Amal Jariyah Guru Santri

38 views

Selepas lulus kuliah, Nopi tidak pernah bercita-cita untuk mengajar di Madrasah Aliyah (MA), lebih-lebih yang berada di pondok pesantren. Tak punya mimpi mengajar santri.

Suatu hari, Nuribi, temannya yang pernah menjadi guru di Pondok Pesantren Al-Hikmah, dimintanya untu membatu mencarikan lowongan pekerjaan. Nuribi lalu mencari nomor handphone Pras, temannya  yang masih mengajar di MA Al-Hikmah.

Advertisements

“Assalamualaikum Pras, bagimana kabarmu?”

“Waalaikumsalam, Bing. Alhamdulillah baik.”

“Kamu masih ingat tidak dengan teman kuliah kita yang bernama Nopi?”

“Masih, teman kamu satu kos dulu, kan? Dia juga temanku sekelas di semester awal kuliah. Mana mungkin aku lupa.”

“Nopi sekarang mau pulang kampong karena ia ingin menemui ibunya. Dia sedang mencari lowongan guru Bahasa Indonesia. Kalau ada lowongan guru Bahasa Indonesia di MA Al-Hikmah, kamu kabari ya?”

“Iya, Bing. Insyaallah.”

***

Nopi memang diminta oleh kakak-kakaknya untuk pulang ke kampung halaman agar bisa menemani ibunya. Semenjak kedua kakaknya menikah, mereka memutuskan untuk tinggal di rumah mertuanya. Hal itu menyebabkan ibunya sendirian di rumah.

Kebetulan, di perantauan Nopi juga sudah mulai kesepian. Semua teman kuliahnya pulang kampung seusai wisuda. Para mahasiswa baru yang datang untuk mengisi kamar-kamar kos temannya tidak mampu mengisi ruang hampa di hatinya. Ada kejadian yang membuat Nopi sebal. Selama empat tahun lebih, helm dan sepatunya yang selalu diletakkan di rak sering raib.

“Ya tidak mengapa kamu pulang. Jika kamu takut tidak mendapatkan pekerjaan, cobalah memasukkan lamaran ke berbagai sekolah,” kata Bu Ismi, ibunya Nopi.

***

Setelah lulus kuliah, Nopi pernah mengajar di berbagai sekolah, mulai dari SD, SMP, hingga SMK. Tetapi, kali ini ia akan mencoba mengajar di Madrasah Aliyah, yang mayoritas siswanya merupakan santri.

Suatu hari, HP Sony Ericsson W200i Nopi berbunyi. Ia melihat nama Prasojo di layah HP.

“Assalamualaikum Nop, gimana kabarmu?”

“Alhamdullilah, baik Pras. Aku dengar kamu bekerja di dekat rumahmu, menggantikan Nuribi sebagai guru Bahasa Indonesia sebelum dia pindah bekerja di Kota Kediri.”

“Ya benar. Eh, ini ada lowongan guru Bahasa Indonesia di MA Al-Hikmah, karena Bu Menik, guru Bahasa Indonesia MA Al-Hikmah itu, telah menikah bulan ini. Ia berencana mengundurkan diri karena ingin tinggal di rumah suaminya.”

Mendengar kabar gembira tersebut, tanpa berpikir panjang Nopi memutuskan untuk pulang kampung sesegera mungkin. Karena, ia berpikir kesempatan tersebut tidak akan datang dua kali. Mengajukan lamaran sebelum terisi oleh orang lain adalah langkah yang diperlukan.

***

Bus yang membawa Nopi telah sampai ke sebuah pondok pesantren yang terletak di tepi Jalan Raya Kediri-Tulungagung. Ia berjalan memasuki sebuah gapura hijau yang di atasnya terlulis Pondok Pesantren Al-Hikmah Purwoasri Kediri. Dikeluarkannya sebuah amplop coklat seukuran kertas folio yang di dalamnya terdapat seberkas surat lamaran, ijazah, daftar riwayat hidup, dan sebagainya.

Ia berjalan mendekati seorang beseragam abu-abu dengan kopyah haji berwarna putih. Ia sedang membersihkan kolam ikan koi yang terletak di depan kantor Kepala Madrasah Aliyah Al-Hikmah.

“Assalamualaikum, Pak. Saya Nopi, ingin mengajukan lamaran pekerjaan sebagai guru Bahasa Indonesia.”

“Waalaikumsalam, silakan masuk dulu.” Ia mengajak Nopi memasuki ruang Kepala Madrasah.

“Silakan duduk. Sudah ada pengalaman mengajar?”

Nopi terkejut, seseorang orang berpenampilan sederhana yang sedang merawat kolam ikan tadi ternyata Abah Dain, Kepala MA Al-Hikmah.

“Sudah Pak, saya pernah mengajar SD, SMP, dan SMK.”

“Baik, sementara berkas lamaran ini saya terima. Nanti jika ada, Bapak diterima, kami hubungi.”

Nopi menyalami Abah Dain. Usai itu, ia melangkahkan menuju parkiran untuk menemui Nuribi, teman satu kamar kos waktu berkuliah di Surabaya.

“Memang bekerja di desa itu gajinya tidak sebesar di kota. Tetapi, di sini kamu tidak perlu kos, tidak macet, dan harga makanan tidak semahal di kota. Benar, kan, Mas Ibing?” Bu Ismi melemparkan pertanyaan itu kepada Ibing, nama pangilan Nuribi.

“Iya Bu, hidup di desa itu enak. Orang desa itu cenderung ramah, apalagi jika kita berprofesi sebagai guru, lebih akan dihormati. Perbanyaklah berdoa Nop, agar bisa diterima sebagai pengajar di MA Al-Hikmah. Jika kulihat kemampuanmu, insyaallah diterima.”

***

Sabtu, 10 Juli 2010 pukul 07.43, empat bulan setelah surat lamarannya dilayangkan, HP Nopi berdering. Ada nomor yang tidak dikenal masuk.

“Assalamuaikum, saya Heru, waka kurikulum MA Al-Hikmah. Apa saya benar ini Pak Nopi?”

“Waalaikum salam. Iya Pak, saya Nopi.”

“Saya diminta Abah Dain untuk memanggil Bapak guna kepentingan wawancara konfirmasi ajuan menjadi guru MA Al-Hikmah. Apa bisa Bapak menemui saya hari ini?”

“Saya masih di Surabaya, seandainya saya datang pukul 12.00 apa bisa, Bapak?”

“Jika tidak memungkinkan hari ini, tidak mengapa besok datang.”

Nopi sangat bersyukur karena mendapatkan kesempatan wawancara sebagai guru MA Al-Hikmah. Tentu ia tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini. Pada pagi itu, senyampang tidak ada jam mengajar di SMK IKIP Sidoarjo, ia memutuskan untuk menghadiri wawacara.

***

Ini adalah hari pertama Nopi akan mengajar di MA Al-Hikmah. Senyampang menunggu jam mengajar, ia menunggu di ruang guru. Ketika akan memasuki ruang guru, terlihatt beberapa guru yang sedang duduk. Salah seorang mempersilakan Nopi untuk memasuki ruang guru.

“Monggo Pak, silakan masuk,” sapa seorang guru paro baya.

Injih, Pak. Saya Nopi.” Tangan Nopi arahkan ke depan para guru senior MA Al-Hikmah sebagai tawaran untuk bersalaman.

“Malik.”

“Haris.”

“Agus.”

“Rona.”

“Nasulkan.”

“Ini teman saya kuliah, Pak. Masih mengajar di Surabaya, Pak Nop?” ujar Pras kepada mereka.

“Sepertinya saya mau mengundurkan diri karena nanti saya akan kerepotan harus bolak-balik ke Sidoarjo.”

“Apa Anda mengajar juga di Sidoarjo?” tanya Pak Malik.

“Iya Pak, sebelum diterima di sini, saya mengajar di SMK IKIP yang berada di Sidoarjo,” jawab Nopi.

“Apa sudah ada guru pengganti di sana? Apa jam mengajar di sini penuh?”

“Belum ada, Pak Malik. Tidak juga, saya cuma mengajar Sabtu sampai Selasa.”

“Wah, kasihan anak SMK jika Anda meninggalkan mereka. Coba Bapak berikan waktu kepada SMK untuk mendapatkan guru pengganti. Jangan sampai mengacuhkan siswa yang hendak menimba ilmu kepada kita. Tak baik seorang guru menolak mengajari siswa.”

Pak Malik juga menjelaskan bahwa menjadi seorang guru itu suatu hal yang wajib kita syukuri karena memiliki banyak keutamaan. Jika guru ikhlas mengajarkan ilmu dan memperbaiki akhlak siswa, maka ia akan mendapatkan amal jariyah.

Nasihat-nasihat yang disampaikan Pak Malik itu sudah pernah didengar Nopi. Tetapi, sayangnya, terpendam oleh beban pikiran. Cara Pak Malik berbicara dari hati ke hati itu membangkitkan lagi nilai kemuliaan profesi guru yang terpendam lama. Tak pernah terbayangkan olehnya bahwa ia akan menemukan sesuatu yang telah hilang. Tak salah ia memilih mengajar di MA Al-Hikmah karena, sambil mengajar, ia bisa mencari paradigma yang mampu mererangi hatinya.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan