Pada 17 Agustus 2025 yang baru berlalu, Indonesia menapaki sebuah tonggak sejarah yang monumental: perayaan Hari Ulang Tahun (HUT) Kemerdekaan yang ke-80. Momen ini tidak hanya menjadi perayaan seremonial, tetapi juga sebuah kesempatan untuk melakukan refleksi mendalam atau muhasabah kebangsaan. Tema yang diusung, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” merupakan kristalisasi dari cita-cita luhur para pendiri bangsa sekaligus menjadi tolok ukur atas pencapaian dan tantangan yang dihadapi Indonesia di era kontemporer. Visi ini mengisyaratkan sebuah bangsa yang tidak hanya unggul secara material, tetapi juga kokoh dalam persatuan, matang dalam karakter, dan berdaulat penuh atas identitasnya.
Namun, perjalanan untuk mewujudkan visi ideal tersebut dihadapkan pada realitas zaman yang kompleks dan penuh tantangan. Pilar “Bersatu Berdaulat” terus-menerus diuji oleh arus polarisasi politik yang tajam dengan berbagai berita politik hangat, yang diperparah oleh disrupsi digital. Ruang siber yang seharusnya menjadi medium kemajuan, tak jarang berubah menjadi arena penyebaran hoaks, disinformasi, dan ujaran kebencian yang mengoyak tenun kebangsaan. Di saat yang sama, kedaulatan ideologis bangsa juga terancam oleh infiltrasi ideologi transnasional yang berupaya mendelegitimasi Pancasila dan konsep negara-bangsa.

Sementara itu, pilar “Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” dihadapkan pada tantangan ketidakpastian ekonomi global, kesenjangan sosial, serta tuntutan untuk melahirkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing. Visi Indonesia Emas 2045 menuntut lahirnya generasi yang tidak hanya menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, tetapi juga memiliki fondasi akhlak dan karakter kebangsaan yang kuat. Tanpa karakter yang kokoh, kemajuan teknologi dan ekonomi justru berpotensi tercerabut dari akar budayanya dan kehilangan arah moralnya.
Di tengah kompleksitas tantangan tersebut, bangsa Indonesia dituntut untuk kembali menggali dan merefleksikan akar-akar filosofis dan historis yang telah terbukti mampu menjaga keutuhan bangsa. Salah satu sumber mata air pemikiran kebangsaan yang paling fundamental dan relevan adalah warisan dari Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari dengan tiga pemikirannya; Hubbul Wathon minal Iman, Resolusi Jihad, dan Qanun Asasi. Sebagai pahlawan nasional, ulama besar, dan pendiri jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU), pemikiran beliau tentang sintesis harmonis antara Islam dan keindonesiaan, komitmen pada persatuan, serta moderasi beragama telah menjadi pilar penyangga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sejak awal kelahirannya.
Sebagai pewaris intelektual dan spiritual dari KH Hasyim Asy’ari, kaum santri memegang posisi dan tanggung jawab historis yang strategis. Dalam sejarahnya, santri dan pesantren telah terbukti menjadi garda terdepan dalam perjuangan merebut dan mempertahankan kemerdekaan, sekaligus berfungsi sebagai benteng moral dan perekat persatuan bangsa. Kini, peran tersebut menuntut sebuah rekontekstualisasi agar tetap relevan dalam menjawab problematika modern.
Tulisan ini bertujuan untuk menganalisis aktualisasi pemikiran kebangsaan KH Hasyim Asy’ari, khususnya “Trilogi Kebangsaan”[1] beliau yang mencakup Hubbul Wathon minal Iman, Resolusi Jihad, dan Qanun Asasi, sebagai lensa reflektif dalam memaknai cita-cita luhur bangsa. Lebih lanjut, tulisan ini akan mengelaborasi peran strategis kaum santri dalam mentransformasikan spirit “jihad” dari perjuangan fisik di masa lalu menjadi perjuangan di arena kontemporer: jihad digital, jihad ekonomi, jihad ekologi, dan jihad kebhinekaan. Melalui analisis ini, akan ditunjukkan bahwa revitalisasi pemikiran KH Hasyim Asy’ari melalui peran aktif kaum santri merupakan jalan konkret untuk menjawab tantangan zaman dan mewujudkan Indonesia yang Bersatu, Berdaulat, Sejahtera, dan Maju.
