Wahdatul Wujud: Tafsir Kekinian (2-habis)

792 views

Tokoh-tokoh sufi dengan konsep wahdatul wujud begitu banyak meskipun tidak dapat dikatakan sangat banyak. Namun konsep ini terus mengalami perkembangan dari waktu ke waktu. Tidak sedikit kemudian konsep ini menjadi diskusi yang sangat intens di kalangan orang-orang tertentu. Kontroversi atas kenyataan ini merupakan bagian dari khazanah pengetahuan. Kita harus dapat saling menghormati perbedaan, sehingga hakikat kehidupan yang damai dapat menjadi realitas yang sebenar-benarnya.

Berikut beberapa tokoh sufi terkait dengan paham wahdatul wujud. Hanya dijabarkan beberapa tokoh karena keterbatasan pengetahuan penulis, juga keberadaan referensi yang kurang memadai. Setidaknya, wahdatul wujud telah mengejawantah dalam kehidupan dan tidak dapat dimungkiri keberadaannya.

Advertisements

Al-Hallaj

“Ana al-Haq, (Akulah Kebenaran)!”

Abu Abdullah Husain bin Mansur al-Hallaj yang terkenal dengan sebutan Al-Hallaj adalah salah seorang ulama sufi yang dilahirkan di kota Thur yang bercorak Arab di kawasan Baidhah, Iran Tenggara, pada 26 Maret 866 M. al-Hallaj seorang keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang penganut Zoroaster dan ayahnya memeluk islam. Al-Hallaj merupakan syekh sufi abad ke-9 dan ke-10 yang paling terkenal. Ia terkenal karena berkata: “Akulah Kebenaran”, yang ucapannya tersebut membuatnya dieksekusi secara brutal oleh penguasa pada saat itu.

Konsep Islam berdasarkan syariat tidak menerima paham “Ana al-Haq”, karena kebenaran yang merupakan salah satu nama Allah (asmaul husna) tidak dapat dimiliki oleh makhluk semisal manusia. Oleh karena itu, ungkapan Al-Hallaj dianggap telah menistakan konsep Islam yang sebenarnya, bahkan Al-Hallaj dianggap kafir, keluar dari Islam (murtad), dan dihukum mati (dihukum gantung).

Syeh Al-Junaid Al-Baghdadi adalah guru dari Al-Hallaj, dan pada saat itu menjadi qadhi (hakim) yang harus memutuskan pengaduan konsep keyakinan Al-Hallaj. “Hal ini terjadi, ketika ia menerima gugatan pengaduan tentang kesalahan dan penyimpangan Al-Ḥallaj dalam pemikirannya. Pada satu sisi, ia sangat memahami pemikiran dan gejolak spritual yang dirasakan Al-Hallaj. Namun Al-Hallaj banyak mengumbar pernyataan spritual (shathaḥat) yang membuat umat Islam yang awam menjadi bingung. Berdasarkan keputusan sidang pengadilan, ia terpaksa, dalam kedudukannya sebagai kepala Qadi Baghdad, menandatangani surat kuasa untuk menghukum mati Al-Hallaj.

Pada surat itu ia menulis “Berdasarkan syariat, ia bersalah. Menurut hakikat, Allah Yang Maha Mengetahui.”

Apa pun yang sebenarnya terjadi, Al-Hallaj dieksekusi (dihukum mati) karena pernyataannya terkait konsep ilahiyah. Terlepas dari kebenarannya, karena kebenaran mutlak adalah hak Allah, maka keberadaan wahdatul wujud merupakan persoalan pro dan kontra. Hingga waktu yang tidak terbatas, problematika doktrin wahdatul wujud akan tetap menjadi diskusi demi mencapai sebuah kebenaran.

Di dalam puisinya, Matsnawi, Jalaluddin Rumi mengatakan, “Kata-kata ‘Akulah Kebenaran’ adalah pancaran cahaya di bibir Manshur (Al-Hallaj), sementara Akulah Tuhan yang berasal dari Fir’aun adalah kezaliman.”

