Saya hidup di pesantren selama 12 tahun. Yang pertama mondok di Pondok Pesantren Nurul Islam Karangcempaka, Bluto, Sumenep, Madura sejak 1999 sampai 2006. Yang kedua nyantri di Pondok Pesantren Nurul Qarnain Sukowono, Jember, Jawa Timur dari 2006 hingga 2011 ).
Tentu, selama 12 tahun itu banyak menoreh kisah dalam perjalanan hidup saya. Salah satunya, kisah derita yang jika mengingatnya tak sanggup saya membendung tetesan air mata.
“Jika aku ada teman yang juga dari Jember, aku akan melanjutkan ke madrasah aliyah. Tapi, jika tidak ada, mungkin aku cukup sampai di madrasah tsanawiyah ini saja,” kata Hafi kepada ayahnya, Abdul Halim melalui sambungan telepon saat detik-detik penerimaan tanda kelulusan MTs Nurul Islam Karangcempaka Bluto Sumenep Madura, pada Juni 1999.
Lalu sang ayah sibuk mencari anak dari beberapa kenalannya yang mau dibujuk untuk menuruti permintaan putranya itu. Ia menghubungi teman-temannya. Ia mendatangi rumah-rumah tetangga-tetangganya. Ia mencari informasi perihal anak siapa yang ingin melanjutkan sekolah ke tingkat SMP atau tingkat SMA pada ajaran tahun baru kala itu.
Setelah beberapa hari, usahanya membuahkan hasil. Ia menemukan seorang anak dari teman seorganisasinya di masyarakat. Dan anak itu tiada lain adalah saya. Saat itu saya baru lulus Sekolah Dasar. Dan ayah saya, Khomsu, memang sejak lama menyusun rencana ingin memondokkan sekaligus menyekolahkan saya ke pulau Madura. Ternyata, gayung bersambut. Lega rasanya.
Senja yang memukau di hari Selasa sore itu, 6 Juli 1999, bersaksi bahwa saya, ayah, dan Pak Halim berangkat dari Garahan ke Tawang Alun mengendarai mobil Bapak Husen, tetangga Pak Halim. Tepat pukul 19.05 WIB kami sudah sampai di Tawang Alun dan segera mencari bus menuju Madura.
Sesaat kemudian, ayah dan Pak Halim membawa barang-barang bawaan. Memasukkan ke dalam garasi bus. Sementara saya sendiri membawa tas gendong berisi beberapa lembar baju dan makanan ringan dari ibu untuk cemilan di dalam bus.
***
Sebulan sudah saya beradaptasi dengan teman baru serta lingkungan pesantren. Amat sulit bagi untuk mengubah tingkah laku seperti biasa saat di rumah dulu. Apalagi teman-temanku setiap saat berbahasa Madura, bahkan logatnya pun berbeda-beda, sesuai daerah masing-masing. Lebih dari itu, karena saya masuk di daerah al-Arabi, terang saja dituntut ber-takallum bahasa Arab dalam setiap waktu.
Harus penuh perjuangan untuk bisa menguasai dua bahasa yang selama di rumah tak pernah membiasakannya. Soal Bahasa Madura, saya sering dengar saat ikut ibu belanja ke pasar yang mayoritas pedagangnya memang orang Madura. Bahasa Arab juga begitu. Saya tak pernah membiasakan ber-takallum, kecuali membacanya ketika mengaji di musala. Saya pun harus berlari mengejar ketertinggalan dalam berbahasa. Saya lebih giat belajar bahasa Arab kepada ustaz dan akhi-akhi yang nyantrinya sudah lebih lama. Saya juga banyak bertanya kepada Hafi soal bahasa Madura.
Kurang dari sebulan mondok di Madura, saya ditinggal sendirian oleh Hafi. Karena sakit, Hafi harus pulang Jember dalam waktu yang cukup lama, hingga tidak diketahui kelanjutannya; hendak kembali lagi ke pondok atau berhenti. Saya harus menerima kenyataan dan harus kuat menjalani hidup berjauhan dari keluarga, walau tanpa teman yang sama-sama dari Jember. Tidak boleh tidak, saya harus mampu hidup seorang diri di pulau yang tidak pernah saya singgahi sebelumnya. Hanya saya seorang diri, santri yang berasal dari luar Madura di Pondok Pesantren Nurul Islam kala itu.
