KAU MELATA DI ANTARA MILIARAN METADATA
suka mendengkur tapi tak tidur.
tersasar sampai ke luar kamar
saat dengking mesin-mesin kasir
mulai beraksi menyajikan mimpi
sewangi dan setebal uap kopi,
menari-nari di udara berpolusi.
gonggong klakson-klakson di sepanjang jalan,
mesin-mesin kendaraan menyalak-nyalak,
knalpot angkot dan bus kota berteriak-teriak
: minggir! minggir! tidak ada hari minggu.
semua hari adalah hari maumu,
hari mauku. harimau kita!
hidup yang mampir pada selembar seratus ribu
bahkan tak bisa ditukar dengan peluru
untuk terus menerus terburu-buru berburu
segala sesuatu yang mungkin kau tak perlu
kemudian kau cuma akan mengambang
di antara sinyal yang berlalu-lalang.
kau melata di antara milyaran metadata.
masa lampau menjelma mata pisau;
teror besar yang keluar dari layar telepon pintar.
sesekali terdengar bapak-ibumu menjerit-jerit
: apakah nasib selalu lebih rumit
ketimbang sirkuit listrik ponsel android
KOTA INI
: Jogja
kota ini kehilangan pagi,
tetapi matahari selalu kencang berlari
terbirit-birit ingin segera terbit dari telepon genggam,
tempat di mana kita menekuni hobi bunuh diri
dengan cara tenggelam.
ranjang-ranjang dipenuhi ranjau.
para pemburu kerja meledak dan tergeletak di atasnya
selepas toga-toga dilempar ke udara
lalu jatuh di ketiak papa-mama
yang saban hari mengenang nasib sepetak sawah dan rumah
pada selembar ijazah anak-anaknya.
jarum jam semakin tajam
detak-detik hening jadi denting-denting genting,
melengkingkan prasangka tentang usia dan angka-angka.
setiap kata berapa menjadi berapi-api
menghabisi mulut dan kepala sendiri.
kota ini kehilangan hujan,
kemarau terlampau panjang.
di restoran dan kafe-kafe,
sungai-sungai dikeringkan cangkir-cangkir kopi
dan dengan ampasnya kita suka melukis senja
sambil mengenang langit dan masa lalu berwarna apa.
TUBUH