Di sini Rumi ingin menunjukkan bahwa konsep ketuhana Al-Hallaj adalah merupakan konsep ketuhan yang benar dan dibenarkan. Hanya, konsep ini akan merusak keyakinan masyarakat awam sehingga penggunaannya harus diawasi dan tidak boleh untuk sembarang orang. Kekhususan yang penerapannya diperuntukkan bagi orang-orang khusus.

Siti Jenar

“Siti Jenar terkenal sebab ajarannya Manunggaling Kawula Gusti istilah Wahdatul Wujud yang dijawakan.”

Syekh Siti Jenar (artinya, tanah merah) yang memiliki nama asli Raden Abdul Jalil (ada juga yang menyebutnya Hasan Ali) (juga dikenal dengan nama Sunan Jepara, Sitibrit, Syekh Lemahbang, dan Syekh Lemah Abang) adalah seorang tokoh sufi dan salah seorang penyebar agama Islam di Pulau Jawa, khususnya di Kabupaten Jepara, Jawa Tengah.

Asal usul serta sebab kematian Syekh Siti Jenar tidak diketahui dengan pasti karena ada banyak versi yang simpang-siur mengenai dirinya dan akhir hayatnya. Demikian pula dengan berbagai versi lokasi makam tempat ia disemayamkan untuk terakhir kalinya.

Siti Jenar mengusung konsep ketuhanan (teologi) manunggaling kawula lan Gusti yang bertentangan dengan konsep ketuhana Wali Songo (para ulama khusus di tanah Jawa). Karena konsep ketuhanan Siti Jenar dianggap berbahaya, para ulama (Wali Songo) mengadakan sidang dan bersepakat untuk menghukum mati Siti Jenar.

Hal ini cukup beralasan karena konsep teologi Siti Jenar berbahaya bagi orang awam. Maka sesuai dengan kesepakatan majlis permusyawaratan para wali, Siti Jenar yang membawa nilai ketuhanan absolut harus dihukum mati.

Konsep teologi Siti Jenar yang melahirkan polemik adalah tentang kehidupan dan kematian serta manungaling kawula Gusti. Menurut Siti Jenar, yang lahir pada 1404 M di Persia, Iran, kehidupan hakikatnya adalah kematian. Sedangkan, kematian adalah merupakan awal hakikat kehidupan.

“Walal akhiratu khairun wa abqa,” (dan sungguh kehidupan ahirat itu lebih baik dan lebih kekal) (QS. Ad-Dhuha: 4). Artinya, bahwa kehidupan adalah kepastian menuju kematian yang merupakan kehidupan yang abadi. Keabadian adalah kehidupan yang sesungguhnya.

Ibnu Arabi

“Maha Suci Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri.”

Muhyiddin Abu Abdullah Muhammad ibn Ali ibn Muhammad ibn Ahmad ibn Abdullah Hatimi at-Tha’i (14 Agustus 1165-16 November 1240) atau lebih dikenal sebagai Ibnu Arabi adalah seorang sufi terkenal dalam perkembangan tasawuf di dunia Islam.

Terkait dengan konsep teologi, Ibnu Arabi mengusung kaidah wahdatul wujud. Sebuah konsep penteisme (hulul) atau ittihad (penyatuan diri kepada Tuhan), sehingga tidak sedikit orang yang mengatakan bahwa Ibnu Arabi adalah kafir.

Ungkapan yang paling terkenal dari Ibnu Arabi adalah “Maha Suci Dzat yang menciptakan segala sesuatu, dan Dia adalah segala sesuatu itu sendiri.” Segala sesuatu adalah Tuhan dan Tuhan adalah segala sesuatu itu sendiri.

Pandangan ini menciptakan polemik di kalangan ulama (syariat). Ada yang mengatakan bahwa pandangan Ibnu Arabi adalah sesat. Sedangkan, lainnya menyebutkan bahwa hakikat teologi Ibnu Arabi telah mencapai hakikat kebenaran. Jiwa kemanusiaan Ibnu Arabi meluruh dalam eksistenai Tuhan, atau dalam konsepnya ittihad al-dzat (penyatuan zat).

