Telah sekian lamanya ibu pergi. Tiba-tiba aku merasa rindu. Ya, sangat rindu dengan wajah ibu yang teduh. Gurat kesabaran dan keikhlasan begitu jelas dalam ingatanku. Elusan tangan lembut ibu, serta tutur kata yang begitu kasih. Aku begitu kangen. Dalam pangkuan ibu, aku ingin rebah dan menumpahkan segala keluh dan kesah.
Tetapi, kini ibu telah tiada. Pergi untuk selama-lamanya. Tidak ada lagi kalimat-kalimat lembut yang selalu ibu ucapkan. Tidak ada lagi belaian tangan ibu di saat aku tidak enak badan. Tidak ada lagi panggilan sayang, yang biasa ibu lakukan di saat fajar menjelang.
“Nak, sudah salat?”
Aku terkesiap. Ketika ibu muncul di kaca jendela. Aku mengucek mata. Sekali lagi, dan lagi. Wajah ibu tetap ada di sana. Dengan senyum lembutnya. Dengan gurat keikhlasan yang tergambar jelas di raut wajahnya.
“Ibu,…” aku tercekat. Tidak percaya.
“Ya, Nak. Ini ibu,…” jawab ibu lembut
Aku beranjak lebih dekat ke bingkai jendela. Aku menyibak selambu yang sedikit menutupi kaca. Ibu tiba-tiba menghilang. Padahal barusan begitu nyata. Bahkan terasa begitu jelas sentuhan lembut tangan ibu. Tapi kini ibu entah di mana.
Aku membuka jendela. Di luar masih terang. Senja masih menggantung di ufuk langit. Rona awan merah menghias lanskap di ujung barat. Memang, ibu tidak ada. Mungkin itu hanya halusinasi saja. Karena aku rindu ibu. Karena aku begitu ingin berjumpa dengan ibu. Bahkan, meskipun itu hanya dalam sebuah mimpi. Sekiranya ibu datang dalam tidur malamku, itu sudah akan menjadi obat pengusir rindu.
“Rabbighfir li waliwalidayya warhamhuma kama robbayani shoghiro; Tuhan, ampunilah aku dan kedua orang tuaku sebagaimana mereka berdua telah mendidikku sejak dari kecil.”
Tiba-tiba terlontar kalimah thoyyibah. Aksara-aksara doa yang selalu aku ucapkan setiap selesai melaksanakan salat. Itu semua karena rasa cinta dan ruam rindu yang selalu menggelayut dalam hari-hariku. Kerinduan yang menghentak. Begitu menggedor-gedor dinding hatiku. Aku rindu ibu. Ya, rindu yang tak tertahan.
Sore hari menjelang magrib. Aku duduk di samping pusara ibu. Membaca doa. Melantunkan ayat-ayat suci. Gerimis air mataku tidak terbendung. Membanjiri wajahku yang tertunduk. Aku teringat silap dan salahku. Aku banyak berbuat dosa ketika ibu masih tiada. Aku belum banyak berbuat kebajikan, ketika aku masih punya kesempatan. Seringkali aku menyakiti hati ibu. Itu juga yang membuat aku begitu gugu. Termangu dalam penyesalanku.
“Mencuri itu dosa, Nak,” kata ibu suatu waktu.
“Tapi aku sangat ingin makan jeruk, Bu.”
“Apa pun alasannya!” Bentak ibu semakin tegas. Ibu memang marah. Tetapi kemarahan ibu cukup beralasan. Tidak seharusnya aku mengambil hak orang lain. Apapun alasannya. Benar kata ibu. Apa pun alasannya, aku tidak boleh mencuri.
Itu terjadi saat aku masih kecil. Belum paham apa itu hak orang lain. Belum begitu mengerti kaidah-kaidah agama yang sebenarnya. Sejak saat itu, aku tidak lagi berbuat hal yang dilarang itu. Mencuri, apa pun alasannya adalah haram. “Maafkan aku, Ibu!” desahku dengan penuh penyesalan.
Ibu memelukku. Aku damai dalam pangkuan kasih ibu. Ketika aku dimarahi oleh ayah. Meski sebenarnya pantas ayah marah padaku. Sebab aku bermain seharian. Tidak minta izin. Hingga orang rumah sangat khawatir.
“Apa gak dengar tah, telingamu?” bentak ayah pada saat itu. Aku hanya diam. Berlindung di pangkuan ibu. Aku hanya menangis. Aku menyesal atas apa yang telah aku perbuat. Aku yakin, ayah marah karena sayang padaku. Tidak mungkin ayah marah karena benci. Tidak ada alasan untuk itu.
