YANG MELATA DI ANTARA METADATA

242 views

KAU MELATA DI ANTARA MILIARAN METADATA

suka mendengkur tapi tak tidur.
tersasar sampai ke luar kamar
saat dengking mesin-mesin kasir
mulai beraksi menyajikan mimpi
sewangi dan setebal uap kopi,
menari-nari di udara berpolusi.

Advertisements

gonggong klakson-klakson di sepanjang jalan,
mesin-mesin kendaraan menyalak-nyalak,
knalpot angkot dan bus kota berteriak-teriak
: minggir! minggir! tidak ada hari minggu.
semua hari adalah hari maumu,
hari mauku. harimau kita!

hidup yang mampir pada selembar seratus ribu
bahkan tak bisa ditukar dengan peluru
untuk terus menerus terburu-buru berburu
segala sesuatu yang mungkin kau tak perlu

kemudian kau cuma akan mengambang
di antara sinyal yang berlalu-lalang.
kau melata di antara milyaran metadata.
masa lampau menjelma mata pisau;
teror besar yang keluar dari layar telepon pintar.

sesekali terdengar bapak-ibumu menjerit-jerit
: apakah nasib selalu lebih rumit
ketimbang sirkuit listrik ponsel android

KOTA INI
: Jogja

kota ini kehilangan pagi,
tetapi matahari selalu kencang berlari
terbirit-birit ingin segera terbit dari telepon genggam,
tempat di mana kita menekuni hobi bunuh diri
dengan cara tenggelam.

ranjang-ranjang dipenuhi ranjau.
para pemburu kerja meledak dan tergeletak di atasnya
selepas toga-toga dilempar ke udara
lalu jatuh di ketiak papa-mama
yang saban hari mengenang nasib sepetak sawah dan rumah
pada selembar ijazah anak-anaknya.

jarum jam semakin tajam
detak-detik hening jadi denting-denting genting,
melengkingkan prasangka tentang usia dan angka-angka.
setiap kata berapa menjadi berapi-api
menghabisi mulut dan kepala sendiri.

kota ini kehilangan hujan,
kemarau terlampau panjang.
di restoran dan kafe-kafe,
sungai-sungai dikeringkan cangkir-cangkir kopi
dan dengan ampasnya kita suka melukis senja
sambil mengenang langit dan masa lalu berwarna apa.

TUBUH

sudahkah kautemukan tubuhmu hari ini?

kau mulai asing dan sangsi pada tubuhmu sendiri.
rambut, hidung, mata, telinga, tangan, dan kaki
tampak lebih sempurna di dalam layar kaca tujuh inci.

dalam hal rekayasa, ternyata aplikasi gratisan
lebih canggih ketimbang tuhan,
sedangkan cermin hanya menghadirkan kenyataan
yang berulangkali kausangkalkan.

dalam bait-bait doa yang manis,
kauminta byte-byte kuota agar tak lekas habis.

di dalam telepon pintar
kau berhasil tampak kebal dari semua sial
bukankah nasib sial seringkali punya daya jual?
bahkan kehilangan sandal bisa jadi fenomenal
jika diberitakan oleh influencer paling viral.

perihal mencintai, cukup klik foto pujaan hatimu dua kali.
lalu akan kauperoleh denyut jantung paling merah,
ramah tamah dari para pemurah ataupun pemarah,
senyum, tawa, peluk dan cium virtual yang meriah

sungguh, di dalam telepon pintar
hidup ini begitu mudah, megah dan mewah
meski kau telah kehilangan arah dan darah
meski kau tak lagi memiliki diri sendiri

oh, di manakah kau temukan tubuhmu hari ini?

Yogyakarta, 2020.

DENTAL CALCULUS

hidup ini terkadang mirip dental calculus
seringkali nakal dan licik menggerus
setiap malam kita mesti menanggung nyeri
besok makan nasi atau puisi

nasib bukan kutukan ataupun perjanjian
baik atau buruk tak bisa dijanjikan, pun diramalkan.
semua hanya tentang hari ini, bukan tentang nanti
bahkan bukan tentang yang dinanti-nanti

masih mampukah rasa syukur
menjadi satu-satunya alat ukur?

hidup ini terkadang mirip dental calculus
seringkali nakal dan licik menggerus

Tuhan, apakah Kau menyediakan obat bius?

Multi-Page

Tinggalkan Balasan