Fondasi Teologis-Politis Kebangsaan
Pemikiran kebangsaan KH Hasyim Asy’ari tidak lahir dari ruang hampa, melainkan dari pergulatan intelektual dan spiritual yang mendalam, yang berhasil menyintesiskan ajaran Islam dengan realitas keindonesiaan. Tiga pilar utama pemikirannya (Hubbul Wathon minal Iman, Resolusi Jihad, dan Qanun Asasi) membentuk sebuah sistem yang utuh, yang dapat disebut sebagai “Trilogi Kebangsaan”. Ketiganya saling terkait: Hubbul Wathon sebagai landasan filosofis-teologis, Resolusi Jihad sebagai manifestasi aksi-politis di saat genting, dan Qanun Asasi sebagai kerangka organisasional-sosial untuk melestarikan semangat tersebut.
Jauh sebelum diskursus tentang hubungan agama dan negara menjadi perdebatan sengit, KH Hasyim Asy’ari telah meletakkan fondasinya melalui ungkapan fenomenal Hubbul Wathon minal Iman (Cinta Tanah Air Sebagian dari Iman). Ungkapan ini bukanlah sekadar slogan politik untuk membangkitkan sentimen massa, melainkan sebuah ijtihad teologis yang memberikan legitimasi keagamaan pada konsep nasionalisme. Bagi beliau, tidak ada pertentangan antara menjadi seorang Muslim yang taat dan menjadi warga negara Indonesia yang setia; keduanya justru saling menguatkan.
Dasar pemikiran ini berakar pada pemahaman bahwa tanah air adalah prasyarat atau “sarana primer” untuk dapat melaksanakan ajaran agama secara paripurna. KH Hasyim Asy’ari berpandangan bahwa kemuliaan Islam dan kebangkitan syariatnya tidak akan tercapai di negeri-negeri yang terjajah. Tanpa tanah air yang merdeka dan berdaulat, umat Islam akan terhina dan tidak dapat menjalankan ibadah serta muamalah dengan sempurna. Oleh karena itu, mencintai, membela, dan memperjuangkan kemerdekaan tanah air adalah manifestasi konkret dari keimanan itu sendiri. Konsep inilah yang menjadi tonggak penguat nasionalisme Indonesia, menyatukan energi spiritual umat Islam ke dalam satu barisan perjuangan kemerdekaan.
Jika Hubbul Wathon adalah spiritnya, maka Resolusi Jihad adalah wujud aksi tertingginya. Dikeluarkan pada 22 Oktober 1945 di Surabaya, fatwa ini merupakan respons langsung terhadap situasi kritis pasca-proklamasi, di mana pasukan Sekutu yang diboncengi NICA (Belanda) berupaya untuk kembali menduduki Indonesia. Menyadari ancaman serius terhadap kedaulatan yang baru saja diraih, KH Hasyim Asy’ari bersama para ulama NU menggelar rapat dan mengeluarkan sebuah resolusi yang mengubah jalannya sejarah.
