Jika presiden Soekarno meninggalkan kemerdekaan negara Indonesia, Soeharto meninggalkan pembangunan, BJ Habibie meninggalkan teknologi, maka presiden Abdurrahman Wahid atau yang akrab dikenal Gus Dur meninggalkan kemajemukan. Kemajemukan inilah yang nantinya menjadi fundamental bagi program yang digagas serius oleh Kementrian Agama. Ya, moderasi beragama.
Istilah ini beberapa tahun terakhir cukup banyak menjadi topik perbincangan. Terlebih pada era transformasi politik dan kontestasi pemilu yang kerap terjadi kekerasan atas nama agama. Sebenarnya hal ini bukanlah hal yang baru, mengingat sudah sejak tahun 1990-an permasalahan Indonesia sebagai negara yang amat majemuk belum sepenuhnya dijadikan hal positif dan kebaikan.
Perlu digaris bawahi bahwa Indonesia bukanlah negara Islam. Meskipun sekitar 86 persen masyarakat penduduk Indonesia yang beragama Islam, tidak lantas menjadikan Indonesia sebagai negara Islam. Indonesia merupakan negara nation-state yang sudah terkenal dengan negara plural dan kemajemukannya. Untuk itulah menjaga keharmonisan hubungan antar masyarakat beragama menjadi kewajiban bagi kita semua.
Dalam konteks negara kita, pemenuhan hak dan kewajibansebagai warga negara sudah sepenuhnya terangkum dalam Pancasila sebagai founding fathers dasar negara. Pancasila menjamin keseimbangan antara hak dan kewajiban waraga. Sebut saja hak pendidikan, perlindungan, rasa aman, kesejahteraan hingga beragama. Semuanya pada haikatnya sudah diatur dan terkandung dalam Pancasila. Hal tersebut juga seiring dengan kewajiban masyarakat untuk bercita-cita dan membangun peradaban sesuai mekanisme negara. Keseimbangan tersebut mensyaratkan kesediaan warga negara untuk menerima segala bentuk perbedaan dan kebhinekaan.
Tidak terkecuali permasalahan keyakinan dan aneka rupa tafsir agama. Seharusnya ekspresi tafsir agama mendapatkan ruang sepanjang tidak bertentangan dengan prinsip negara dan prinsip universal kemanusiaan. Akan tetapi, realitasnya tafsir agama yang kaku dan serba hitam-putih seringkali datang dari kelompok-kelompok konservatif radikal. Hal ini jelas mengganggu stabilitas negara dan tidak sesuai dengan sila ketiga Pancasila. Persatuan Indonesia.
Kehadiran agama dalam ruang publik menghasilkan beragam gejolak dan kebisingan yang tak terhindarkan. Di sinilah diperlukan kerangka yang tepat dan dan terus menerus diperkuat. Inilah warisan berharga Gus Dur. Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang memperjuangkan persatuan dan kerukunan antarumat beragama di Indonesia. Beliau menentang keras ajaran-ajaran radikal yang mengkotak-kotakkan umat beragama.
Gus Dur juga dikenal sebagai pendukung dari gerakan pluralisme agama dan keragaman budaya. Beliau juga menentang keras diskriminasi terhadap minoritas agama di Indonesia. Dalam masa jabatannya Gus Dur mengambil tindakan yang cukup kontroversial ketika ia mengeluarkan fatwa yang membolehkan umat muslim untuk berpesta Hari Natal dan mengunjungi tempat ibadah umat non-muslim. Hal ini menimbulkan reaksi keras dari kelompok radikal dan konservatif muslim di Indonesia.
Namun, bukan tanpa sebab Gus Dur melakukan hal tersebut. Inilah kecerdasan dan kehati-hatian Gus Dur sebagai pemimpin. Terlepas dari hal itu, Gus Dur tetap berjasa dan dianggap sebagai pembela moderasi dan toleransi dalam agama dan berperan penting dalam mempromosikan kerukunan antarumat beragama di Indonesia.