Keluarga tidak punya. Famili pun tidak ada yang tinggal dan berasal dari pulau garam. Hari-hari selalu dalam kesendirian. Sepi. Sepi dari keluarga dan teman sepermainan semasa kecil. Rasa tidak kerasan mulai menikam. Ketika situasi seperti itu, saya sangat ingin bersua dengan keluarga di Jember, tapi takut hendak pulang. Takut tidak sampai ke tujuan karena belum pengalaman naik bus seorang diri. Akhir punya akhir, saya memilih untuk konsentrasi dan kembali pada niat awal datang ke Madura; li thalibil ‘ilmi bi ridlallahi Ta’ala. Menuntut ilmu dengan mengharap rida Allah, Dzat Yang Maha Tinggi.
Kerapkali saya tersedu menangis manakala menyadari ruwetnya hidup dan teringat kepada keluarga. Saya pernah berkali-kali sesenggukan sebab sakit yang tak kepalang perih. Saya tak enak minta bantuan pada teman-teman di pondok. Lagi-lagi saya ingat pada ibu yang selalu ada untuk merawat ketika saya sakit.
Sebagai santri yang sangat berjauhan dari rumah asal, saya kerapkali mengalami telat kiriman. Bukan hanya hitungan hari, tapi bulan. Berbulan-bulan saya kekurangan bekal. Berkali-kali saya telepon keluarga. Berkali-kali saya kabarkan bahwa kiriman yang dulu kini sudah tak berbekas. Berbulan-bulan saya menanti kiriman, namun tak kunjung tiba.
Akhirnya, saya bertekad mencari kerja. Kerja menyiram tembakau milik Pak Hasim di sawah utara rumahnya. Sawah milik Pak Hasim berada di belakang gedung madrasah aliyah putra. Setiap bakda Subuh setelah mengaji kitab turats, saya istikamah saban hari menyiram tembakau. Tubuh saya yang masih kecil dan lemah seringkali sempoyongan seolah nyaris ambruk di kala memikul berat air di atas gayung besar yang terbuat dari seng. Dan sebagaimana biasa, seusai menyiram tembakau, istri Pak Hasim memberiku sepiring nasi berlauk teri dan sedikit sambal kering. Perut pun terganjal dan bisa saya manfaatkan untuk beraktivitas selama satu hari. Kurang lebih selama satu bulan, saya makan satu kali dalam sehari-semalam.
Teringat pula manakala pada suatu malam mata tak mampu terpejam lantaran seharian perut keroncongan, tak ada sebutir nasi pun yang saya makan. Terpaksa bangun dan berjalan menuju dapur santri. Sepintas saya dapati kastol yang tidak asing lagi di mata, teronggok di atas tungku. Saya segera ke kamar sebelah mencari dan membangunkan teman, pemilik kastol itu.
“Akhi, hal yajuzu ‘alayya an asta’ira qidraka? (Aku pinjam kastolmu. Boleh, kan?)” tanyaku kepada Buwanto Masaran Bluto.
“Na’am, tafadlal! (Iya, silakan!).”
“Aina satathbakh? (Kamu mau masak di mana?),” ia bertanya sambil mengucek matanya.
“Fil mathbakh, Insya Allah (Insya Allah, di dapur).”
Saat itu hujan tengah mengguyuri bumi Nurul Islam Karangcempaka. Cepat-cepat saya kembali ke dapur. Sampai di dapur, bukan memasak yang saya lakukan. Bagaimana hendak memasak, sedangkan tak sebulir beras pun yang saya punya. Maka, dengan dibantu sendok nasi, saya mengeruk sisa nasi setengah hangus milik Buwanto yang tetap lengket di kastol tersebut. Sungguh, sambil meneteskan air mata, saya memakannya tanpa lauk-pauk. Saya menabahkan diri. Sambil mengelus dada, hati ini berbisik; sabar, Zi, kamu pasti kuat.
