Dalam Al-Qur’an, alam semesta diposisikan sebagai ayat-ayat Allah. Gunung, sungai, burung-burung, hingga dedaunan adalah bagian dari tanda kebesaran-Nya, yang diciptakan dengan penuh keseimbangan.
Di tengah geliat zaman yang kian rakus, sering kali manusia lupa bahwa dirinya adalah khalifah, bukan penguasa. Alam telah kehilangan harmoni, satwa terancam punah, dan bumi seolah menangis dalam diam.
Sudah saatnya kita membangkitkan fikih perlindungan satwa dan alam sebagai jalan untuk melestarikan titipan Allah ini.
Fikih sebagai Rahmat bagi Alam
Fikih dalam Islam tak hanya membahas soal halal-haram makanan atau ibadah. Lebih dari itu, fikih adalah panduan hidup yang mencakup hubungan manusia dengan Tuhan, sesama makhluk, dan lingkungannya.
Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang tidak menyayangi, maka ia tidak akan disayangi” (HR. Bukhari dan Muslim). Kasih sayang ini tidak terbatas pada manusia, tetapi juga meliputi hewan dan alam semesta.
Bayangkan, seorang wanita masuk neraka hanya karena mengurung kucingnya tanpa memberinya makan (HR. Bukhari). Sebaliknya, seorang pelacur diampuni dosanya karena memberi minum seekor anjing yang kehausan (HR. Muslim).
Dua kisah tersebut mengajarkan bahwa satwa bukan sekadar makhluk kecil tak berarti, melainkan bagian dari ciptaan yang harus diperlakukan dengan adil dan kasih sayang.
Fikih perlindungan satwa hadir dari prinsip rahmatan lil ‘alamin, yang menempatkan manusia sebagai penjaga keseimbangan bumi.
Dalam Islam, setiap makhluk memiliki hak hidup, termasuk hewan dan tumbuhan. Bahkan, ketika Islam mengizinkan penyembelihan hewan, itu dilakukan dengan cara yang minim menyakiti, penuh penghormatan.
Mengembalikan Keseimbangan Alam
Di tengah gelombang modernisasi, kerusakan lingkungan dan kepunahan satwa menjadi isu global yang tak terbantahkan.
Al-Qur’an dengan tegas mengingatkan: “Telah tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan manusia, supaya Allah merasakan kepada mereka sebagian dari akibat perbuatan mereka, agar mereka kembali ke jalan yang benar” (QS. Ar-Rum: 41).