Ustaz Sukirman

66 views

SEBELUMNYA, Sukirman selalu menegaskan pada Marni istrinya jika rezeki itu datangnya dari Allah semata dan tanpa mesti selalu dicari. Meskipun, tidak mesti pergi saban pagi, pulang menjelang sore, dan wajib menjalani rutinitas bekerja demi menafkahi anak istri. Banyak dari tetangganya, banting tulang mencari kerja, namun tampak masih kekurangan. Begitu pun dengan sebagian tetangga yang bisa dibilang perekonomian menengah ke atas, tampak tak puas. Terus mencari uang tak kenal waktu hingga mengabaikan perintah pada Sang Pencipta. Ibadahnya kurang bahkan sama sekali tidak.

“Kita serahkan saja pada Allah,” begitu setiap saat ucapan Sukirman jika membahas perihal keuangan dengan sang istri. Mereka sudah lama berumah tangga dan memiliki tiga orang anak. Yang sulung masuk Aliyah, yang kedua SMP, dan yang paling kecil masih SD.

Advertisements

Sejak menikah, Sukirman tak memiliki pekerjaan tetap ataupun usaha. Pengalaman mudanya menghabiskan waktu di sebuah pondok pesantren, membuatnya bertekad menjadi guru mengaji. Pun, istrinya yang keturunan ajengan sohor, tentu saja mendukungnya. Meskipun terkadang terbersit keinginan agar suaminya beroleh pekerjaan tetap. Apalagi mengajar mengaji di lingkungan rumahnya waktunya sekitar selepas Maghrib.

“Ya… tetapi kita tak lepas dari usaha,” ucap istrinya.

“Kita kan tengah berusaha selama ini.”

“Usaha, Abi. Atau kerja.”

“Maksudmu?”

“Umi ingin Abi kerja atau usaha untuk mencukupi kebutuhan kita sekeluarga.”

“Apa selama ini tak cukup?”

“Kita bukan hanya perlu makan. Anak-anak kita butuh biaya lebih tinggi.”

“Harusnya Umi bersyukur.”

“Siapa yang tak bersyukur? Umi bukan tak bersyukur, tapi wajar kan ingin penghidupan yang lebih baik!”

“Menurut Abi, perekonomian kita cukup baik. Apa Umi ingin Abi cari kerja?”

Istrinya mengangguk.

“Abi pikir menjadi guru ngaji saja sudah sangat cukup. Selain kita dapat pahala, juga rezeki mengalir tanpa diduga. Teman-teman Abi di pondok pesantren dulu, sekarang banyak yang menjadi guru ngaji. Abi khawatir, jika Abi bekerja, jadi tak punya waktu lagi untuk mengajari mengaji.”

“Teman-teman Abi punya pekerjaan dan usaha, tapi tetap bisa membuka pengajian di rumahnya. Jadi, dunia dan akhirat seimbang.”

“Jadi kesimpulannya… Abi harus bekerja, menjadi pegawai atau buka usaha… selain menjadi guru ngaji. Itu yang Umi inginkan?”

Istrinya mengangguk mantap.

Sejak pembicaraan itu, Sukirman mulai merenung. Semua keinginan istri mulai mengusik ketenangannya. Mulailah ia mencari kerja setiap pagi dan baru kembali menjelang sore, namun pekerjaan yang diharap tak kunjung didapat. Terlebih, Sukirman yang hanya tamatan Aliyah dan tak memiliki pengalaman bekerja sebelumnya. Hingga suatu siang saat langkahnya terhenti di sebuah kantor kabupaten dan berbincang dengan lelaki sebaya yang juga membawa map.

“Mau melamar kerja, Mas?”

Lelaki itu tersenyum lalu menggeleng. Kemudian ia menjelaskan pekerjaannya mengajukan proposal untuk anak-anak telantar di kampungnya. Sukirman menyipit matanya, ia tak mengerti lalu meminta lelaki itu terus bercerita. Sukirman pun pulang ke rumah dengan sebentuk senyum manis yang disambut istri tercintanya.

“Dapat pekerjaan, Abi?”

“Insyaallah.”

“Alhamdulillah.”