Tafsir Kekinian

Di dalam KBBI dijelaskan bahwa milenial adalah orang atau generasi yang lahir pada 1980-an dan 1990-an. Penulis memaksudkan bahwa era milenial adalah generasi saat ini yang sudah terkoneksi dengan peralatan digital.

Pada era sekarang, orang-orang disibukkan dengan berbagai kehidupan sehingga nilai-nilai teologis seperti wahdatul wujud menjadi terabaikan. Persoalan ini akan semakin rumit manakala generasi saat ini tidak tersentuh oleh konsep-konsep ketuhanan, dan lebih-lebih lagi dengan konsep penyatuan terhadap entitas Tuhan.

Saatnya kita membahas tafsir wahdatul wujud bagi generasi milenial. Mungkinkah generasi kekinian dapat mengecap konsep wahdatul wujud? Jawabannya adalah, mengapa tidak? Karena konsep wahdatul wujud dapat diaplikasikan kepada seluruh generasi. Tentu saja, di masa-masa awal adalah bagaimana kita mendekatkan diri (taqarrub) kepada Allah dengan jalan (thariqah) yang telah dicontohkan Rasulullah.

Zuhud adalah lelaku para kaum sufi, yaitu mengekang keduniawian; bahwa dunia bukan prioritas dan tujuan utama. Akan tetapi, sikap zuhud ini merupakan sikap seorang hamba yang ingin lebih intens dalam melakukan pendekatan kepada Allah.

Bagi generasi milenial sikap zuhud adalah sikap “dunia tidak dijadikan hal yang paling utama.” Akan tetapi, dijadikan sebagai prasyarat untuk lebih dekat kepada Allah.

Khauf adalah sikap dan sifat sufi lainnya dengan konsep wahdatul wujud. Hal ini menjadi sikap keseharian bagaimana kita takut kepada Allah dengan cara melaksanakan perintahnya dan menjauhi larangannya.

Roja’ adalah sikap kaum sufi yang juga dapat dilakukan oleh generasi saat ini. Adalah harapan-harapan untuk mendapatkan kedekatan kepada Khalik. Dengan cara-cara yang telah dicontohkan oleh kalangan ulama sufi, bahwa harapan terbesar kita adalah melihat wajah Allah kelak di hari pembalasan (akhirat).

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabbnyalah mereka melihat” (QS Al-Qiyaamah: 22-23). Generasi milenial bisa melatih sikap ini (roja’) dengan cara zikir, sidikit makan, sedikit tidur, menyendiri (khulwat), melakukan perjalanan (safar, mencari Ridha Allah swt), dan lain sebagainya.

Sangat dimungkinkan bahwa generasi milenial tidak serta merta mencapai derajat ittihad, whadatul wujud, penyatuan entitas, dan luruh dalam hakikat ketuhanan. Tetapi niat, komintmen, dan cara-cara sufi yang telah dilakukan merupakan jalan kebenaran. Thariqah (wasilah) untuk mencapai derajat wahdatul wujud merupakan bagian dari konsep ittihad itu sendiri. Jadi jangan sampai ada anggapan bahwa wahdatul wujud mustahil dilakukan di era milenial.

Satu hal lagi yang harus ditekankan terkait dengan wahdatul wujud, bahwa sikap para sufi penganut manunggaling kawula Gusti tidak harus terlihat secara kasat mata. Bisa sangat mungkin orang yang terlihat biasa-biasa saja yang ada di sekitar kita, merupakan penganut paham teologi hakiki. Yaitu, nilai perwujudan penyatuan yang terkoneksi secara kejiwaan. Tidak harus terkesan sebagai seseorang yang secara kasat mata mengarungi ruh ketuhanan. Kedekatan dan kezuhudan yang hakiki hanya Allah yang Maha Mengetahui.

