Viral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah sesuatu yang bersifat seperti virus, menyebar dengan sangat cepat. Di era digital seperti ini, mudah sekali membuat postingan baik di Instagram, Facebook, Tiktok, maupun berbagai media sosial lainnya menjadi viral. Instannya zaman sekarang membuat semua orang dengan mudahnya mengeposkan segala hal yang telah dilakukan, apa pun itu.
Tidak hanya berupa foto pribadi, foto bersama teman, atau video-video yang bersifat pribadi. Tetapi postingan-postingan yang banyak tersebar di media sosial terkadang juga berisi tentang amalan-amalan atau anjuran-anjuran tanpa dasar. Bahayanya lagi jika postingan tersebut mengandung hadis. Mengapa bahaya?
Hadis adalah perbuatan, perkataan, serta persetujuan Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallām yang digunakan sebagai dasar hukum Islam kedua setelah Al-Qur`an. Seiring berkembangnya zaman, penyampaian hadis tidak hanya melalui lisan ke lisan ataupun media cetak, tetapi juga melalui media online.
Banyak hadis yang tersebar di media online, baik berupa status WA, feed Instagram, atau berbagai postingan media sosial dengan tanpa menyertakan sanad yang jelas. Hal tersebut akan menyamarkan status hadis, apalagi jika postingan yang mengandung hadis tersebut menjadi viral dan kemungkinan besar akan diikuti bahkan diamalkan banyak orang.
Viral bukanlah masalah. Yang menjadi masalah adalah jika hadis yang sudah telanjur viral itu ternyata bukan hadis yang seharusnya disebarkan atau hadis yang di dalam sanadnya terdapat cacat. Salah satu pertimbangan yang menjadikan hadis dikatakan sahih adalah sanad. Sanad adalah sandaran beberapa riwayat yang bermuara pada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallām. Ittiṣāl Sanad atau bersambungnya sanad pada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallām adalah poin terpenting di antara beberapa poin yang menjadi penentu suatu hadis sahih atau tidak, hadis yang boleh diamalkan atau hadis tidak boleh diamalkan, hadis yang boleh dipelajari atau tidak. Dan parahnya lagi, kebanyakan hadis yang ditemui di media sosial tidak menyertakan sanad yang nota bene adalah poin terpenting dalam hadis.
Tidak semua hadis adalah hadis sahih, tidak semua hadis bisa diamalkan, dan tidak semua hadis bisa dipelajari. Sejak abad ke-2 H, para sahabat Nabi telah berupaya memurnikan hadis dengan mengklasifikasikan hadis menjadi beberapa kategori. Dan lagi, hal pertama yang menjadi pokok pertimbangan dalam mengklasifikasikan hadis adalah sanad, dengan cara melihat sanad kemudian memastikan sanad yang tertera di dalam suatu hadis memang benar-benar tersambung.
Memastikan sanad benar-benar tersambung bukanlah hal mudah. Guna mengetahui kebenaran hadis yang telah diriwayatkan para sahabat harus bersafari ke berbagai daerah kemudian bertanya kepada kerabat, tetangga, atau kepada orang-orang yang pernah berinteraksi dengannya perihal kapan perawi lahir dan meninggal, pernah berguru pada siapa saja dan memiliki murid siapa saja, bagaimana karakter perawi tersebut, bagaimana sikap perawi dalam menanggapi permasalahan, dan lain-lain agar dapat menentukan mana perawi yang diterima atau ditolak dalam periwayatannya.
Di zaman sekarang sudah tidak mungkin lagi melakukan penelitian secara mandiri mengenai tersambungnya sanad. Kita hanya perlu merujuk pada kitab-kitab yang mengkaji ilmu jarḥ wa ta’dīl yang menguraikan perawi-perawi hadis dari berbagai sudut pandang. Ilmu jarḥ wa ta’dīl adalah ilmu yang membahas penilaian baik atau buruknya seorang perawi. Dalam ilmu tersebut, ada beberapa tingkatan perawi, mulai dari authaq al-nās sampai akdzab al-nās.
Dengan mengurutkan kriteria perawi dapat diketahui apakah sanad yang dikaji tersambung kepada Nabi Muhammad Ṣalla Allah ‘Alayhi wa Sallām atau tidak. Kemudian, untuk mengetahui hadis tersebut sahih atau tidak harus dilakukan langkah-langkah selanjutnya, yaitu menentukan keadilan seorang perawi, ke-dhabit-an seorang perawi, dan menentukan apakah dalam hadis ada unsur shādz atau ‘illat-nya atau tidak.
Peran kita dalam meneladani segala usaha para sahabat dan ulama dalam menjaga kemurnian hadis adalah dengan tidak langsung menerima hadis-hadis yang viral di media sosial secara instan. Atau, jika kita ingin mengeposkan unggahan di mesia sosial yang di dalamnya harus menyertakan hadis, maka sertakan sanad yang menjadi kekuatan hadis tersbut, bukan malah meninggalkan sanad dengan alasan sanad terlalu panjang. Bahkan bila memang diperlukan, saat kita ingin mencantumkan hadis dalam artikel atau karya tulis lainnya, kita mengkaji hadis tersebut terlebih dahulu dengan merujuk pada kitab-kitab jarḥ wa ta’dīl. Hal tersebut sebagai bentuk kita melanjutkan usaha para sahabat dan ulama yang telah berjasa dalam memurnikan hadis sejak abad ke-2 H. Wallahu a’lam.