Sukirman mulai mendata anak-anak di lingkungannya dari mulai yang yatim, piatu dan yatim piatu. Ternyata tidak sedikit. Bahkan ditambah dari kampung sebelah. Dari semua itu, sebagian kecil ada yang dirawat oleh keluarganya yang terbilang mampu seperti oleh kakek neneknya yang kebetulan masih hidup. Namun ia tetap mendatanya. Rumah sebelah, warisan orangtuanya, dibersihkan. Anak-anak yang terdata, sebagian menempatinya. Akhirnya sebuah panti asuhan dadakan terbentuk. Ia mendapat acungan jempol warga.

Setelah semua surat berharga yang bisa jadi rujukan mengajukan permohonan bantuan, Sukirman pun mulai kerap pergi ke kantor kabupaten dan departemen agama. Proposal pertama mendapat tanggapan, dan dana mengalir di nomor rekeningnya. Ia begitu takjub dan seolah tak percaya. Dengan segera, uangnya dibelikan perabot lengkap untuk anak-anak panti. Ia mengajukan proposal lagi. Kali ini pun, berhasil.

“Abi… ada tamu yang mau menitipkan anak-anak yatim dari kampung yang jauh,” ucap istrinya suatu pagi.

“Umi saja yang hadapi, ya? Abi tanggung mau mengetik proposal, siang harus sudah mendapat tandatangan yang dibutuhkan,” jawab Sukirman. Matanya tak lepas dari layar laptop baru yang menyala.

Semakin anak-anak panti bertambah banyak, semakin besar dana bantuan yang didapat. Sukirman benar-benar semangat. Saat dirasa semua kepentingan panti terpenuhi, ia berpikir juga biaya hidup anak-anak tak harus sepenuhnya ditanggung dari dana bantuan. Terkadang ada pihak-pihak di daerahnya yang peduli. Seperti Haji Jamhur, pemilik mebel terlaris, rajin mengirim bantuan beras. Bos Tedy pemilik kolam ikan mas, seminggu sekali memberi banyak ikan. Bu Saodah, grosir sayuran di pasar tradisonal, dengan suka hati berbagi.

“Untuk proposal kali ini, tak boleh gagal,” Sukirman sedikit bergumam. Dengan semangat terus membuat ajuan ke beberapa dinas terkait yang patut diminta bantuan. Bahkan hingga ke luar negeri.
Semenjak proposal demi proposal mendapat tanggapan positif dan menghasilkan untung, semenjak itu pula Sukirman acapkali pergi. Terkadang kembali ke rumah ketika matahari mulai diselimuti gelap.

“Abi, sebaiknya Abi harus bisa membagi waktu. Anak-anak yang mengaji sering menanyakan Abi. Mereka ingin Abi yang mengajari mereka,” ucap istrinya lembut.

“Apa Umi sudah tak mau mengajari mereka lagi?”

“Bukan begitu!”

“Lalu? Dan bukankah ada Ali dan Zaenal?” Sukirman melirik istrinya. Ali dan Zaenal, santri muda yang diperbantukan di panti asuhan.

“Yang harus kita bimbing itu banyak, Abi. Bukan hanya yang mengaji di rumah. Tapi juga anak-anak di panti.”

“Jika kurang pengajar, cari santri lain dari pondok kampung sebelah.”

“Tidak begitu juga. Mencari santri tak sulit. Tapi Abi tetap harus berada di samping mereka.”

“Sesekali Abi kan suka…”

“Sesekalinya Abi sekarang tidak lagi. Abi pulang ke rumah sudah hampir gelap. Dan Abi sudah telanjur kelelahan,” dari sorot mata istrinya tampak kekecewaan. Di satu sisi, ia bangga memiliki suaminya yang selalu dipanggil Pak Ustaz olek khalayak itu, mendirikan panti dan rajin mencari bantuan dana. Namun di sisi lain, ia mulai kehilangan senyum suaminya. Ia pun tak bebas bercengkrama lagi seperti dulu, mengajari anak-anak mengaji bersama-sama. Bahkan, dengan ketiga anaknya sendiri, Sukirman sudah jarang menyapa. Setelah salat Isya, ia langsung tidur, bangun Subuh, salat tanpa zikir, apalagi mengaji. Lalu bergegas pergi tanpa sarapan. Begitu nyaris setiap hari. Jika hari Minggu, Sukirman lebih memfokuskan diri di depan laptop.

