UKASYAH MEMELUK SURGA
I

“Atas nama Tuhan
dan hakku kepada kalian
jika aku zalim, balaslah, sekarang!”
II
Di luar nabawi
padang pasir menahan gelisah
daun-daun kurma ingin patah
mendengar khotbah Nabi
Di depan mimbar
berpasang-pasang mata terbuka
bak jendela rumah di pagi buta
hanya diam dan pasrah
III
Hingga tiga kali hitungan
Muhammad mengulang-ulang
sebuah penegasan: tanda perpisahan
Seorang lelaki spontan berdiri
dadanya tampak sesak
menyimpan kerinduan
Memecah kerumunan
seperti sabetan pedang
di tengah-tengah perang
Di hadapan purnama
lelaki itu tak punya daya
tubuhnya menjelma arca
Bibirnya terlihat berat
tapi tetap berpuisi:
“Demi ayah dan ibuku, Wahai…
pemilik mukjizat abadi
entah sengaja atau tidak
pecutmu telah mengenai perutku”
IV
Puluhan pasang mata
membara, memerah
urat-urat kepala
ingin murka
Bilal, Buakar, Ali, Fatimah
Hasan, Husein, memelas tak kuasa
kilau pedang yang haus darah Oemar
dari sarang perlahan keluar
“WAHAI LELAKI, KEMARILAH!!”
V
“Pukulah,
balas, sekarang”
“Demi ayah dan ibuku, Wahai…Nabi
sungguh waktu itu, pecutmu
menyentuh kulit peruttku”
Semesta
menutup mata
menangis tiada daya
“Betapa
Tega
kau Ukasyah”
Lelaki itu, melempar dosa
berlari memeluk surga
di depannya
Tulungagung, 2020.
MENITI PERAHU NUH
Dahulu di tepi cinta
karang-karang gemetaran
binatang, tumbuhan
dan kenangan putih pucat
lari menuju perbatasan.
Prahara bergulung di udara
Rumah-rumah pecah
Pohon-pohon patah
Karena sabda Nuh, Tuhan murka.
Langit dan samudera menghitam
ingin memuntahkan dan menghantam
putra wayang, semata sayang
yang membangkang pada alam.
Sejauh pandang, tak akan lepas