Pesantren merupakan lembaga pendidikan yang tidak saja mengembangkan aspek kognitif (intelektual), tetapi juga akhlak, moral, dan spiritual para santri. Pengembangan aspek kognitif di pesantren dilakukan melalui ilmu-ilmu pengetahuan dan science yang rasional, ilmiah, dan akademik. Pembentukan akhlak dan moral dilakukan melalui penanaman nilai-nilai agama melalui laku hidup yang praktis dan konkret. Artinya, agama dalam pendidikan pesantren tidak sekadar menjadi pengetahuan yang hanya diajarkan sebagaimana mengajarkan ilmu pengetahuan science. Pendidikan akhlak dan moral di pesantren dipraktikkan melalui laku ibadah formal sehari-hari, hubungan kiai dan santri, adab menuntut ilmu, dan etika bermasyarakat semua dipraktikkan langsung di pesantren.
Pendidikan spiritual dilakukan melalui berbagai laku riyadhoh, yaitu olah batin spiritual melalui berbagai ritual. Riyadhoh ini menjadi tradisi pesantren. Hampir semua santri yang belajar di pesantren pernah melaksanakan laku riyadhoh. Ritual laku riyadhoh biasanya berbentuk puasa, makan hanya makanan tertentu, membawa wirid dalam jumlah dan waktu tertentu, serta salat-salat sunah tertentu.
Dalam tradisi pesantren, riyadhoh memiliki metode dan prosedur baku sesuai dengan hajat dan ilmu yang ingin dicapai. Misalnya, jika santri ingin cepat menghafal dan mudah menerima ilmu, maka dia harus membaca ayat tertentu dari al-Quran, membaca al-Fatihah, dan puasa selama sekian hari. Ayat yang didzikirkarkan, jumlah puasa dan rakaat salat yang dilakukan, bisa berbeda untuk hajat yang berbeda. Selain tergantung jenis hajatnya, riyadhoh juga tergantung tingkatannya. Pada tingkat tendah, maka riyadhoh dilakukan secara ringan. Semakin tinggi, maka riyadhoh akan semakin berat.
Tradisi riyadhoh ini sebenarnya bersumber dari laku Nabi Muhammad, yaitu ketika Nabi Muhammad melakukan uzlah (pengasingan diri) di gua Hira yang ada di puncak Jabal Nur. Di tempat ini Nabi melakukan laku spiritual, olah batin penyucian diri sampai mendapat wahyu pertama. Selain Jabal Nur, Nabi juga pernah riyadhoh di Jabal Tsur. Selain untuk sembunyi dari kejaran kaum Jahiliyah, di gua yang ada di Jabal Tsur ini Nabi juga melakukan riyadhoh, munajad kepada Allah.
Selain para Nabi Muhammad, para nabi terdahulu juga menjalani laku riyadhoh. Misalnya, Nabi Musa melakukan riyadhoh di Gunung Thur Sina. Setelah riyadhoh di bukit ini, Nabi Musa mendapat wahyu kenabian, mukjizat tongkat, bahkan bisa berkomunikasi langsung dengan Allah. Nabi Adam melakukan riyadhoh saat baru diturunkan dari surga dan dalam pengembaraan mencari Siti Hawa sampai akhirnya bertemu di Jabal Rahmah. Riyadhoh yang dilakukan Nabi Adam adalah dengan berdiam siang malam sambil mohon ampun kepada Allah atas kesalahannya melanggar larangan Allah hingga diturunkan dari surga. Nabi-nabi lain juga menjalani laku riyadhoh dalam proses kehidupannya sampai mencapai derajat kebatinan tertinggi.
Riyadhoh tidak hanya menjadi tradisi para Nabi, bahkan masyarakat Nusantara juga mengenal tradisi ini. Di kalangan masyarakat Jawa, tradisi riyadhoh ini disebut dengan tapabrata. Tradisi ini dilakukan oleh para pandita dan ksatria. Menurut Ki Ageng Suryo Mentaram, dalam upaya mendekatkan diri kepada Gusti Allah, manusia Jawa juga harus menjalankan tapa brata. Ada tujuh jenis tapa brata. Pertama, Tapa Jasad, yakni laku badan jasmaniah. Suatu upaya membersihkan hati dari sifat benci dan sakit hati, ikhlas menerima nasib, pasrah terhadap ketentuan-Nya. Puasa jasad ini merupakan puasa pada tataran syariah.
Kedua, Tapa Budi, yakni laku tarekat untuk menjaga diri dari tindakan tercela seperti dusta, ingkar janji, aniaya, berkhianat, dan sebagainya. Kemudian berusaha menjalankan tindakan terpuji seperti jujur, amanah agar bisa mewujudkan budi luhur. Ketiga, Tapa Hawa Nafsu, yakni laku batin untuk membentuk jiwa sabar dan alim serta memaafkan kesalahan-kesalahan orang lain. Keempat, Tapa Rasa Sejati, yaitu menempa diri melakukan semedi untuk mencapai bening kalbu atau ketenangan batin. Kelima, Tapa Sukma, yaitu laku batin agar mampu menjaga diri supaya tidak tertarik pada gemerlapnya dunia, bersikap ambeg parama arta, atau bermurah hati, ikhlas dalam berbagi dan tidak mengganggu orang lain.
Keenam, Tapa Cahya Amuncar. Tapa ini dilakukan untuk menjaga hati agar selalu waspada dan ingat kepada Allah. Melalui tapa ini seseorang memiliki kemampuan melihat secara lahir dan batin, bisa membedakan yang palsu dan sejati. Pendeknya, melalui Tapa Cahya Amuncar ini seseorang mampu menyingkap tabir kehidupan. Ketujuh, Tapa Hidup (Tapaning Urip), yaitu bertapa di tengah keramaian hidup, tapi tetap menjaga kejernihan hati dari berbagai godaan yang bisa mengotorinya. Meski berada di tengah kepungan kenikmatan, kemewahan, desakan kepentingan, tapi tetap menjaga keikhlasan hati tanpa memiliki rasa khawatir karena percaya segala sesuatu yang terjadi adalah merupakan kebijakan dari Gusti Allah Yang Maha Mengetahui.
Dari berbagai tradisi riyadhoh yang ada, baik yang bersumber dari Islam maupun Nusantara (Jawa), semua menunjukkan bahwa riyadhoh merupakan laku batin untuk mengasah kepekaan spiritual dan menjaga kejernihan hati dan mengembangkan potensi spiritual agar bisa menangkap pancaran nur Ilahi. Siapa saja yang memiliki kebersihan batin, ketinggian daya spiritual, maka akan memiliki kemampuan lebih dibanding manusia biasa yang tidak menjalankan laku riyadhoh. Kenyataan inilah yang mendorong seseorang melakukan riyadhoh.
Dalam komunitas pesantren, riyadhoh tidak hanya dilakukan oleh para santri, tetapi juga para kiai. Hampir semua kiai pengasuh pesantren melakukan riyadhoh sebagai upaya batin untuk kesuksesan para santri dan kekuatan diri dalam mengelola pesantren. Misalnya, ada kiai yang melakukan puasa Daud seumur hidup, mengamalkan salat malam, dan dzikir semur hidup. Ada juga yang hanya makan makanan tertentu seumur hidup. Kisah-kisah seperti ini menjadi hal biasa dalam dunia pesantren.
Dari uraian tersebut, jelas terlihat, tradisi riyadhoh yang ada dipesantren memiliki akar kultural teologis yang kuat, baik yang berasal dari Islam (tradisi para Nabi) maupun dari Nusantara (para kesepuhan). Riyadloh merupakan bagian integral dalam metode pendidikan kaum pesantren. Artinya, riyadhoh menjadi bagian yang tidak terpisahkan dengan pendidikan science. Jika pendidikan science untuk mengembangkan kecerdasan akal/rasio, maka riyadhoh merupakan metode pendidikan pengembangan spiritual dan kepekaan batin untuk melengkapi kecerdasan akal/rasio.
Konstruksi pendidikan yang integratif antara rasio/akal dan spiritual inilah yang membuat pesantren tetap menjadikan riyadhoh sebagai bagian dalam metode pendidikan hingga saat ini. Akal dan spiritual yang selama ini terlihat berbenturan dan saling berseberangan, justru diintegrasikan dalam tradisi pesantren. Keduanya dijalankan secara seimbang dan dibangun hubungan yang saling melengkapi antara keduanya (komplementer). Inilah yang membuat pesantren mampu bertahan menghadapi gempuran kultural hingga saat ini.