Karya sastra seringkali merupakan bentuk perlawanan terhadap pelupaan. Ia menjadi perlawanan dari sastrawan untuk menjaga agar ingatan tidak lapuk dan lenyap dalam arus kehidupan modern yang serba cepat.
Hal tersebut terungkap dalam diskusi buku Hantu Padang yang diselenggarakan di Al-Zastrouw Library Serua, Depok, Jawa Barat, Sabtu, 11 Oktober 2025. Diskusi buku ini merupakan rangkaian dari agenda Semaan Puisi dan Haul Sastrawan 2025 yang digagas Komunitas Semaan Puisi bekerja sama dengan Karang Taruna Serua 08. Puncak kegiatan pada 28 Oktober 2025 di Makara Art Center (MAC) Universitas Indonesia.

Dalam diskusi kali ini, hadir sebagai pembicara adalah sastrawan Agus R Sardjono. Agus mengupas buku kumpulan puisi karya karya Esha Tegar Putra, Hantu Padang. Puluhan pegiat sastra meramaikan acara diskusi buku ini.
Dalam diskusi yang dimoderatori Sinta Debeturu ini, Agus menyebut bahwa buku Hantu Padang memotret kehidupan perantau yang terbelah antara dua ruang: kampung halaman yang penuh kenangan dan kota rantau yang keras dan asing.
Hal itu terlihat, dalam setiap puisinya, Esha Tegar Putra menghadirkan benturan antara nostalgia dan realitas, antara rindu yang mengikat dan jarak yang tak bisa dijangkau.
Kota Padang, dalam puisi Esha, bukan sekadar tempat lahir, melainkan sumber luka dan cinta yang tak bisa diputuskan. Penyair menggambarkan kota itu dengan getir, tetapi juga penuh kasih, seolah dalam setiap bayangan buruk masih tersimpan kehangatan masa lalu yang tak tergantikan.
Diskusi mengalir membahas bagaimana karya ini menggambarkan “kerapuhan manusia” yang terus dihadapkan pada pilihan antara melupakan atau mengingat. Agus R Sardjono menjelaskan, bahwa bagi penyair sejati, ingatan bukan sekadar nostalgia, melainkan perlawanan terhadap lupa. Dalam puisi-puisi Esha, kenangan menjadi medan pertempuran batin —antara keinginan untuk move on dan kebutuhan untuk menjaga jati diri yang berakar pada masa lalu.
Para peserta juga diajak merenungi bagaimana pengalaman perantauan bisa membentuk identitas seseorang, sekaligus menjadi beban emosional yang tak mudah dilepaskan. Kisah tentang “pulang” dalam buku ini bukan hanya perjalanan fisik, tetapi juga pencarian makna rumah di dalam diri. Puisi-puisi seperti “Aku Kembali, Tiar” atau “Ke Padang, Aku Kembali” menjadi simbol dari upaya manusia untuk berdamai dengan masa lalu dan masa kini yang saling bertubrukan.