Haidar Bagir dan Tarekat Alawiyah

178 views

Dalam suatu kesempatan, Haidar Bagir, seorang aktivis keilmuan Islam kelahiran Solo, Jawa Tengah, ini menyampaikan pandangannya tentang prinsip damai dan cinta dalam Tarekat Alawiyah. Haidar Bagir memang dibesarkan di lingkungan yang memegang teguh nilai-nilai dasar dari Tarekat Alawiyah. Lumrah jika kemudian ia fokus dalam menekuni kajian Timur Tengah, khususnya dalam dunia tasawuf.

Pada kesempatan tersebut, Haidar Bagir mengawali penjelasan dengan melakukan pelurusan terhadap makna tarekat. Tarekat (thariqah) yang menurutnya bermakna “jalan-jalan kecil/ pintas” adalah bagian atau cabang dari syariah yang berarti “jalan besar”. Tidak seperti fungsi jalan tol, apabila seseorang ingin menuju suatu tempat terpencil (misal, sumber air kehidupan), maka seseorang harus melewati jalan yang lebih kecil untuk bisa menuju tempat tersebut, bukan jalan tol.

Advertisements

Banyak yang menyatakan bahwa mengikuti sebuah (jalan) tarekat adalah menjauhkan diri dari ketentuan syariat (Islam), namun Haidar Bagir tidak sejalan dengan pernyataan ini. Menurutnya, tarekat adalah tahap lanjut seseorang dalam menjalani pengalaman keagamaan yang lebih dalam, yang mana tentu harus melewati jalan ini.

Baginya, Tarekat Alawiyah adalah representasi dari ajaran serta ijtihad dari para ulama terdahulu. Dalam tarekat ini, pijakan para Alawiyyin (kelompok ‘Alawiyah) dalam menjalankan praktik tasawufnya adalah kepada Imam al-Ghazali serta Imam Abu Hasan as Syadziliy. Para Alawiyyin menganggap bahwa agama perlu dihidupkan dengan koridor syari yang tepat, sekaligus dengan hiasan tasawuf yang mendalam. Landasan ini tidak lain juga berdasar pada konsep “muamalah tasawuf” yang diperkenalkan Imam al-Ghazali dalam kitab fenomenalnya, Ihya Ulumuddin.

Tarekat Damai dan Cinta

Haidar Bagir, pada kesempatan tersebut, menerangkan bahwa Tarekat Alawiyah mempunyai prinsip-prinsip mendasar tentang damai dan cinta. Para Alawiyyin mendasari prinsip mereka pada penghindaran terhadap suatu konflik yang besar dalam rangka menjaga perdamaian.

Ini dilatarbelakangi oleh para pendahulu mereka, seperti Imam Ahmad bin Isa al Muhadjir, yang pernah hijrah dari Irak karena terjadi fitnah besar (chaos) ke Hadhramaut, Yaman. Bentuk penghindaran ini bukan berarti kekalahan atau suatu kelemahan. Namun sebaliknya, penghindaran di sini adalah untuk pencapaian suatu kemaslahatan yang lebih mendasar.

Halaman: 1 2 Show All

Tinggalkan Balasan