Poin utama Resolusi Jihad adalah menetapkan hukum untuk berperang melawan penjajah. Hukumnya adalah fardlu ‘ain bagi semua umat Islam (laki-laki, perempuan, anak-anak, bersenjata maupun tidak) yang berada dalam jarak 94 km dari posisi musuh. Di sisi lain, bagi mereka yang tinggal di luar jarak tersebut, kewajiban ini berubah menjadi fardlu kifayah, yang berarti cukup dilaksanakan oleh sebagian orang saja. Fatwa ini secara efektif mengubah perjuangan mempertahankan kemerdekaan dari sekadar panggilan nasional menjadi sebuah kewajiban agama yang bersifat individual. Dampaknya luar biasa: Resolusi Jihad berhasil membakar semangat para santri, laskar pemuda seperti Hizbullah dan Sabilillah, serta masyarakat luas untuk mengangkat senjata. Puncak dari gelora semangat ini adalah Pertempuran heroik 10 November 1945 di Surabaya, sebuah peristiwa monumental yang kini dikenang sebagai Hari Pahlawan. Pengakuan negara atas peran sentral ini kemudian diabadikan dengan penetapan tanggal 22 Oktober sebagai Hari Santri Nasional.
Untuk memastikan agar spirit persatuan dan perjuangan tidak lekang oleh waktu, KH Hasyim Asy’ari merumuskan Muqaddimah Qanun Asasi, sebuah naskah yang menjadi pokok pikiran, pendirian, dan pedoman dasar bagi Nahdlatul Ulama. Dokumen ini bukan sekadar anggaran dasar organisasi, melainkan sebuah cetak biru untuk membangun ketahanan sosial masyarakat Islam Indonesia dalam bingkai Ahlussunnah wal Jama’ah (Aswaja). Di dalamnya, terkandung prinsip-prinsip fundamental yang sangat relevan untuk kehidupan berbangsa.
Pertama, adalah ajakan untuk bersatu-padu (al-ittihad) dan menjalin persaudaraan (ukhuwah). KH Hasyim Asy’ari menyerukan kepada semua lapisan masyarakat, dari fakir miskin hingga hartawan, untuk masuk ke dalam jam’iyyah NU dengan penuh kecintaan, kasih sayang, rukun, bersatu dan dengan ikatan jiwa raga. Konsep persaudaraan ini tidak terbatas pada sesama Muslim (ukhuwah Islamiyyah), tetapi juga meluas pada persaudaraan dalam ikatan kebangsaan (ukhuwah wathaniyah) dan persaudaraan sesama umat manusia (ukhuwah basyariyyah).
Kedua, adalah prinsip tolong-menolong dalam kebaikan dan takwa (ta’awun), yang didasarkan pada firman Allah dalam Surah Al-Maidah ayat 2, yang dikutip langsung dalam naskah tersebut.
Ketiga, dan yang paling fundamental, adalah penanaman sikap kemasyarakatan Aswaja yang menjadi karakter khas warga NU. Sikap ini mencakup empat pilar utama: Tawasuth (moderat, mengambil jalan tengah, tidak ekstrem), Tawazun (seimbang dalam segala hal, antara urusan dunia dan akhirat), I’tidal (tegak lurus, adil), dan Tasamuh (toleran, menghargai perbedaan). Keempat nilai inilah yang menjadi kompas moral bagi kaum santri dalam berinteraksi di tengah masyarakat Indonesia yang majemuk, menjadikannya fondasi bagi kerukunan dan harmoni sosial.
Refleksi Pemikiran KH Hasyim Asy’ari
Memasuki delapan dekade kemerdekaan, tema “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju” menjadi cermin untuk merefleksikan kondisi bangsa. Melalui lensa pemikiran KH Hasyim Asy’ari, setiap pilar dalam tema tersebut dapat dianalisis relevansinya dalam menghadapi tantangan kontemporer.
Idealisme persatuan dan persaudaraan sebangsa (ukhuwah wathaniyah) yang digagas oleh KH Hasyim Asy’ari kini menghadapi ujian terberatnya di era digital. Realitas sosial-politik Indonesia kontemporer diwarnai oleh polarisasi afektif dan identitas yang tajam, terutama sebagai residu dari kontestasi politik. Fenomena ini diperparah oleh ekosistem media digital, di mana pasukan siber dan algoritma media sosial secara masif menyebarkan hoaks, disinformasi, dan narasi kebencian. Kondisi ini merupakan ancaman nyata terhadap pilar “Bersatu Berdaulat”, karena ia mengikis modal sosial, merusak kepercayaan antarwarga, dan berpotensi memicu konflik horizontal.
Di sinilah relevansi pemikiran KH Hasyim Asy’ari menjadi sangat krusial. Prinsip-prinsip kemasyarakatan Aswaja yang tertuang dalam Qanun Asasi, khususnya tawasuth (moderasi) dan tasamuh (toleransi), berfungsi sebagai antitesis langsung terhadap segala bentuk ekstremisme dan intoleransi yang menyebar di ruang digital. Ajaran beliau yang merujuk pada hadis Nabi Muhammad SAW untuk tidak saling mendengki, saling menjerumuskan, dan saling bermusuhan dapat menjadi landasan etika dalam berinteraksi di media sosial, mendorong dialog yang konstruktif dan menolak narasi yang memecah belah.
Pilar “Rakyat Sejahtera” dihadapkan pada tantangan ekonomi yang tidak ringan. Memasuki tahun 2025, perekonomian Indonesia menghadapi berbagai tekanan, mulai dari perlambatan pertumbuhan ekonomi global, ketidakpastian investasi, hingga potensi penurunan daya beli masyarakat akibat inflasi. Dalam konteks ini, semangat kemandirian menjadi kunci ketahanan ekonomi bangsa. KH Hasyim Asy’ari memberikan teladan nyata dalam hal ini. Beliau bukan hanya seorang ulama yang zuhud, tetapi juga seorang wirausahawan yang mandiri secara ekonomi, berprofesi sebagai petani dan pedagang.
Sikap tegasnya menolak bantuan dana dari pemerintah kolonial Belanda untuk Pesantren Tebuireng menunjukkan prinsip kemandirian dan harga diri yang kuat. Etos inilah yang kini perlu direvitalisasi. Pesantren, sebagai warisan institusional beliau, memiliki potensi luar biasa untuk menjadi motor penggerak ekonomi umat dan berkontribusi pada kesejahteraan rakyat. Berbagai pesantren di Indonesia telah memiliki unit usaha, mulai dari koperasi, pertanian, peternakan, hingga UMKM. Dengan potensi ekonomi syariah nasional yang diperkirakan mencapai ribuan triliun rupiah, pesantren dapat menjadi ekosistem strategis untuk mengembangkan ekonomi berbasis syariah yang inklusif dan berkelanjutan, sejalan dengan amanat UU Nomor 18 Tahun 2019 tentang Pesantren.
Pilar “Indonesia Maju” sangat bergantung pada kualitas sumber daya manusia. Visi Indonesia Emas 2045 secara eksplisit menempatkan “Pembangunan Manusia serta Penguasaan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi” sebagai salah satu dari empat pilar utamanya. Tujuannya adalah melahirkan generasi yang unggul, berdaya saing global, inovatif, namun tetap berkarakter Pancasila. Visi ini beresonansi kuat dengan konsep pendidikan integral yang diusung oleh KH Hasyim Asy’ari. Beliau menolak dikotomi antara ilmu agama dan ilmu umum. Dalam konsep pendidikannya, penguasaan ilmu-ilmu keislaman seperti Al-Qur’an, Hadis, dan Fikih adalah fondasi. Namun, beliau juga menekankan pentingnya penguasaan ilmu-ilmu “duniawi” seperti geografi, biologi, fisika, dan matematika sebagai bekal untuk menjalankan tugas manusia sebagai khalifah fil ardh (pemimpin di muka bumi).
Model pendidikan yang holistik ini, yang menyeimbangkan antara kecerdasan intelektual, kedalaman spiritual, dan keluhuran akhlak, menjadi sangat relevan untuk menjawab tantangan zaman. Ia menawarkan formula untuk menciptakan generasi emas 2045 yang tidak hanya menguasai teknologi, tetapi juga memiliki kompas moral yang kuat, memastikan bahwa kemajuan yang dicapai adalah kemajuan yang beradab dan berkeadilan.
