“Laila, aku punya puisi untuk mantanku”
Seketika itu telingamu memerah. Alismu saling beradu, pun kulit di atasnya mengkerut tak karuan. Kedua bibir yang pernah kulumat hebat kini melecu menolak kata-kataku yang kau anggap rancu.
Meski itu benar kenyataannya.
Kedua mata kita saling bertemu. Tapi tak saling menjamu. Kau begitu mengintimidasiku dengan segala kemarahanmu.
Ralat!
Melainkan dengan segala kecemburuanmu
Kedua kakimu sudah tak kuasa di tempat. Namun, nuranimu masih acuh. Kau beranikan diri menangis di depanku yang kurasa tak perlu.
Sebagai lelaki, aku harus bersikap dewasa. Mencoba bersikap bijak seperti dalam film atau drama. Tentu seharusnya bukan bualan belaka. Aku dekati kau, hingga sengal napasmu begitu jelas terdengar. Kupikir kau juga merasa demikian. Lalu aku bisikkan sebuah kalimat pada telinga yang tertutup uraian rambutmu.
“Isi puisi untuk mantanku adalah kamu”
Desember 2019