Sejak saat itu, aku selalu memberitahu ibu atau ayah kalau ingin bepergian. Sebab, dengan meminta izin itu artinya meminta restu orang tua. Selama apa yang mau dikerjakan untuk kebaikan, baik bagi diri sendiri atau orang lain, orang tua pasti akan merestui. Restu ibu dan rela ayah merupakan doa mustajab yang akan memberikan perlidungan dalam setiap langkah kaki kita.
Senja itu, aku kembali duduk di depan jendela. Bingkai jendela yang menghadap ke barat, cukup memberikan pemandangan yang cukup asri. Burung sri gunting dan kutilang sesekali masih terdengar kicaunya. Itu juga menambah suasan yang begitu damai.
Sedetik berikutnya, wajah ibu tiba-tiba muncul di bingkai jendela. Aku terperangah. Degup jantungku serasa menghentak. Bagai dentuman meteor yang menghantam bumi. Aku mendekat ke arah jendela. Ibu tersenyum teduh. Bagai siraman salju di musim kemarau. Wajah itu begitu damai. Ya, wajah ibu. Yang selalu aku rasakan saat ibu masih hidup. Kepergian ibu membuat kuntum senyum itu luruh. Gugur dihempas angin sakal.
“Nak, apa kabarmu?” Ibu mengelus kepalaku. Terasa sejuk mengalir di seluruh tubuhku.
“Baik, Ibu…,” tersendat aku menjawab. Tiba-tiba aku tidak kuasa menahan haru. Emosi kerinduan membuncah dalam tangis yang menderai.
“Ibu, jangan pergi,…”
“Ibu tidak akan ke mana-mana. Ibu selalu ada untukmu, Nak.”
Pandangan ibu begitu lembut. Damai wajah itu selalu menghiasi raut yang penuh ikhlas. Gambaran kesabaran, tabah, dan teduh, senantiasa tergurat di raut ibu yang tabah. Selalu dan senantiasa. Tidak berujung dan tidak berakhir. Aku rebah dalam rengkuh peluk ibu yang damai. Sesekali ibu menina-bobokkan aku dalam kidung yang penuh makna. DZikir-dzikir ibu senantiasa menyelusup di relung nurani yang abadi.
Aku terhenyak. Ketika ibu pamit untuk pergi. Meski ibu berjanji untuk kembali. Tapi aku tidak percaya. Aku masih rindu. Tergagap aku memanggil ibu. Tapi ibu benar-benar tidak ada. Pergi entah ke mana. Mega merah di ufuk barat muncul. Seiring azan maghrib dari masjid sebelah. Takbir mengalun. Panggilan salat dan kemenangan bergetar di seluruh jagat menjelang malam. Riuh binatang nokturnal pun mulai mengalunkan orkestra malam.
Apakah aku bermimpi? Kuhapus wajahku yang terasa dingin. Aku tidak tidur. Serasa wajah ibu di bingkai jendela itu benar adanya. Dalam kenyataan yang sesungguhnya. Meski aku tetap ragu. Bukankah ibu telah berpulang beberapa tahun yang lalu? Tidak mengapa. Aku masih terus berharap. Ibu hadir meski hanya di bingkai jendela. Aku merasakan kasih dan sayang ibu. Aku merasa elusan tangan ibu. Aku merasa hela napas ibu yang sesungguhnya. Halusinasi? Bagiku tidak mengapa selama ibu hadir untuk menemani kerisauanku.
Hari berganti, dan waktu berlalu. Dalam problematika hidup, aku terjerat dalam sebuah masalah. Detik-detik seperti ini, kehadiran ibu adalah sebuah mukjizat. Aku ingin ibu kembali datang. Hadir dalam bingkai jendela. Di ruang tamu. Di daun jendela yang menghadap ke barat. Di sana biasanya ibu hadir. Memberikan nasihat. Menghibur saat aku sedih. Mengelus rambutku saat aku merajuk.
Sudah beberapa hari aku duduk di depan bingkai jendela. Namun ibu tidak kunjung hadir. Raut ibu tidak pernah muncul lagi. Adakah ibu marah? Tidak mungkin. Sebab aku tahu siapa ibu. Wanita yang berhati samudra, yang tidak ada kamus marah dalam hidup ibuku. Raut wajahnya yang teduh, senantiasa terukir seindah taman di surga.
Aku semakin gusar. Sekian lamanya aku duduk di depan jendela. Ibuku tak kunjung datang. Aku gelisah. Tiba-tiba aku marah. Entah marah pada siapa. Pikiranku kalut tidak karuan. Ibu yang kunanti tak kunjung datang.
