Permasalahan bangsa saat ini semakin pelik dan kompleks. Kebutuhan terhadap dakwah dengan kreativitas metode kian mendesak. Di tengah kecamuk fenomena internal umat dengan tranding isu kebangsaan yang mencuat, dakwah diharapkan menjadi oase kehangatan menjaga persatuan dan kesatuan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Disadari atau tidak, perubahan dan permaslahan yang terjadi secara tidak langsung menuntut restrukturisasi dakwah agar bisa menyesuaikan dengan kecenderungan yang ada. Islam yang dijalankan dengan ramah-tamah telah berafielasi dengan legitimasi kultural bangsa, sejauh ini, cukup berhasil menjaga kedaulatan bangsa dibandingkan dengan konflik internal negara lain yang kian memanas akibat latar perbedaan, wacana rasisme dan arogansi struktural.
Merestorasi metode dakwah berikut pemahaman-pemahaman substansi materil tetap menjadi suatu keniscayaan. Keberhasilan bukan menjadi alasan para mujahid kebangsaan jatuh pada konservatisme dakwah tanpa kreatifitas baru yang nantinya Islam akan runtuh di tangan mereka. Dakwah tidak ubahnya representatif konsep keagamaan, bagaimana relevansi Islam tetap konsisten dan eksistensif dalam mengawal permaslahan umat di tengah perubahan yang semakin kompleks.
Diskursus Perubahan
Diskursus perubahan dalam tatanan sosial menjadi alasan primer bagi semangat kemanusiaan terus hidup eksis di dunia (legal survival). Setidaknya, dalam korelasinya dengan perubahan, manusia selalu dipacu oleh dua varian motivasi yang menentukan posisi subjek-objek dalam suatu konstelasi pacu perubahan (Teori Perubahan Sosial, Samuel Koening).
Pertama, manusia dipacu oleh sifat naluriyah mereka sendiri yang bersemayam secara instriksional dalam jiwanya: keserakahan dan rasa tidak cukup (Dinosyan: Dewa Kebejatan oleh Para Filsuf Yunani di Era Religi Olympus). Dalam varian yang pertama ini, manusia berperan sebagai subjek memodifikasi keadaaan sesuai dengan kehendaknya. Kita dapat mengambil contoh dari kemudahan-kemudahan yang diciptakan manusia dengan personifikasi mesin teknologi yang terdapat dalam dunia industri. Kepentingan ekonomis telah memacu kesadaran manusia untuk merancang dunia dengan alat, yang secara bersamaan, menghilangkan nilai kolektivitas berupa tatanan etik kemanusiaan seperti gotong-royong.
Kedua, peran objektif, di mana keadaan menuntut adanya kesadaran manusia untuk mengikuti perubahan yang dikehendakinya. Dalam varian yang kedua, manusia menjadi objek perubahan. Imperatif sosial-perubahan yang dibawanya bukan tanpa sebab. Keadaan yang demikian terjadi secara alamiah dengan menunjukkan gejala-gejala alamnya sebagai bentuk implikasi dari dialektika bersama manusia. Tuntutan perubahannya membentuk nilai evaluasi fenomenologis bahwa ada roda sosial yang dimainkan oleh manusia membentur tatanan alamiyah dan kehendak ilahiyah.
Permasalahan bangsa kerap kali datang dengan kedok agama. Dengan wujud koersif dan janji manis kemajuan, distorsi tafsir dakwah kembali diturunkan sebagai legitimasi revolusi yang mereka inginkan. Radikalisme yang berimplikasi pada ekstremisme, purifikasi khilafah, separatisme kedaulatan dan konflik lokal akan terus membayang-bayangi. Sejauh ini, pergerakan radikalisme cukup berhasil dijalankan secara apik dan sistematis karena bisa mengeksplor ihwal perubahan.
Dalam periode 2021 saja, berdasarkan data Kepolisian Republik Indonesia, Polri berhasil mengamankan 392 orang yang disinyalir jaringan teroris dan terlibat dalam 26 kasus tindak pidana ekstremisme dan terorisme di berbagai wilayah Indonesia. Dengan nominasi yang masih tinggi menunjukkan bahwa Indonesia masih menjadi wilayah subur bagi kembang-biaknya aliran radikalisme. Fakta ini menyisakan pertanyaan besar bagi kita, apa yang kurang dari ikhtiyar penanggulangan (?)