Dan yang tak bisa terlupakan pula, detik-detik keinginan yang meletup-letup untuk bisa bersujud ketika salat dengan dahi menyentuh sajadah. Saya memang satu-satunya santri yang tidak memiliki sajadah.
Tepat pada waktu Jumat Bersih, kebetulan sekali saya ditugaskan membakar sampah di jurang sampah. Dengan memegang korek api, tangan terulur siap membakarnya. Tak sengaja mata saya mendapati buntalan sampah terbujur di tengah jurang. Saya hampiri lalu membukanya, dan buntalan itu pun berserakan. Rupanya, saya menemukan sajadah yang bagian ujungnya sedikit terkena bakar. Pucuk dicita ulam pun tiba. Sekejap, timbul perasaan dalam diri untuk memanfaatkannya.
Demi menghindar dari hal-hal berbau negatif, sajadah itu kemudian saya ikat sebentuk bola, lalu saya lempar ke jalan dan pura-pura kutendang hingga ke tempat sepi. Baru setelah itu, dengan sembunyi-sembunyi, saya mencucinya. Tak tertahan, air mata menggenang. Setelah kering, sajadah itu saya pakai salat, bermunajat dan menumpahkan air mata kepada Allah di sempilan rusuk malam.
Pernah juga, pada suatu malam saya duduk sendirian di belakang asrama. Saya nyalakan sepotong lilin. Lilin itu yang saya gunakan memperekat kembali tali sandal yang terputus. Biasanya sekali tali sandal terputus, langsung saya lempar ke tong sampah. Tapi, tidak begitu bagiku saat itu. Saya menyambungnya lagi dengan dipanaskan ke api lilin. Berapa hari kemudian, sambungan itu kembali terputus. Mau saya sambung lagi, tapi sambungan bertumpang sambungan dan terlalu banyak sambungan, akhirnya tidak bisa lengket. Namun saya tak kering akal. Saya tusukkan sehelai peniti ke ujung tali pengikat sandal jepit. Setiap hari saya pakai sandal itu dalam segala aktivitas. Walau kadangkala sela-sela jempol dan telunjuk kaki merasa sakit. Dan bila tiba musim hujan, kaki selalu becek akibat lubang bagian depan sandal yang terus menghisap basah dan tanah becek.
Saya sadar bahwa menuju kesuksesan tidak ditaburi bunga indah semerbak mewangi, melainkan dihalau deduri, kerikil tajam, dan terkadang ranjau yang mesti diseberangi. Maka, saya meyakinkan diri bahwa saya bisa menyeberangi duri dan kerikil tajam ini. Saya mantapkan diri bahwa takkan lekang oleh panas dan takkan lapuk oleh hujan.
Saya terus menjalani hari-hari dengan denyut senyum dan degup kesabaran. Sebab, pertama, saya yakin ujian dari-Nya takkan melebihi kekuatan diri sendiri. Kedua, Allah tidak pernah tidur dalam mengatur hidup seseorang. Ketiga, pelangi terlukis setelah hujan badai.
Kini, ketika telah balik hidup di tengah-tengah masyarakat, saya rasakan hikmahnya begitu besar. Berkah saat nyantri betul-betul terasa. Doa kiai dan para guru benar-benar selalu teriring kepada santrinya, kendati sudah alumni.
Beberapa bulan sejak kepulangan dari pondok (2006), saya kuliah sambil disuruh ngajar di salah satu pesantren besar di Kabupaten Jember. Bahkan, di pesantren tersebut saya temukan tulang rusukku (menikah tahun 2011). Lalu, saya berkesempatan menyelesaikan kuliah di pascasarjana di Universitas Islam Negeri (UIN) KH Achmad Shiddiq Jember (tahun ini; 2021) dan sambil merintis Yayasan Pendidikan Islam Qarnul Islam di tempat kelahiranku.***
Mantap