“Assalamu’alaikum, saya mau bertemu Pak Ustaz,” terdengar suara perempuan di depan pintu rumahnya. Setelah menjawab salam, istrinya menghampiri Sukirman di kamar dan menjelaskan kedatangan Bu Kades yang ingin bersua.

“Bilang saja, Abi lagi sibuk…”

“Umi sudah bilang Abi ada.”

“Ya, tinggal bilang yang tadi kata Abi. Tidak sulit, ko.”

“Abi… luangkanlah waktu. Apalagi itu Bu Kades, Umi malu. Kita juga harusnya malu.”

“Malu?”

“Setiap Abi buat proposal, kan butuh tanda tangan suaminya.”

“Tidak selalu.Toh sekarang ada cara lain membubuhkan tandatangan orang lain. Apalagi tak lama lagi jabatan kades suaminya akan berakhir.”

“Ya Allah, Abiiiii…. Umi tak menyangka dengan sikap Abi sekarang.”

“Tinggalkan Abi sendirian! Abi lagi sibuk, apa kau sebagai istri tak mau menuruti perintah suami?”

Sukirman tak mampu mengendalikan emosinya. Proposal yang tengah diketiknya tidak main-main. Harus segera selesai dan esok harus sampai ke target, sebuah perusahaan asing. Sukirman tak sadar menghentakkan kaki kanannya ke lantai. Istrinya mundur ketakutan.

Kini, semua dana bantuan yang diperuntukkan anak-anak di panti asuhan, masuk di kantung pribadi Sukirman. Ia terlena dan lupa dengan kewajiban. Dalam kepalanya yang terpikir hanya uang.

“Andai aku punya uang sekaligus jabatan, alangkah sempurnanya hidup ini,” gumamnya saat istrinya telah tertidur di sampingnya.

Sukirman mulai mencalonkan diri pada pemilihan kades mendatang. Cari tim sukses dengan bayaran memuaskan. Jabatan itu dengan mudah dilahapnya. Ia berhasil menjadi orang nomor satu di desa. Panti asuhan tetap berjalan dengan donator baru. Warga sangat mengaguminya, tak banyak yang tahu perubahan karakter pada Sukirman saat menjadi ustaz proposal dan kini menjadi kades. Hanya istrinya yang merasakan.

Perempuan itu kerap didera resah. Sukirman hanya menjalankan salat lima waktu tanpa diakhiri zikir apalagi melantunkan ayat-ayat suci Al-Quran. Istrinya sangat merindukan masa-masa dulu, saat bersama-sama mengajari mengaji anak-anak di sekitarnya. Berbahagia dengan ketiga anaknya kendati dalam kesederhanaan. Sukirman yang dulu dikenal sosok bersahaja kini berubah menyeramkan baginya. Ambisi berlebihan yang menguasainya.

Marni kerap memohon pada Allah, agar suaminya kembali seperti dulu. Ia ingin Allah mengingatkan suaminya akan kelalaiannya selama ini. Ia pun diliputi penyesalan, sebagai istri, ia pernah menuntut suaminya memiliki pekerjaan. Padahal menjadi guru mengaji saja balasannya selain pahala juga rezeki yang datang tak terduga. Ia sekeluarga tak pernah tak makan dan senantiasa terasa nikmat. Namun sekarang, jarang sekali ada acara makan bersama. Pun, makanan kerap terasa hambar menyentuh lidahnya.

Hingga tetiba, ada sekelompok warga yang didukung pihak-pihak yang terkalahkan di meja pertarungan kades tempo hari, menuntut Sukirman yang telah menyelewengkan dana desa yang ternyata digunakan untuk menikahi perawan cantik dari kecamatan lain.

Kekuasaan Sukirman tumbang. Ia pun limbung. Sebelum akhirnya masuk bui, orang-orang kerap melihatnya membawa map berisi ajuan proposal seperti halnya saat ia masih terkenal dengan gelar ‘Ustaz’. Lelaki itu konon terlihat mondar-mandir tak tentu arah seperti yang kehilangan kendali.

Bandung Barat, 29 Januari 2020.

ilustrasi: lukisan barli sasmitawinata.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan