Kita hidup di zaman ketika nasib individu bisa berubah karena satu klik. Jalan hidup warganet bisa berbalik arah gara-gara satu unggahan. Bahkan satu rekomendasi dari mesin pencari bisa mengubah peruntungan seseorang.
Dunia hari ini digerakkan oleh algoritma—sebuah sistem cerdas yang mengatur apa yang kita lihat, dengar, dan yakini. Tapi di balik kecanggihannya, algoritma bukanlah makhluk gaib; ia hanyalah pantulan dari kebiasaan manusia. Apa yang kita sukai, itulah yang terus disuapi oleh mesin. Dan di sinilah tantangan terbesar bagi santri zaman now: berani menentukan algoritmanya sendiri.

Selama ini santri dikenal rendah hati, tapi kadang terlalu rendah hingga suaranya tenggelam. Di tengah dunia yang berlomba jadi viral, santri sering memilih diam karena takut disebut riya’ atau merasa tidak layak tampil.
Padahal, seperti dawuh Gus Baha, “Kalau kamu ahli Fathul Qorib, tulis di depan rumahmu: ‘Ahli Fathul Qorib.’ Kalau ahli Mahalli, tulis: ‘Ahli Mahalli.’ Biar orang tahu keilmuanmu.” Itu bukan pamer, tapi ikhtiar agar cahaya ilmu tidak padam di bawah bayang-bayang kebodohan yang berisik di dunia maya.
Santri tidak boleh minder di hadapan zaman. Justru sebaliknya, dunia sedang butuh filter moral yang hanya bisa diberikan oleh mereka yang paham adab.