Merayakan Perbedaan, Membangun Kasih

21 views

25 Desember selalu menjadi hari yang istimewa bagi banyak orang. Bagi umat Kristen, itu adalah perayaan Natal—momen untuk merayakan kelahiran Yesus Kristus. Di sisi lain, bagi saya, seorang Muslim, hari itu tetap memberikan makna, meski bukan sebagai hari yang saya rayakan.

Dalam perjalanan hidup saya, saya belajar bahwa perayaan agama, meski berbeda, bisa menjadi jembatan untuk mempererat hubungan antar sesama. Itulah yang saya temui dalam perjalanan saya bersama komunitas lintas iman di Yogyakarta.

Advertisements

Saya masih aktif di komunitas Srikandi Lintas Iman Yogyakarta, sebuah kelompok yang terdiri dari perempuan-perempuan dengan latar belakang agama yang berbeda, namun memiliki tujuan yang sama: membangun pemahaman dan menghargai perbedaan.

Dulu, saya ragu untuk bergabung. Saya pikir, apakah mungkin kita bisa berbicara soal agama tanpa mengganggu keyakinan satu sama lain? Namun, setelah bergabung, saya menyadari bahwa keberagaman bukanlah penghalang, melainkan kekuatan yang memperkaya pengalaman hidup kami.

Tanggal 25 Desember, bagi umat Kristiani, adalah momen yang penuh makna—Natal, hari lahirnya Sang Juru Selamat. Bagi saya, meskipun saya bukan pemeluk agama Kristen, saya tetap bisa merasakan semangat cinta dan kasih yang hadir dalam perayaan tersebut.

Natal bukan hanya tentang pohon, hadiah, atau hiasan. Lebih dari itu, Natal adalah peringatan tentang kasih sayang tanpa batas. Dalam keyakinan saya, kasih adalah bahasa universal yang seharusnya dipahami oleh semua orang, terlepas dari latar belakang agama atau budaya.

Sebagai bagian dari Srikandi Lintas Iman Yogyakarta, saya ikut merayakan perbedaan dengan cara yang paling sederhana, namun penuh makna. Kami tidak hanya datang untuk mengucapkan selamat Natal atau selamat Idul Fitri, tetapi kami benar-benar terlibat dalam kegiatan yang lebih mendalam.

Misalnya, dalam perayaan Natal, kami mengumpulkan sumbangan untuk orang-orang yang membutuhkan. Bukan karena kami merasa wajib, tetapi karena kami ingin berbagi cinta yang kami rasakan, meski kami berbeda agama.

Pada saat yang bersamaan, teman-teman saya yang beragama Kristen tidak hanya merayakan Natal mereka dengan pesta atau tukar hadiah, tetapi mereka juga menunjukkan bahwa berbagi kebahagiaan dengan orang lain adalah inti dari perayaan tersebut.

Kami, yang memiliki latar belakang agama yang berbeda, merasakan kebersamaan itu bukan hanya melalui kata-kata, tetapi melalui tindakan nyata. “Toleransi bukan hanya soal kata-kata,” kata salah satu teman saya, “tapi soal bagaimana kita bisa hidup bersama meski berbeda.”

Pernah suatu kali, kami merayakan buka puasa bersama saat Idul Fitri. Beberapa teman saya yang non-Muslim ragu untuk ikut. Mereka khawatir, takut tidak memahami apa yang sedang kami lakukan. Tetapi saya bilang, “Kita bukan hanya sekadar berbuka, kita sedang merayakan kebersamaan. Di sini, kita berbagi kebahagiaan, bukan perbedaan.”

Dan betul saja, setelah mereka datang, mereka tidak hanya belajar tentang puasa dan makna Idul Fitri, tetapi mereka juga ikut merasakan suasana penuh kekeluargaan yang tidak bisa digantikan dengan apapun. Begitu pula kami yang ikut merayakan Natal. Kami tidak hanya menerima ucapan selamat, tetapi juga ikut merasakan kedamaian dalam kebersamaan yang mereka ciptakan.

Namun, perjalanan ini tidak selalu mulus. Ada kalanya kami mendapat pertanyaan dari orang-orang di luar komunitas, “Kenapa kalian mesti repot-repot merayakan agama orang lain?” Kami hanya tersenyum dan berkata, “Kami merayakan kebaikan. Kami merayakan cinta, dan cinta tidak mengenal agama.” Mungkin bagi sebagian orang ini terdengar klise, tapi bagi kami, ini adalah kenyataan yang harus kami hidupkan setiap hari.

Menjadi bagian dari Srikandi Lintas Iman Yogyakarta mengajarkan saya banyak hal. Tidak hanya tentang bagaimana kita bisa hidup berdampingan, tetapi juga tentang bagaimana kita bisa menghargai perbedaan tanpa kehilangan identitas kita sendiri.

Kami tidak perlu menyerahkan keyakinan untuk bisa memahami satu sama lain. Kami hanya perlu satu hal: hati yang terbuka. Kami mungkin berbeda dalam cara berdoa, tetapi tujuan kami sama: menciptakan dunia yang lebih damai dan penuh kasih.

Seperti yang saya lihat di sekitar saya, perayaan-perayaan agama, meskipun tampak berbeda, pada dasarnya memiliki satu pesan yang sama: cinta, kasih, dan perdamaian.

Tidak ada yang lebih indah daripada melihat perempuan-perempuan dari berbagai agama, dengan senyum penuh ketulusan, merayakan kebersamaan. Kami tidak hanya mengucapkan selamat, tetapi kami benar-benar menunjukkan bahwa keberagaman adalah kekuatan, bukan ancaman.

Pulang ke rumah hari itu, saya merasa damai. Di kota kecil kami yang penuh dengan perbedaan, saya tahu bahwa selama kami, perempuan lintas iman, terus berjuang untuk saling memahami dan menghargai, perdamaian akan selalu ada.

Seperti cahaya yang menyinari malam, toleransi yang kami pelihara bersama tidak akan pernah padam. Kami adalah perempuan yang membawa pesan damai dan cinta, merayakan keberagaman dengan tangan terbuka.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan