Tetangga bilang ini sebuah kutukan. Tetapi kataku ini adalah takdir.
***
Barangkali tidak ada perempuan yang lebih gila dari Ratri. Ketika perempuan lain mengidam penganan dan sejenisnya, Ratri justru menginginkan sesuatu yang membuat Anto pusing bukan kepalang. Anto pikir keinginan Ratri hanya sebatas ngidam. Toh ketika sudah melahirkan, semua perempuan akan melupakan permintaannya ketika ngidam. Tetapi, Anto salah besar. Tidak cukup Ratri mengasuh anak kandungnya, Ratri juga ingin mengasuh seekor anakan kucing.
Peristiwa itu terjadi enam bulan silam. Ketika seekor anak kucing liar yang amat menyedihkan menyelinap dari balik pintu dapur rumah Anto. Kucing berusia sekitar dua bulan dengan tubuh berkutu dan penuh luka koreng bernanah. Perawakannya kurus kering dan kakinya pincang. Maka terseoklah kucing itu ketika berjalan. Beberapa ekor lalat hijau turut mengerubungi ke mana pun perginya. Siapa pun akan muntah kala melihat kucing yang hampir sekarat itu.
Ratri tengah mengandung tiga bulan, kala itu. Anto takingin istri dan calon bayinya tertular penyakit. Ia menghardik kucing tersebut agar menjauh dari rumahnya. Kabar tersebut sampai ke telinga tetangga. Beberapa—bahkan hampir semua—yang mendengar kabar tersebut akan mengutuk perbuatan Anto. Kucing yang harusnya disayang—sebagaimana Nabi sangat menyayangi kucing—tetapi Anto justru mengusir tanpa memberinya makan.
Menginjak usia kandungan Ratri yang ketujuh bulan, ia malah menginginkan kembali kucing itu. Tentu Anto tidak menuruti ucapan istrinya. Manalah mungkin mencari keberadaan kucing liar yang hanya sekali singgah tanpa tahu dari mana muasalnya.
Ratri bersikeras bagaimanapun caranya Anto harus menemukan kucing itu. Berbulan-bulan ia mencari di pasar, pelelangan ikan hingga got, namun tak ditemuinya kucing yang dicari. Pernah suatu kali Anto membawa seekor kucing, sekilas mirip dengan kucing yang dimaksud istrinya. Namun, batin perempuan tidak dapat dibohongi. Ia hanya menginginkan kucing itu, bukan yang lain.
***
Jantung Anto berdetak dengan irama tak beraturan. Ratri berbaring di ranjang rumah sakit. Otot-ototnya masih sakit semua, katanya. Ke kamar mandi pun harus diantar pakai kursi roda. Wajar saja, beberapa saat yang lalu dirinya baru melahirkan.
Anto baru tiba di rumah sakit. Ia duduk di samping istrinya. Risau berumah di kepala. Sorot matanya redup yang makin menampakkan gelagat gelisahnya. Sesekali menatap wajah istrinya, lalu berpaling menatap kaca jendela yang masih tampak kemilau basah usai dicumbui gerimis sore.
Ini bukan perkara biaya rumah sakit yang konon kabarnya menembus dua digit. Hasil menjual dua ekor kambing dan beberapa karung gabah sebelum Ratri melahirkan masih cukup untuk menutup semua biaya, termasuk biaya untuk acara akikah nanti. Tetapi, lagi-lagi ini permasalahan kucing.
“Mas, sudah ketemu?” suara Ratri serupa gumam. Namun, masih bisa sampai ke gendang telinga Anto.
Anto menggeleng. Tersenyum getir, sebuah isyarat bahwa ia belum berhasil memenuhi keinginan istrinya.
“Aku mau kucing itu, Mas.”
Keningnya mengerut. Bersungut-sungut kesal pada suaminya. Sedang Anto hanya bisa menunduk. Gemetarlah hatinya mendengar ucapan istrinya yang itu-itu saja. Di saat perempuan lain usai melahirkan ingin mendekap anak yang telah ia jaga selama sembilan bulan, tetapi Ratri malah bersikukuh ingin bertemu seekor kucing.
Malam menjelang, hujan pun telah reda. Di tengah kegelisahan harus dengan cara apa ia menemukan kucing itu, Anto dikagetkan dengan permintaan Ratri yang tiba-tiba ingin bertemu anaknya. Betapa pun kondisi Ratri telah membaik. Bayinya tentu amat membutuhkan air susu ibunya.
Wajah Anto memucat. Ia tidak segera melaksanakan titah istrinya. Entah perasaan apa yang merasuki pikirannya, batin Anto malah dilanda cemas.
“Mas, bawa ke sini bayinya. Kalau Mas tidak bisa gendong, minta bantuan perawat,” Ratri makin bersungut-sungut melihat kelakuan suaminya.
Anto berkeringat dingin. Tapi, ia langsung menguasai diri dan pergi ke ruang di mana bayinya dirawat. Anto membopong bayi mungil. Dadanya meruah dengan perasaan yang sulit diterjemahkan.
Anto berjalan pelan menuju ruang rawat istrinya. Ia masih tercenung. Bukan ihwal kucing yang belum ia temukan, tetapi ada persoalan lain yang tak kalah pelik. Buah cintanya dengan Ratri kini ada di dekapannya. Batinnya harap-harap cemas, semoga kiranya Ratri dapat mengerti, bahwa ia telah melahirkan seorang—lebih tepatnya seekor—bayi kucing mungil yang terus menggeliat dari balik bedung, seolah haus air susu ibu.
KOMPAK Yogyakarta, Januari 2022.