kearifan lokal yang telah terbukti bertahan lintas generasi.

Kita harus merawat akar agar cerita tidak terputus. Ada yang tak boleh kita lupakan: akar-akar nilai yang membentuk siapa kita sebagai manusia dan bangsa. Tutur tinular adalah salah satu akar itu. Ia bukan sekadar warisan budaya, tapi sarana mendalam untuk membentuk jiwa dan akhlak generasi penerus.

Jika pendidikan hari ini terlalu sibuk dengan target akademik dan lupa menyentuh hati, maka tradisi tutur tinular hadir sebagai jembatan: menyampaikan kearifan dengan cara yang menyentuh, membumi dan membekas. Ia mengajak kita mendengar, merenung, dan meresapi. Bukan hanya tahu, tapi paham. Bukan hanya cerdas, tapi bijak.

Tidak lagi memandang cerita rakyat dan tradisi lisan sebagai peninggalan usang. Justru dari situlah kita bisa belajar bagaimana mendidik manusia secara utuh—yang tidak hanya pintar di atas kertas, tapi juga tangguh, jujur, peduli dan mencintai tanah tempatnya berpijak.

Jika kita ingin masa depan pendidikan yang berakar, maka kita harus mulai dengan mendengarkan. Karena dari mendengar, kita bisa belajar mencintai. Dan dari cinta, cerita akan terus hidup—dari hati ke hati, dari generasi ke generasi.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan