Setiap pagi, sebelum azan berkumandang perempuan itu sudah terbangun dari lelapnya untuk menunaikan salat, lalu memasak untuk dia makan sendiri. Setiap hari sebelum matahari sepenuhnya muncul dari garis laut, perempuan itu sudah duduk di bangku kayu panjang di dalam gudang garam.
Udara yang asin menyusup ke pori-pori kulitnya, menempel di rambut, pakaian, bahkan setiap embusan napasnya. Tangannya yang begitu gesit mengambil segenggam garam kasar, menuangkannya dalam plastik putih, melipat, lalu mengikatnya dengan plaster. Begitu seterusnya berulang tanpa suara.

Orang-orang di kampung memanggilnya wanita pembungkus garam. Bukan karena istimewa, tetapi karena tak ada yang tahu lagi siapa namanya. Nama, bagi perempuan itu, telah lama menjadi sesuatu yang tak dipanggil.
Gudang garam itu menjadi satu-satunya tempat ia merasa diperlukan. Di gubuk kecilnya, tak ada suara yang menunggu. Tak ada sandal kecil depan pintu. Tak ada suara anak bertanya tentang oleh-oleh dan makan malam. Tak ada tangan lain yang menyentuh tubuhnya selain dirinya sendiri. Yang ada hanya jam dinding tua dan bau asin yang terbawa sampai ke dalam kamar.
Perempuan itu sudah melewati usia yang seharusnya sudah masuk masa senja. Rambutnya memutih, punggungnya sedikit membungkuk. Namun matanya masih menyimpan ketenangan aneh, ketenangan orang yang terlalu sering kehilangan. Ia membungkus garam dengan sabar seperti membungkus hidupnya sendiri, rapi, diam, dan tak pernah meminta lebih.
Perempuan itu bernama Maryamah. Dia pernah menikah, bukan hanya sekali, melainkan sampai tiga kali. Pernikahan pertamanya ketika ia masih muda saat keluar dari sekolah dasar. Ketika itu ia percaya bahwa pilihan orang tua pasti mendatangkan keberuntungan dan mengalahkan segalanya. Suaminya seorang nelayan, mereka tinggal di rumah kecil dekat pantai di ujung selatan Kabupaten Sampang.
Pada tahun-tahun awal, hidup mereka dipenuhi tawa, berbagi nasi hangat, dan bermimpi tentang anak yang akan berlarian di halaman. Namun, tahun berganti, dan perutnya masih rata. Ibu mertuanya mulai sering datang, membawa ramuan dari dukun, doa-doa, dan kalimat nasihat menyindir. “Kodrat perempuan itu melahirkan,” kata sang ibu mertuanya suatu sore. Kalimat itu tinggal lama di kepalanya, seperti rasa asin garam yang tercampur dengan air.