“Prang!!!” Sebuah asbak beling yang ada di dekatku menghantam kaca jendela. Serpihan pecahan kaca berhamburan di ruang tamu. Istri dan anak-anakku terkejut. Mereka datang untuk melihat apa yang sedang terjadi.
“Ada apa, Mas?” tanya istriku tidak mengerti. Anak-anakku juga terlihat ketakutan. Aku semakin merasa tertekan. Aku merasa bersalah. Tapi aku tidak tahu harus berbuat apa.
“Maafkan aku, Dik,…” hanya itu yang keluar dari tenggorokanku. Selebihnya aku diam. Diam seribu bahasa. Aku tidak bisa menjelaskan perihal hubunganku dengan ibu. Mereka pasti tidak percaya. Mereka akan mencap aku stres. Gila. Tidak waras. Dan sudah sinting.
Esok hari, saat senja. Serpihan pecahan kaca jendela sudah dibersihkan. Kaca jendela pun sudah diganti. Aku harus memanggil Mang Kadri, tukang mebel tetangga sebelah. Tidak perlu memerlukan waktu yang lama. Jendela itu kembali seperti sedia kala. Aku duduk kembali di sebuah kursi. Di dekat jendela itu. Aku diam. Suasana tenang. Di luar cuaca cerah. Mentari masih menggantung di ujung barat.
Tiba-tiba dari cakrawala berkelebat sosok putih. Semakin lama semakin mendekat. Semakin jelas. Nampaklah wajah ibu di atas singgasana warna emas. Begitu indah. Begitu mempesona. Ibu tersenyum teduh. Kedua bibirnya mengembang. Kedua mata itu memancar cahaya surga. Aku tertegun, sekaligus terperanjat. Setelah sekian lamanya, ibu baru muncul kali ini. Rinduku pun luruh. Berserak di petala ruang hatiku.
“Assalamu’alaikum, Nak,” ibu mendekat dan semakin jelas. Tangannya mengelus kepalaku. Desir sejuk mengalir di relung dadaku.
“Wa’alaikum salam. Ibu kok lama sekali gak datang?” aku menjawab salam. Sekaligus agak protes karena ibu tak kunjung bertandang.
“Bukannya ibu selalu di sisimu, Nak,” ibu berkata. Lembut terdengar di telingaku.
“Tapi aku rindu ibu.”
“Belum saatnya kau temani ibu.”
“Aku ingin selalu bersama ibu.”
“Waktu indah itu akan datang.”
“Kapan, Bu?”
“Itu hak Tuhan, Nak. Ibu juga tidak tahu.”
Lama sekali aku berbincang dengan ibu, di senja itu. Banyak sekali ibu memberikan nasihat agar aku bersabar. Sabar menghadapi kehidupan. Sabar dalam urusan rumah tangga. Tabah dalam hal pekerjaan. Jangan terbawa emosi. Bahkan ibu juga tidak suka kalau aku suka marah kepada anak.
Benar memang. Kemarin malam aku marah besar kepada si bungsu. Persoalannya karena ia tidak pamit pergi main bersama temannya. Malam itu seiisi rumah panik. Riuh, karena si bungsu tidak kunjung ditemukan. Meski pada akhirnya kembali, namun aku marah besar dengan perilaku anakku itu yang tidak pamit mau bermain. Anakku sesenggukan. Menangis karena aku marahi.
Ibu tidak suka dengan caraku. Marah dengan luapan emosi juga tidak baik. Seharusnya anak diberi pengertian. Ia akan sadar jika diberi nasihat dengan cara yang halus.
Panjang lebar ibu berbicara denganku. Tak terasa azan maghrib menggema. Mega merah berarak di ufuk barat. Sambil melambaikan tangan, ibu pamit dan pergi. Singgasana yang berhiaskan intan permata berkelebat di antara mega-mega di ufuk. Meski aku rindu, meski aku ingin ibu selalu berkunjung, tapi ibu berkata bahwa ini adalah pertemuan terakhir kita. Tanpa terasa air mataku kembali menggenang. Ingin rasanya aku ikut ibu. Ke alam sana. Di tempat tanpa hiruk-pikuk kepalsuan hidup.
“Ibu…” suaraku menggema. Memantul dari dinding rumahku. Dari pohon nyamplung yang tumbuh besar di belakang rumah. Dari ranting-ranting pohon asam yang rindang di awal musim kemarau. Senyum ibu masih lekat di cakrawala.
Madura, 07/09/2020.