Warisan tak ternilai moderasi beragama secara terus menerus harus dijaga dan dirawat. Mengingat tantangan era globalisasi dan disrupsi global yang semakin kompleks permasalahannya. Terutama terkait permasalahan ekonomi-politik yang mudah dibenturkan oleh kelompok tertentu dengan memainkan simbol-simbol agama dan politik identitas. Tak kalah merisuakan adalah resolusi konflik yang belum usai (unfinished conflict resolution), konflik kebebasan beragama dan berkeyakinan, post truth society seperti hoaks, emosi sosial, dan populisme, disrupsi informasi dan internet, turbulensi sosial, dan globalisasi.
Peran Generasi Z
Untuk bisa membawa perubahan yang baik bagi generasi setelah kemerdekaan 1945, peran kalangan muda atau generasi Z yang aktif dan kreatif sangat dibutuhkan dimasa mendatang. Melalui gerakan yang berorientasi pada kemajuan dan dipayungi atas ketuhanan, kalangan muda harus menjunjung sikap cinta tanah air, menciptakan kerukunan hingga berkarya di kancah global.
Bagaimana cara membawa perubahan yang positif tersebut? Salah satunya adalah dengan menciptakan pribadi dialogis. Pribadi dialogis merupakan wujud harapan dan usaha nyata untuk meredam konflik yang marak terjadi. Bagi generasi z, berkolaborasi dan mengomunikasikan segala sesuatu yang memecah kerukunan adalah suatu yang diidam-idamkan. Hal ini juga sejalan dengan prinsip moderasi yang tidak tergesa-gesa meyimpulkan dan memilih jalan tengah menghindari konflik.
Selanjutnya adalah dengan memanfaatkan kegemaran generasi z yang sejalan dengan arus perkembangan teknologi. Tidak bisa dimungkiri saat ini kalangan muda hampir 12 jam lebih berada pada dunia digital. Hal ini harus dimanfaatkan oleh para pembuat kebijakan melalui literasi digital. Literasi digital yang dipadukan dengan literasi baca tulis akan membuat ide-ide kreatif dan kritis generasi milenial.
Maka dari itu, dunia digital harus menjadi sorotan pemangku kebijakan Kementrian Agama. Hal ini bisa menjadi upaya menyebarkan nilai-nilai moderasi. Karena moderasi bukan hanya paham dan ideologi yang berkutat pada sekitar penumbuhan sikap toleransi saja. Moderasi di era teknologi 4.0 dapat digunakan untuk menjaga kesopanan, menghormati perbedaan, dan mencegah penyebaran konten yang merusak atau menyakitkan.
Namun, moderasi beragama juga dapat digunakan untuk mengontrol pandangan yang berbeda dan mengekang kebebasan berpendapat. Moderasi yang berlebihan dapat menimbulkan masalah, seperti diskriminasi, cenzorship, dan melanggar hak asasi manusia. Oleh karena itu, moderasi harus dilakukan dengan hati-hati dan transparan, serta memperhatikan hak asasi manusia dan kebebasan berpendapat.
Dengan demikian, moderasi beragama sebagai warisan berharga Gus Dur sebenarnya adalah upaya dan agenda merawat kerukunan bangsa. Moderasi beragama bisa dikatakan sebagai jalan strategis dan menjawab pertanyaan yang kekinian yaitu untuk mengelola keragaman keagamaan (management of religious diversity)
Untuk itulah, melalui moderasi beragama, marilah kita jaga persatuan dan kesatuan negara tercinta. Janganlah kita mudah di bentur-benturkan. Seperti amanah kenegaraan yang disampaikan oleh bapak presiden Jokowi di peringatan hari kemerdekaan ke-77, “Jangan ada lagi politik identitas. Jangan ada lagi politisasi agama. Jangan ada lagi polarisasi sosial”. Saya yakin jika kita bersinergi bersama mengamalkan nilai-nilai moderasi di keseharian, Indonesia akan terbebas dari ancaman disintegrasi bangsa.