Tidak ada yang tidak mungkin bagi seorang hamba, karena bagi Yang Maha Ada tidak ada keadaan (wujud) kecuali wujud yang hakiki. Keabadian keadaan hanya milik Allah, yang memiliki keadaan dan berkuasa untuk meniadakan.

Ada satu konsep tentang wahdatul wujud yang ingin penulis kemukakan. Bahwa hakikat wahdatul wujud adalah konsep kedekatan antara Tuhan dengan hamba. Kesatuan jiwa Tuhan dengan jiwa hamba hanyalah sebuah metafor, majaz, atau kinayah dalam perspektif hakikat. Jika ini diterima sebagai sebuah konsep kebenaran, maka tidak ada yang namanya wahdatul wujud secara hakikat. Hal ini diperkuat dengan konsep akidah Islam yang didampaikan oleh Muhammad. Rasulullah saw tidak pernah memyampaikan risalah wahdatul wujud dalam setiap dakwahnya.

Lebih dari itu, para sahabat seperti Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan, Ali bin Abu Thalib, Thalhah ibnu Ubaidillah, Az-Zubair bin Al-Awwam, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Said bin Zaid, dan Abu Ubaidah Al-Jarrah —mereka adalah 10 sahabat yang dijamin masuk surga oleh Rasulullah—  mereka tidak pernah menyampaikan risalah wahdatul wujud.

Itu artinya konsep wahdatul wujud itu datang di akhir-akhir era Islam yang merupakan bagian dari ijtihad ulama. Tentu saja keadaan ini harus dihormati dan dihargai sebagai bagian dari interpretasi terhadap sebuah keadaan.

Tidak mengakui konsep wahdatul wujud juga merupakan sebuah ijtihad. Kita tidak sendirian dalam hal ini. Ada Ibnu Taimiyah yang dipengaruhi oleh Muhammad bin Karram dan Al-Hasan bin Albarbahari, serta Ibnu Qayyim, adz-Dzahabi, Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi, Ibnu Muflih, Ibnu Abdul Hadi, Ibnu Katsir, Ibnu al-Wardi, Ibnu Rajab al-Hanbali, Al-Maqrizi, Muhammad bin Abdul Wahhab, dan Safar Al-Hawali. Mereka adalah penganut non-wahdatul wujud, bahkan mengharamkan konsep ittihad atau wahdatul wujud.

Sekali lagi bukan sebuah problematika dalam memilih konsep teologi, baik yang pro-wahdatul wujud maupun yang kontra-wahdatul wujud. Meskipun penulis lebih memilih konsep non-wahdatul wujud bukan berarti akan terjadi penghakiman terhadap penganut wahdatul wujud. Sebab, mereka punya keyakinan dan sekaligus kebenaran terhadap konsep manunggaling kawula Gusti ini.

Ingat, yang dimaksud adalah wahdatul wujud yang hakiki bukan wahdatul wujud yang majazi. Semoga kita selalu ber-taqarrub kepada Allah hingga tidak ada jarak antara hamba dengan Tuhan. Tetapi bukan peleburan jiwa yang akan melahirkan kontra pemahaman terhadap hakikat tauhid atau teologi. Wallahu A’lam!

Daftar Pustaka

Fathurrahman, Oman, 2012, Ithaf Al-Dhaki: Tafsir Wahdatul Wujud bagi Muslim Nusantara, Penerbit Mizan: Jakarta.
Miswari, 2018, Wahdah Al-Wujud: Konsep Kesatuan Wujud Antara Hamba dan Tuhan Menurut Hamzah Fansuri, Basabasi: Yogyakarta.
Abdullah, Muhammad, 2019, Kajian Sufistik Paham Wahdah al-Wujud dalam Naskah Syathariyah, Perpusnas Press: Jakarta.
Al-Burnu, Muhammad Shidqi, 1997, Mausu’ah Al-Qawa’id Al-Fiqhiyah, Juz XII, Maktabah Taubah: Bairut.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan