“Kamu di sini dulu nunggu bapak,” ucap Mas gending seraya mengemasi barang yang berserakan di samping bed. Bapak bergeming di tempat tidurnya, matanya terpejam. Beberapa selang bergelantungan di tubuhnya, berjuntai-juntai, menciutkan nyaliku.
“Mas mau ke mana?” aku bertanya khawatir dan takut sekaligus. Menunggui bapak berdua dengannya saja sudah bikin hati tak tenang, apalagi harus sendirian.
“Masak dulu, bikin sarapan. Kalau ada apa-apa bilang saja ke perawat di ruang sebelah,” ucapnya tanpa menoleh ke arahku. Baju-baju kotor kami selama menginap di rumah sakit telah dikemasinya dalam satu kantung plastik hitam sisa bungkus roti semalam.
“Kenapa nggak beli saja Mas. Ada warung nasi kok di depan rumah sakit,” kataku, mencoba menahannya agar tidak meninggalkanku sendirian menunggui bapak.
“Kamu punya uang?” tanyanya, menohokku.
Lidahku tercekat seketika. Kutelan ludah kasar dengan cepat. Semenjak bapak sakit, uang saku serta biaya sekolahku ditanggung olehnya yang seorang penjual bakso. Kutahu saat ini Mas Gending sedang kesulitan mengatur isi dompet. Setiap detik mengeluarkan uang, dan pemasukannya tidak ada sama sekali. Walaupun biaya perawatan bapak ditanggung BPJS, tapi pengeluaran untuk ini dan itu tetap tak bisa dihindari. Entah dompet lusuh itu sekarang masih ada isinya ataukah tidak. Yang jelas muka Mas Gending tak kalah lusuh dengan dompet itu, apalagi isi hatinya.
Mas Gending lantas pergi, tanpa mengucap kata, pamit ke bapak pun tidak. Tapi memang percuma pamitan pada bapak, tak akan dijawabnya. Lidah bapak telah kesusahan untuk sekadar bergerak merangkai kata. Terhitung sejak seminggu yang lalu kondisinya semakin memburuk. Sama sekali dia sudah tidak bisa meninggalkan kasur. Harus selalu ada yang menungguinya. Dan detik ini cemas hatiku menungguinya sendirian. Perasaanku seolah disayat-sayat sepi. Beberapa saat kemudian bibir bapak bergerak-gerak tanpa suara. Kutempelkan ujung bibirku di telinganya. Berbisik lidahku mengeluarkan suara lembut untuk menanyai apa yang sedang dikatakan olehnya.
Gundah menyergapku. Terlebih setelah tak mampu menerka ucapan bapak. Aku beringsut ke depan. Saudara tuaku itu memang benar-benar pulang, kuintip dia melalui jendela. Mas Gending berjalan cepat, mengejar waktu. Tangan kirinya menjinjing kantung plastik besar berisikan pakaian kotor kami, sedangkan tangan kanannya membawa termos. Hatiku mencelos melihat pemandangan itu. Betapa berat beban yang harus ditanggungnya. Aku kembali ke pembaringan bapak.
“Bapak minta apa?” aku berbisik sangat lirih.
Mata bapak terbuka, kulihat ada air yang menggenang di pelupuk mata penuh keriput itu. Entahlah, itu air mata kesedihan atau air mata karena menahan sakit. Tapi aku masih ingat, air mata seperti itulah yang dulu pernah membasahi pelupuk matanya sampai berhari-hari.Ketika itu aku masih kelas lima SD, sekitar lima tahunan yang lalu. Wajah bapak yang dipenuhi kerinduan itu berbinar-binar ceria karena Pak Dardak pemilik wartel di desaku datang ke rumah untuk memberitahu ada telepon dari ibu di Taiwan. Bapak tergesa-gesa pergi ke wartel untuk menerima telepon itu. Hanya para pemilik wartel-lah yang mempunyai telepon pada waktu itu. Bapak mengajakku turut serta, sedangkan Mas Gending sedang bermain sepak bola di ladang kering milik tetangga.
Namun kemudian aku harus menelan kekecewaan karena ibu ternyata tak mengajakku bicara, hanya bapak yang diajaknya bertelepon, padahal aku sudah sangat rindu padanya. Setelah itu, dengan mata berkaca-kaca bapak mengajakku pulang. Dan kami pun melangkah meninggalkan warung telepon itu, tanpa ada sepatah kata pun. Aku yang sekecil itu sudah paham, bahwa ada sesuatu yang telah terjadi di antara ibu dan bapak. Dan benar, beberapa hari kemudian Mas Gending bilang bahwa melalui telepon itu ibu telah melayangkan gugatan cerai. Rasanya kiamat terlalu cepat menghampiri hidup kami. Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada jalan untuk menghindar dari takdir itu.
Ketika aku masuk sekolah dasar ibuku minta izin pada bapak untuk pergi ke luar negeri sebagai TKW. Katanya untuk menyambung hidup serta cita-citanya. Dia ingin agar aku dan Mas Gending bisa kuliah. Bapak pun merelakannya pergi karena merasa tak akan mampu memenuhi cita-cita menyekolahkan anak sampai setinggi itu. Kami melepas kepergian ibu dengan penuh harapan akan adanya masa depan yang lebih baik. Dan lima tahun setelah kepergiannya ke Taiwan harapan itu pupus menjadi puing-puing penderitaan. Kata Mas Gending ibu tergoda oleh lelaki lain. Mungkin juga bosan dengan keadaan bapak yang tak mampu memberikannya cukup materi. Ibuku telah silau akan harta benda.
Kupandangi kembali wajah keriput bapak.
Bibirnya mengucap sesuatu lagi, tapi aku tetap tak mendengar apa-apa. Rasa cemas menggerogoti pikiranku. Berulang-ulang kubisikkan pertanyaan yang sama. Dan aku tetap tak mendengar apa-apa ketika telingaku kutempelkan ke mulutnya yang kering itu. Pikiranku semakin kalut. Semrawut.
Waktu berselang beberapa jenak. Bapak tampak marah karena aku tak kunjung memahami kata-katanya yang tidak jelas. Bibirnya yang sebentar-sebantar berkomat-kamit semakin menggelisahkanku. Adalah stroke yang telah berhari-hari menyerang kesehatannya, membuat lidahnya tak mampu mengucap kata dengan jelas. Jantungnya juga bermasalah. Lelaki yang dulu perkasa, menjadi tulang punggung kehidupan kami itu kini terdiam tak berkutik oleh nasib.
Aku keluar kamar inap bapak. Menengok kamar sebelah yang hanya dibatasi kelambu. Ruangan itu sepi senyap. Semua pasien di ruangan ini telah pulang kemarin, menyisakan bapakku sendirian. Kutengok gerbang rumah sakit yang juga lengang. Tidak ada Mas Gending di sana. Aku kembali masuk ruangan dengan hati gamang. Batinku terasa diiris-iris oleh kesunyian. Perawat hanya menengok bapak sesekali untuk mengecek tensi darah atau membenahi dan mengganti infus. Semenjak Mas Gending pulang pun tak ada perawat yang datang. Sendirian aku menunggui tubuh bapak yang terkulai tak berdaya di pembaringan. Kantuk pun menyergapku
Aku terbangun ketika Mas Gending membangunkanku dengan telapak kakinya. Entah berapa lama aku tertidur di atas tikar tadi.
“Bodoh!” sentaknya tiba-tiba. Dadaku bergetar sangat kaget. Tanganku terasa gemetar. Tak berani aku menatap muka Mas Gending yang entah oleh sebab apa tiba-tiba memakiku dengan begitu kasarnya. Semenjak tak bekerja akibat pandemi ini dia memang lebih sensitif. Apalagi setelah bapak sakit dan tak bisa ke mana-mana. Setiap hari dompetnyalah yang dikuras habis-habisan untuk menambal kebutuhan. Tekanan kehidupan yang berat berlipat-lipat tak pelak mengubah perangainya dari seorang penyabar menjadi seorang lelaki yang begitu mudah emosi.
“Infus bapak habis dan kau enak-enakan tidur!!! Mulutnya kering begini, apa tak kau beri minum? Sedungu itukah kamu?” sentakannya semakin keras meruntuhkan mentalku.
“Ketiduran Mas,” aku menjawab takut. Segunung rasa bersalah mencekik leher kesadaranku.
“Anak tak tahu diri! Bapak sedang kritis begini bisa-bisanya kamu tidur!” umpatan Mas Gending meluap-luap.
Tubuhku menggigil ketakutan menyadari Mas gending sangat murka. Dan memang sudah sepantasnyalah aku yang menjadi sasaran kemarahan itu. Aku memang tak berguna, kehadiranku atau kealpaanku di samping tubuh bapak yang tak berdaya itu sama sekali tak berpengaruh apa-apa. Detik-detik yang terus berlalu membuatku merasa menjadi anak yang tak berguna dan bodoh. Aku merasa sangat bersalah pada Mas Gending, dan tentu saja kepada bapak. Tertunduk kepalaku dalam penyesalan.
Mas Gending melangkah keluar, mungkin memanggil perawat untuk mengganti infus. Dan sebentar kemudian lelaki berusia dua puluh lima tahun itu sudah masuk ruangan lagi. Dia memberi minum bapak. Aku tak tahu harus melakukan apa. Kuambil HP di atas tikar dan aku kemudian melangkah keluar. Mas Gending tak menahanku.
Kucari nomor telepon ibuku. Entah kenapa nomor itu tiba-tiba tiada ketika aku sedang sangat membutuhkannya. Padahal nomor whatsapp itulah yang paling sering aku pandangi. Aku pandangi gambar profil itu, karena tak selalu kerinduanku aku luapkan dengan meneleponnya. Mas Gending sering melarangku untuk menelepon ibu, begitu pula dengan bapak. Entah apa alasan mereka melarangku. Tapi karena itulah aku sering menelepon ibu secara diam-diam. Seperti yang akan kulakukan saat ini.
Berkali-kali aku scroll ke bawah dan scroll ke atas layar HP-ku. Tapi sepertinya nomor itu benar-benar hilang. Kuacak-acak rambutku sendiri karena emosi. Dan tiba-tiba mataku mendelik, kutemukan nomor itu. Mungkin aku terlalu gugup, atau lelah, sehingga mataku tak mampu melihat nomor ibuku. Segera kupencet tombol panggil. Walau permintaanku sering diabaikan, dan walaupun sekarang dia bukan lagi istri bapak, namun aku tak akan berhenti menghubungi. Menurutku tak ada salahnya meminta pertolongan padanya. Karena bagaimanapun juga dia tetaplah ibuku. Dan aku masih berharap suatu saat nanti dia akan kembali ke pangkuan bapakku.
Tak diangkat. Mungkin dia sedang menelepon suami barunya. Merasa jengah terus diabaikan, aku pun berhenti menghubunginya. Mondar-mandir aku di Puskesmas yang lengang. Ingin aku membeli kopi dan rokok di warung sebelah, tapi kemudian aku teringat pada wajah penuh amarah kakakku. Kuurungkan niat itu. Mas Gending sangat membenci kebiasaanku merokok, karena aku masih sekolah. Uang pun belum bisa mencari sendiri. Tiba-tiba HP dalam saku bajuku bergetar. Ternyata ibu memanggil. Kuangkat cepat-cepat panggilan itu. Kuutarakan maksudku meneleponnya tadi. Tak seperti biasanya, ibu kali ini mau membantu kami untuk mengobati bapakku yang juga mantan suaminya itu. Sejumlah uang akan ditransfer ke rekening Mas Gending. Aku tersenyum puas. Amarah kakakku itu pasti akan sirna melihat aku berhasil mencari bantuan dana.
“Untuk apa meminta bantuannya?” sergah Mas Gending setelah kuberitahu ibu memberi kami uang.
“Bukankah kita sedang butuh bantuan dana untuk biaya pengobatan bapak?” tanyaku keheranan.
“Kita tak membutuhkan bantuannya. Dia akan semakin jumawa melihat kita tak berdaya. Akan semakin jauh dia melihat bapak dengan sebelah mata,” Mas Gending berucap dengan bibir bergetar.
“Bukankah sebaiknya kita tak perlu memperturutkan dendam untuk mempertaruhkan nyawa bapak kita?” protesku, mencoba berpikir bijak.
“Tak ada yang perlu dipertaruhkan,” tukasnya.
“Kenapa?” sahutku cepat.
“Kita sudah tak punya bapak lagi,” jawabnya lirih. Bulir-bulir air mata mengaliri pipinya yang sedikit legam terbakar sinar matahari di jalanan.
Mentaraman, 4 Juli 2020.