25 Desember selalu menjadi hari yang istimewa bagi banyak orang. Bagi umat Kristen, itu adalah perayaan Natal—momen untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus. Di sisi lain, bagi saya, seorang Muslim, hari itu tetap memberikan makna, meski bukan sebagai hari yang saya rayakan.
Dalam perjalanan hidup saya, saya belajar bahwa perayaan agama, meski berbeda, bisa menjadi jembatan untuk mempererat hubungan antar sesama. Itulah yang saya temui dalam perjalanan saya bersama komunitas lintas iman di Yogyakarta.
Saya masih aktif di komunitas Srikandi Lintas Iman Yogyakarta, sebuah kelompok yang terdiri dari perempuan-perempuan dengan latar belakang agama yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama: membangun pemahaman dan menghargai perbedaan.
Dulu, saya ragu untuk bergabung. Saya pikir, apakah mungkin kita bisa berbicara soal agama tanpa mengganggu keyakinan satu sama lain? Namun, setelah bergabung, saya menyadari bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya pengalaman hidup kami.
Tanggal 25 Desember, bagi umat Kristiani, adalah momen yang penuh makna—Natal, hari lahirnya Sang Juru Selamat. Bagi saya, meskipun saya bukan pemeluk agama Kristen, saya tetap bisa merasakan semangat cinta dan kasih yang hadir dalam perayaan tersebut.
Natal bukan hanya tentang pohon, hadiah, atau hiasan. Lebih dari itu, Natal adalah peringatan tentang kasih sayang tanpa batas. Dalam keyakinan saya, kasih adalah bahasa universal yang seharusnya dipahami oleh semua orang, terlepas dari latar belakang agama atau budaya.
Sebagai bagian dari Srikandi Lintas Iman Yogyakarta, saya ikut merayakan perbedaan dengan cara yang paling sederhana, namun penuh makna. Kami tidak hanya datang untuk mengucapkan selamat Natal atau selamat Idul Fitri, tetapi kami benar-benar terlibat dalam kegiatan yang lebih mendalam.
Misalnya, dalam perayaan Natal, kami mengumpulkan sumbangan untuk orang-orang yang membutuhkan. Bukan karena kami merasa wajib, tetapi karena kami ingin berbagi cinta yang kami rasakan, meski kami berbeda agama.