Hutan yang Bertasbih, Manusia yang Lupa

Di antara ayat-ayat Allah yang paling sunyi adalah hutan. Ia tak bersuara, tetapi setiap helai daunnya menuturkan kisah penciptaan; setiap akar yang menembus bumi adalah syair panjang tentang kesabaran; setiap rimbunnya adalah makna dari firman-Nya: “Dan pohon-pohon serta rumput-rumput itu bersujud.” (Ar-Rahman: 6).

Betapa indahnya hutan, betapa khusyuk ia menjalankan ibadahnya, hingga manusia pun sesungguhnya malu jika menyadari bahwa pepohonan lebih patuh kepada Tuhan dibanding sebagian dari kita.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Al-Qur’an menggambarkan tumbuhan sebagai tanda kekuasaan, nikmat yang berlapis-lapis, sekaligus pelajaran bagi manusia yang mau berpikir. “Kami tumbuhkan di bumi segala sesuatu menurut ukuran.” (Qaf: 7).

Ukuran itu, keseimbangan itu, harmoni itu—semuanya ditata dengan hikmah yang teliti. Namun, betapa sering manusia merasa lebih pandai dari ukuran yang telah Allah tetapkan. Kita menebang lebih banyak daripada yang tumbuh, membakar lebih cepat dari yang dapat dipulihkan, dan ambisi di dada kita melampaui panjang akar-akar hutan yang sedang berzikir.

Di hutan, manusia menemukan rezekinya. Ia menyediakan oksigen yang tak kita beli, air yang tak kita pesan, hujan yang turun bahkan kepada pendosa. Ia adalah masjid alami yang tak pernah sepi dari tasbih. Tetapi, betapa sering manusia memperlakukan masjid hijau ini seperti pasar murahan. Semua ditebang, semuanya ingin dijadikan uang, semuanya ingin segera menjadi profit. Hingga hutan pun menjadi yatim—tak ada lagi burung bernyanyi, tak ada lagi sungai jernih, tak ada lagi rindang yang melindungi.

“Janganlah kalian membuat kerusakan di bumi setelah Allah memperbaikinya.” (Al-A’raf: 56). Ayat ini bukan hanya larangan; ia teguran yang lembut tapi memalukan. Sebab, Allah memperbaiki bumi bagi kita dengan kasih sayang—menurunkan hujan, menumbuhkan pohon, menebarkan aneka kehidupan—lalu kita merusaknya dengan tangan sendiri. Celakanya, kerusakan itu kemudian kita sebut kemajuan, padahal ia hanyalah kerakusan yang diberi nama indah.

Dan di saat hutan merintih, bencana pun berangkat dari kejauhan seperti surat yang tak pernah salah alamat. Sumatra adalah saksi paling nyata: banjir bandang yang menghaluskan rumah seperti bubur, longsor yang menelan desa sambil mengucapkan salam terakhir, sungai yang mendidih oleh lumpur, dan udara yang menjerit oleh asap kebakaran. Alam tidak marah—alam sekadar mengembalikan apa yang dipinjam manusia secara serampangan.

Halaman: First 1 2 3 Next → Last Show All

Tinggalkan Balasan