Penulis dalam hal ini setuju akan pernyataan Joko Yulianto, bahwa hal fundamental ketika masuk pada ranah bahasan dunia kepesantrenan adalah mengenai sistem pembelajaran pondok pesantren.
Seperti yang diketahui bersama, pesantren diakui sebagai lembaga yang mampu beradaptasi dalam situasi apa pun. Hal ini semakin dipertegas oleh Zamakhsyari Dhofier (2015) bahwa sejak dahulu pesantren dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam yang mampu beradaptasi dengan situasi dan kondisi di zaman yang terus berkembang dan berubah.
Tantangannya, era digital ini telah mengubah pola pikir hingga mengalami pergeseran dalam pelbagai aspek kehidupan masyarakat. Pertanyaan terbesarnya, bagaimana memosisikan pesantren pada peran proporsional. Satu sisi, tidak dianggap sebagai lembaga yang menganut ajaran keagamaan yang kolot, dan “buta” akan perubahan yang ada. Namun di sisi lain, jika melebur akan rawan terkena dampak penggunaan teknologi; malas belajar, sarana maksiat, dan tumbuh cara berpikir instan. Inilah yang menjadi dilema bagi kalangan pesantren.
Digitalisasi Pesantren
Sekarang telah tercipta ruang publik baru bernama ruang digital. Di sana, masyarakat digital dapat mencurahkan semaunya dan semuanya, meskipun bukan pada bidang kompetensinya –dalam hal ini ilmu kegagamaan. Sehingga lahirlah informasi yang borderless.
Jawaban dari persoalan ini tentu dengan penerjunan pesantren dalam kontestasi di era digital. Dalam buku berjudul Integrasi Keilmuan Jabalul Hikmah, Prof Fauzi dkk mengungkapkan bahwa salah satu langkah solutif dalam mengatasi/mengurai problematika yang sedang dihadapi di zaman ini adalah dengan pemberlakuan integrasi keilmuan. Integrasi ini mempunyai makna di mana antara diskursus keilmuan saling digabungkan, kolaborasi, menghilangkan jurang dikotomik.
Artinya, keilmuan “baru” yang berporos pada dunia digital kemudian dimasukkan ke dalam pesantren yang di dalamnya terdapat nilai-nilai Islam. Ini merupakan suatu hal yang niscaya, mengingat di dalam media online, kepakaran terdegradasi oleh kepopuleran. Kebutuhan akan sumber informasi –kepesantrenan– yang kredibel sangat minim digaungkan. Dengan memasifkan konten-konten moderat dan kebajikan, maka dengan sendirinya konten atau informasi negatif akan terpinggirkan.