Pada 17 Agustus 2025 yang baru berlalu, Indonesia menapaki sebuah tonggak sejarah yang monumental: perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang ke-80. Momen ini tidak hanya menjadi perayaan seremonial, tetapi juga sebuah kesempatan untuk melakukan refleksi mendalam atau muhasabah kebangsaan. Tema yang diusung, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” merupakan kristalisasi dari cita-cita luhur para pendiri bangsa sekaligus menjadi tolok ukur atas pencapaian dan tantangan yang dihadapi Indonesia di era kontemporer. Visi ini mengisyaratkan sebuah bangsa yang tidak hanya unggul secara material, tetapi juga kokoh dalam persatuan, matang dalam karakter, dan berdaulat penuh atas identitasnya.
Namun, perjalanan untuk mewujudkan visi ideal tersebut dihadapkan pada realitas zaman yang kompleks dan penuh tantangan. Pilar “Bersatu Berdaulat” terus-menerus diuji oleh arus polarisasi politik yang tajam dengan berbagai berita politik hangat, yang diperparah oleh disrupsi digital. Ruang siber yang seharusnya menjadi medium kemajuan, tak jarang berubah menjadi arena penyebaran hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian yang mengoyak tenun kebangsaan. Di saat yang sama, kedaulatan ideologis bangsa juga terancam oleh infiltrasi ideologi transnasional yang berupaya mendelegitimasi Pancasila dan konsep negara-bangsa.

Sementara itu, pilar “Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” dihadapkan pada tantangan ketidakpastian ekonomi global, kesenjangan sosial, serta tuntutan untuk melahirkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing. Visi Indonesia Emas 2045 menuntut lahirnya generasi yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki fondasi akhlak dan karakter kebangsaan yang kuat. Tanpa karakter yang kokoh, kemajuan teknologi dan ekonomi justru berpotensi tercerabut dari akar budayanya dan kehilangan arah moralnya.
Di tengah kompleksitas tantangan tersebut, bangsa Indonesia dituntut untuk kembali menggali dan merefleksikan akar-akar filosofis dan historis yang telah terbukti mampu menjaga keutuhan bangsa. Salah satu sumber mata air pemikiran kebangsaan yang paling fundamental dan relevan adalah warisan dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dengan tiga pemikirannya; Hubbul Wathon minal Iman, Resolusi Jihad, dan Qanun Asasi. Sebagai pahlawan nasional, ulama besar, dan pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), pemikiran beliau tentang sintesis harmonis antara Islam dan keindonesiaan, komitmen pada persatuan, serta moderasi beragama telah menjadi pilar penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak awal kelahirannya.