Angin berembus kencang. Itulah angin Pulau Kangean yang cenderung hangat ditingkahi sinar mentari yang kian meninggi. Dua truk Fuso berjalan terseok-seok karena kelebihan muatan. Balok-balok besar kayu jati membuat rodanya bergerak perlahan meski mesin berputar sekuat tenaga. Knalpotnya menyemburkan asap hitam berpadu dengan debu-debu yang berhamburan. Kerikil-kerikil berlepasan satu sama lain. Pengaspalan yang buruk membuat jalan raya ini gampang sekali rusak.
Bel istirahat berdentang. Murid-murid SDN Kangayan menyambutnya dengan riang. Anis segera mengemasi buku-bukunya. Setelah sungkem kepada Pak Yazid, guru kelasnya, Anis pulang bersama teman-temannya. Rasa lapar dan dahaga telah sejak tadi menyergapnya. Perut Anis keroncongan.
“Assalamualaikum…” setengah berteriak Anis memanggil salam di depan rumah panggungnya.
Tak ada jawaban, mungkin ibunya tidak mendengar. Sejenak dia memandangi rumah panggungnya yang terbuat dari papan-papan kayu. Warnanya coklat kusam dimakan usia. Gentengnya menghitam karena air hujan dan terik matahari selama bertahun-tahun. Kemudian, dengan ekor matanya, dia melirik rumah tetangganya yang mentereng. Dinding-dindingnya berkeramik, bagian bawahnya berhias batu alam yang indah, lantainya licin dan bersih dengan granit mengilap. Jendela dan pintunya tampak kokoh terbuat dari pohon jati dengan kaca-kaca tebal dan mahal. Anis menarik napas, raut mukanya kecut. Seandainya saja rumahnya bagus.
Anis melepas sepatu bututnya lalu melangkah menaiki tangga rumahnya. Dengan sekali dorong pintunya langsung terbuka lebar. Setelah meletakkan buku-bukunya yang dibungkus plastik kresek, dia bergegas menuju dapur. Rupanya ibunya sedang sibuk memasak di bagian luar belakang rumahnya yang difungsikan sebagai dapur.
“Wah, sudah pulang rupanya putriku yang cantik,” sambut ibunya sumringah, “Lapar? Tunggu sebentar, ya…” lanjut ibunya seraya menyorong kayu bakar ke dalam tungku.
Anis mengangguk lalu sungkem kepada ibunya, “Rama belum pulang, mik?” “
Sudah. Itu ikan hasil tangkapan ramamu,” kata ibunya menunjuk ikan lajang yang telah dipindang di dalam periuk. “Ramamu masih mengantar sebagian ikan kepada Bik Monik, semoga saja langsung dapat duit biar bisa beli beras, gula, dan minyak goreng.”
Sebuah cerpen yang nampaknya realistis sesuai dengan kenyataan di tahun 90an. Bahkan di Jember ada orang yang dijuluki Haji Sejati, karena uang untuk biaya naik haji didapat dari menjarah kayu jati. Nauzubillah,,,