Aktualisasi di Era Kontemporer
Sebagai pewaris langsung tradisi keilmuan dan perjuangan KH Hasyim Asy’ari, santri memiliki tanggung jawab historis untuk mengaktualisasikan pemikiran sang Maha Guru. Spirit perjuangan atau “jihad” yang dulu dimaknai sebagai perlawanan fisik, kini harus ditransformasikan ke dalam arena-arena perjuangan baru yang relevan dengan tantangan zaman: jihad digital, jihad ekonomi, jihad ekologi, dan jihad kebhinekaan.
Jika Resolusi Jihad 1945 menggerakkan santri untuk mengangkat senjata melawan penjajah fisik, maka “Resolusi Jihad Digital” di era modern harus menggerakkan santri untuk menggunakan akal dan literasi melawan penjajah pemikiran: hoaks, radikalisme, dan disinformasi yang merusak persatuan. Santri dibekali dengan tradisi keilmuan yang kuat untuk memverifikasi informasi. Konsep tabayyun (klarifikasi), yang berakar dalam ajaran Al-Qur’an, serta metodologi keilmuan Islam seperti tashawwur (konseptualisasi) dan tashdiq (verifikasi), dapat menjadi perangkat ampuh untuk menyaring informasi di era digital sebelum mempercayai dan menyebarkannya. Pesantren harus bertransformasi menjadi pusat-pusat pelatihan literasi digital, membekali santrinya untuk menjadi produsen konten positif dan agen penangkal narasi negatif.
Lebih jauh, warisan intelektual KH Hasyim Asy’ari dalam kitab Adabul ‘Alim wal Muta’allim (Etika Guru dan Murid) dapat direaktualisasikan sebagai fondasi “Adab Digital” dan etika dalam pemanfaatan Kecerdasan Buatan (AI). Kitab ini menekankan prinsip-prinsip fundamental seperti niat yang suci dalam menuntut ilmu, menghormati sumber pengetahuan, tanggung jawab moral, serta keseimbangan antara ilmu dan akhlak. Prinsip-prinsip ini dapat ditranslasikan secara langsung ke dalam konteks teknologi. Menggunakan AI harus dilandasi niat yang baik (bukan untuk plagiarisme atau menipu), output AI harus diverifikasi (tabayyun), dan penggunaannya harus selalu diiringi tanggung jawab moral dan akhlakul karimah. Dengan demikian, santri tidak hanya menjadi pengguna pasif, tetapi juga pionir dalam merumuskan kerangka etika Islam untuk teknologi, memastikan AI menjadi alat kemaslahatan, bukan kemudaratan.
Semangat kemandirian ekonomi KH Hasyim Asy’ari kini termanifestasi dalam gerakan santripreneurship. Santri modern tidak lagi hanya bercita-cita menjadi ulama atau kiai, tetapi juga menjadi wirausahawan yang kreatif, mandiri, dan berdaya saing. Mereka membuktikan bahwa kesalehan spiritual dapat berjalan seiring dengan kesuksesan material. Contoh-contoh sukses telah bermunculan, terutama di sektor teknologi digital yang menjadi kunci ekonomi masa depan. Amir Hamzah, seorang alumnus Pondok Modern Gontor, berhasil mendirikan Master Bagasi, sebuah platform e-commerce cross-border yang membawa produk UMKM Indonesia ke lebih dari 100 negara. Ia secara eksplisit menyatakan bahwa dalam mengelola bisnisnya, ia menerapkan “Santri Values” seperti prinsip ta’awanu ‘alal birri (tolong-menolong dalam kebaikan). Kisah inspiratif lainnya adalah Muhammad, alumni Pondok Tremas Pacitan, yang berhasil menjadi seorang programmer handal dan meraih beasiswa global dari perusahaan teknologi raksasa, Oracle. Kisah-kisah ini mematahkan stereotip dan menunjukkan bahwa santri mampu menjadi aktor penting dalam jihad ekonomi digital. Meskipun tantangan seperti keterbatasan modal dan infrastruktur masih ada di banyak pesantren, dengan kolaborasi dan dukungan yang tepat, pesantren dapat menjadi inkubator bisnis yang efektif untuk melahirkan lebih banyak lagi wirausahawan tangguh.