Mujahid Digital
Jika ditelisik, radikalisme dengan bergaragam varian senada dianggap sebagai musuh bersama (negara). Ancaman radikalisme telah melahirkan lembaga formal atau informal khusus seperti BNPT atau BNTE-MUI, regulasi dan undang-undang spesefik yang mengualifikasi radikalisme secara khusus dan komitmen antarumat sebagai bagian dari ikhtiyar bangsa dalam menjaga kebhinekaan. Namun, intensifikasi penanggulangan dan entitas komitmen umat masih belum bisa mengentaskan permasalahan ihwal radikalisme.
Radikalisme selain menjadikan episteme jihad sebagai legal doktrinal terhadap anak-anak dan perempuan, media sosial menjadi salah satu jejaring masa yang dimanfaatkan sebaik mungkin dalam membangun isu kebohongan (hoax), adu domba dan menebar narasi kebencian. Segala starategi pergerakan, disisipkan secara terstruktur dan terencana dalam jejaring media. Analisis perubahan ini seharusnya menjadi konklusi solutif untuk mengkonstansi kebutuhan bangsa: Mujahid digital.
Dakwah di ruang maya sebenarnya bukan hal yang baru. Banyak lembaga sudah menggalakkan pendakwah digital mengingat ruang digital terus menjadi isu bersarangnya wacana paham keislaman. Banyak pihak yang menilai, termasuk ormas keagamaan, bahwa wasathiyah keislaman yang merupakan paham mainstream dipahami di Indonesia sudah tergolong minoritas dan cenderung termarginalkan di dunia maya.
Sejak dulu paham washati keislaman terus menjadi konsep kegamaan yang digalakkan. Islam washatiyah adalah kebutuhan, relevan dalam menghargai perbedaan. Darinya lahir wawasan kebangsaaan, konsep moderasi bergama, pluralisme dan multikulturalisme yang memungkinkan misi persatuan tetap terjaga dalam bingkai perbedaan. Namun ketika masuk dalam dunia digital, washati keislaman menjadi minoritas bahkan kelompok tertindas. Meminjam istilah Ketua Komisi Infokom-MUI, Drs Mabroer, Islam wasathi itu pemilik negeri ini, namun mengapa menjadi tamu asing di rumahnya sendiri.
Mujahid digital merupakan delegasi dai yang di pundak mereka terdapat paham keagamaan yang fitrah dan penuh kedamaian. Mujahid digital sendiri sebenarnya bentuk implimentatif dari konsep amar makruf nahi munkar di ruang maya: meluruskan paham yang menyimpang dan menguatkan washatiyah keislaman, di samping juga memerangi hoax yang beredar dengan rasionalitas berpikir sesuai dan paham moderasi keagamaan.
Potensi untuk mencetak mujahid digital tentu memiliki banyak peluang. Mengingat potensi dan antusias pemuda Islam di Indonesia dalam menebar kebaikan melalui media dakwah digital sangat besar. Hal itu dapat dibuktikan dengan besarnya antusias pemuda kita yang berlomba-lomba dalam wisuda dai (mujahid digital) yang dikukuhkan oleh Majelis Ulama Indonesia (Januari, 2021). Periode pengukuhan pertama sudah terdapat 360 mujahid yang tersebar di seluruh Indonesia. Setidaknya bersamaan dengan menyebarnya paham radikalisme, ghirah keagamaan pemuda masih tinggi turut serta mewarnai corak keislaman dan peradaban Islam di dunia.
Tentu kita semua berharap semangat transformasi Islam washatiyah ke dunia maya bersamaan dengan kesadaran kolektif masyarakat harus terus dibangun mengingat tantangan yang semakin besar ke depan. Multipaham mulai ekstrimisme, hoax sampai fundamentalisme sudah berakar dengan kuat melalui jejaring digital. Mujahid digital diharapkan terus bersinergi mendakwahkan Islam dengan narasi washati. Wallahu A’lam.