Saya kadang memang suka “telmi” alias telat mikir.
Hal itu baru saya sadari pada awal Ramadan yang belum lama berlalu. Seperti Ramadan tahun-tahun sebelumnya, bulan puasa kali ini juga diwarnai kehebohan razia terhadap warung-warung makan yang buka di siang hari. Bahkan, di beberapa tempat, terjadi keributan. Barang-barang dagangan disita petugas, dan pedagangnya diberi sanksi.
Untungnya, organisasi massa yang suka melakukan razia melebihi petugas sudah terlarang. Sehingga, meskipun razia tetap ada, tidak senorak tahun-tahun sebelumnya.
Peristiwa-peristiwa seperti itulah yang menyadarkan betapa saya kadang suka “telmi”. Kenapa waktu itu “tujuh kata” dalam Piagam Jakarta harus disetip? Benar, saya baru sadar. Bayangkan, apa yang terjadi hari-hari ini seandainya waktu itu tujuh kata dalam Piagam Jakarta yang disahkan pada 22 Juni 1945 tidak dibuang. Saya baru sadar betapa besar perjuangan dan pengorbanan para bapak bangsa untuk mendirikan sebuah negara yang berdiri di atas semua golongan. Berdiri tepat pada tempatnya.
Begitu sadar dari “telmi”, saya teringat akan tujuh kata itu: dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya. Begitu teringat tujuh kata itu, saya pun berandai-andai. Andai tujuh kata itu tidak dihilangkan, dan kemudian dimasukkan dan tertera di dalam Pembukaan UUD 1945, maka sudah pasti Indonesia akan menjadi “negara syariat”—istilah kekiniannya adalah “NKRI Bersyariat”. Istilah ini mengandaikan bahwa menyerukan “NKRI Bersyariat” sama artinya dengan ingin menghidupkan kembali Piagam Jakarta.
Konsekuensi berikutnya, karena tujuh kata tersebut masuk dalam konstitusi, maka akan ada undang-undang khusus tentang “kewajiban menjalankan syariat Islam”. Tentu saja, berdasarkan undang-undang ini, negara akan mewajibkan seluruh umat Islam Indonesia untuk menjalankan syariat agama. Jika negara telah mewajibkan, maka yang melanggar kewajiban itu juga akan memperoleh hukuman dari negara. Jika tidak ada sanksi, di mana wibawa negara?
Maka, konsekuensi berikutnya lagi, akan ada penegak hukum syariat, katakanlah polisi syariat —di samping “polisi konvensional”. Tugas polisi syariat tentu saja memastikan seluruh umat Islam Indonesia manjalankan syariat Islam dan menindak yang melanggar atau melalaikan kewajiban menjalankan syariat itu. Ya, mungkin mirip-mirip dengan tugas polisi syariat di Provinsi Aceh.