Prinsip Hubbul Wathon tidak hanya berarti mencintai tanah dan air secara fisik, tetapi juga bertanggung jawab untuk merawat kelestarian alamnya. Di tengah krisis lingkungan yang melanda Indonesia, yang ditandai dengan angka deforestasi netto sebesar 175,4 ribu hektar pada 2024 dan tantangan dalam menjaga Indeks Kualitas Lingkungan Hidup (IKLH), santri mulai mengambil peran dalam “Jihad Ekologi”. Gerakan ini diwujudkan melalui kemunculan eco-pesantren, sebuah inovasi yang mengintegrasikan pendidikan agama dengan kesadaran dan aksi lingkungan. Pesantren Ekologi Ath-Thaariq di Garut menjadi contoh teladan, di mana santri tidak hanya mengaji, tetapi juga mempraktikkan pertanian organik, mengelola keanekaragaman hayati, dan memperjuangkan kedaulatan pangan. Demikian pula Pesantren Sunan Pandanaran di Yogyakarta yang meraih penghargaan ekopesantren atas inisiatifnya mengembangkan unit usaha berbasis lingkungan seperti greenhouse akuaponik. Inisiatif-inisiatif ini adalah bentuk konkret dari implementasi ajaran Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin (rahmat bagi seluruh alam), di mana santri menjadi garda terdepan dalam merawat jagat sebagai manifestasi keimanan mereka.
Peran historis santri dan ulama sebagai perekat persatuan bangsa tetap relevan hingga hari ini. Di tengah ancaman polarisasi dan intoleransi, pesantren berfungsi sebagai benteng yang menanamkan nilai-nilai moderasi dan toleransi. Santri yang dididik dalam tradisi Aswaja terbiasa mengamalkan nilai-nilai tasamuh (menghargai perbedaan), tawasuth (moderat), dan i’tidal (adil) dalam interaksi sosial mereka. Mereka belajar untuk hidup berdampingan secara damai dalam masyarakat yang majemuk. Jihad mereka adalah jihad melawan sekat-sekat primordialisme, merajut kembali tenun kebangsaan yang terkoyak oleh politik identitas, dan memastikan bahwa Bhinneka Tunggal Ika tetap menjadi realitas hidup, bukan sekadar slogan mati.
Revitalisasi Api Perjuangan
Pada peringatan 80 tahun kemerdekaannya, Indonesia dihadapkan pada persimpangan jalan antara mewujudkan cita-cita luhur para pendiri bangsa atau terseret oleh arus tantangan zaman yang kompleks. Warisan pemikiran Hadratussyaikh KH Hasyim Asy’ari, yang terangkum dalam “Trilogi Kebangsaan”—Hubbul Wathon minal Iman, Resolusi Jihad, dan Qanun Asasi—bukanlah sekadar artefak sejarah. Ia adalah kompas moral dan intelektual yang terbukti tetap relevan untuk menavigasi tantangan-tantangan tersebut. Spirit cinta tanah air yang berakar pada iman, keberanian untuk berjuang demi kedaulatan, serta komitmen pada persatuan, moderasi, dan toleransi adalah nilai-nilai abadi yang dibutuhkan bangsa ini untuk terus melaju.
Santri sebagai pewaris tradisi ini berdiri di garda terdepan sebagai agen perubahan yang strategis. Mereka bukan lagi hanya penjaga tradisi, melainkan juga inovator yang mampu menerjemahkan spirit “jihad” ke dalam konteks perjuangan modern. Melalui jihad digital, mereka melawan kebodohan dan perpecahan. Melalui jihad ekonomi, mereka membangun kemandirian dan kesejahteraan. Melalui jihad ekologi, mereka merawat keberlanjutan alam. Dan melalui jihad kebhinekaan, mereka menjaga harmoni sosial.
