Haji adalah satu-satunya peribadatan dalam rukun Islam yang ditetapkan dengan catatan. Hanya diwajibkan sekali dalam seumur hidup, dan itu pun dengan catatan: berkemampuan. Ini berbeda dengan empat rukun Islam lainnya, seperti bersyahadat, mendirikan salat, berpuasa, dan mengeluarkan (ingat: bukan membayar!) zakat.
Kenapa kewajiban berhaji ini ditetapkan dengan catatan harus berkemampuan? Yang terbayang pertama sebagai illat adalah tempat. Sebab, berhaji harus dilaksanakan di Tanah Suci Mekkah yang berpusat di Ka’bah. Tidak boleh di tempat lain.
Islam sebagai agama mondial, tentu saja lebih banyak penganutnya yang bermukim jauh, sangat jauh, dari Ka’bah. Karena itu, bagi yang bermukim jauh dari Mekkah, yang tinggal di negara-negara lain atau benua-benua yang berbeda, bukan selalu menjadi perkara mudah untuk bisa datang ke Tanah Suci. Itulah kenapa kewajiban ibadah haji ditetapkana dengan catatan: jika mampu! Dan yang diwajibkan pun hanya sekali dalam seumur hidup.
Tersedia beragam tafsiran perihal “kemampuan” untuk pergi haji ini. Yang pertama dan utama tentu dari sisi finansial. Seseorang yang dari segi kekayaan dianggap memiliki ongkos yang mencukupi untuk berangkat ke Tanah Suci, maka hukumnya wajib untuk berhaji.
Tapi tafsiran perihal “kemampuan” itu tidak tunggal. Sebab, ada tafsiran yang mengaitkan “kemampuan” atau “jika mampu” itu, misalnya, dengan kondisi kesehatan dan situasi sosial politik selama seluruh tahapan haji berlangsung. Mewabahnya suatu penyakit, seperti pandemi Covid-19 saat ini, misalnya, jelas bisa ditafsirkan sebagai penghalang bagi seseorang untuk berangkat haji. Atau, jika jalur lalu lintas keberangkatan haji sedang dilanda perang, juga dapat ditafsirkan sebagai penghalang bagi seseorang untuk berangkat haji.
Jika seseorang, meskipun bekalnya melimpah, namun keselamaatan jiwanya bisa terancam selama mengikuti proses haji, berdasarkan tafsiran-tafsiran tersebut, maka ia bisa digolongkan sebagai orang tidak berkemampuan untuk berhaji. Saat itu kewajibannya gugur —dan bisa mencobanya kembali tahun berikutnya.
Begitulah konstruksi hukum berhaji terbentuk dengan catatan: jika mampu atau berkemampuan. Maka menjadi sulit dimengerti jika orang ramai kemudian “menyinyiri” kebijakan suatu negara yang membatalkan keberangkatan ibadah haji demi keselamatan bersama. Bukan cuma keselamatan masyarakat muslim suatu negara, tapi bahkan keselamatan masyarakat muslim dunia. Bahkan, kenyinyiran itu terasa sudah melampaui batas dengan menuduh pihak-pihak lain sebagai pembenci Islam.