Apa yang tidak dikeluhkannya? Semuanya? Iya, semuanya! Hampir tidak pernah tidak, sekalipun itu dengkurannya. Dengkurannya adalah keluhan itu sendiri. Mengeluh sudah menjadi jiwanya. Mengeluh telah menjadi darah yang sepertiga mengaliri seluruh pembuluh nadinya. Mengantar keluhan, hingga ke dalam kepala hingga menancap ke dalam otak. Lalu, dibawanya keluhan-keluhan tadi ke anggota tubuh mulai dari atas, mulai dari mata. Hingga, setiap apa pun yang dilihat akan dikeluhkannya. Tidak hanya yang tampak, yang tak kasat mata pun ia keluhkan. Darah “mengeluh” mengalir ke bawah, ke jantung untuk membuat debaran-debaran ketidaklegawaan, hingga hati yang seharusnya untuk merasakan, hanya ada sensitivitas “mengeluh”. Peka sekali. Tiada detik tersia, untuk melihat, mengucap, merasa, melakukan verbalisme memuaskan hasrat keluhannya.
Hiperbola? Terlalu mengada-ada? Mungkin. Tapi bagi Kang Nardi, melihat sahabatnya sesama buruh tebu dua puluh tahun lebih, makhluk bernama Suradi itu memang begitu lekat-eratnya dengan mengeluh.
“Aduh! Panas betul siang ini! Pekerjaan ini makin berat rasanya. Panasnya benar-benar menyiksa,” seperti biasa, Suradi terdengar mengeluh.
Kang Nardi yang sedang membersihkan rumput di sela-sela bibit tebu, sudah terbiasa mendengar keluhan itu. “Ketika panas mencari hujan. Diberikan dingin hujan, ingin dapatkan kemarau yang menghangatkan. Sur… Sur… maumu bagaimana?”
“Aku berbicara dengan diriku sendiri, kenapa kamu ikut campur?” Suradi merasa tersinggung.
“Maaf, maaf. Bukan begitu, Sur. Mulai kamu kecil, bujang, beristri, hingga sekarang kamu punya anak, masih saja aku dengar keluhan-keluhan keluar dari mulutmu.”
“Jangan sok bijak! Sok suci! Sok-sokan menasihati. Apakah kamu sendiri tidak mengeluh? Ha?!”
“Sudah pasti pernah, Sur. Tapi…,” belum selesai Kang Nardi melanjutkan, Suradi sudah memotongnya.
“Cukup! Jadi, bukan aku saja kan yang mengeluh. Kamu pun mengakuinya, Kang.”
“Mengeluh, sih, ya mengeluh. Tapi sewajarnya sajalah. Jangan berlebihan. Jadi orang itu harus ….”
Suradi sekali lagi sigap memotong, “Harus bisa bersabar dan pintar bersyukur, iya kan? Aku tahu ke mana arah bicaramu, Kang. Sabar, syukur. Syukur, sabar. Kita bukan nabi, jadi boleh mengeluh sambil misuh-misuh.”
Go go trending, go👍👍👍