Dengan merevitalisasi api perjuangan KH Hasyim Asy’ari dan memberdayakan santri sebagai aktor-aktor utamanya, cita-cita HUT RI ke-80, “Bersatu Berdaulat, Rakyat Sejahtera, Indonesia Maju,” dapat diwujudkan bukan sebagai utopia, melainkan sebagai sebuah realitas kebangsaan yang berakar pada fondasi spiritualitas dan nasionalisme yang otentik dan kokoh.
*Juara 1 Lomba Esai “Aktualisasi Pemikiran KH Hasyim Asy’ari” dalam rangka perayaan hari ulang tahun ke-6 jejaring duniasantri, Agustus 2025.
Daftar Pustaka
Asy’ari, M. Hasyim. (1995). Al-Risalah fi al-Tasawwuf. Pustaka Warisan Islam Tebuireng.
Baso, Ahmad. (2004). Tradisi Intelektual NU. LKiS.
Fikri, Abdul Hakim Ali, Azmi, M. Ulul, Gushadyantoro, Azka Razaqa, & Syafi’I, Imam. (2023). Urgensi Konsep Nasionalisme KH. Hasyim Asy’ari dalam Merevitalisasi Nasionalis Generasi Muda di Era Globalisasi. At-Tabayyun, 5(1), 21-33.
Harits, A. Busyairi. (2010). ISLAM NU Pengawal Tradisi Sunni Indonesia. Khalista.
Hermawan, Andi, Kesuma, Arsyad Sobby, & Yudha, Gesit. (2024). The Influence of KH. Hasyim Asy’ari’s Moderate Political Thought on Efforts to Counter the Radicalism Movement in Indonesia. JPW (Jurnal Politik Walisongo), 6(2), 165-177.
Husen, Fahmi, & Hanifudin, Hanifudin. (2024). Prinsip Dasar Muqaddimah Qanun Asasi Perspektif Pemikiran Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ri. Jurnal Ilmiah Mahasiswa JIMPS, 527-540.
Nahar, Syamsu, & Suhendr. (2020). Gugusan Ide-Ide Pendidikan Islam KH. M. Hasyim Asy’ari. Penerbit Adab (CV. Adanu Abimata).
Nawali, Jazilatun, Hanif, Muhammad, & Mustafida, Fita. (2023). Implementasi Nilai-Nilai Aswaja dalam Pembentukan Karakter Peserta Didik di SD NU Hasyim Asy’asri Malang. JPMI: Jurnal Pendidikan Madrasah Ibtidaiyah, 5(2), 84-90.
Nizar, M. C. (2017). Pemikiran KH. Hasyim Asy’ari tentang Persatuan. Endogami: Jurnal Ilmiah Kajian Antropologi, 1(1), 63–74.
Pratiwi, Primasari Asa, & Anita, Yesi. (2022). Qanun Asasi Nahdlatul Ulama [Makalah]. Universitas Nahdlatul ‘Ulama’ Kalimantan Timur.
Rofiah, Zaidatur. (2022). Telaah Konseptual Slogan Hubbul Wathan Minal Iman dalam Meningkatkan Kesadaran Bela Negara. Jurnal Lentera, 21(1), 39-49.
Yusrianto. (2014). Pemikiran Politik dan Perjuangan KH. M. Hasyim Asy’ari Melawan Kolonialisme. IN RIGHT: Jurnal Agama dan Hak Azazi Manusia, 3(2), 260-274.
[1] Istilah “Trilogi Kebangsaan” merupakan wacana tawaran dari penulis esai untuk menyebut tiga pemikiran KH Hasyim Asy’ari: Hubbul Wathon minal Iman, Resolusi Jihad, dan Qanun Asasi.