Belakangan muncul narasi untuk menggaungkan politik identitas di kontestasi Pemilu 2024. Lebih jauh, narasi anti-politik identitas dituding sebagai tindakan sekulerisme. Jelas hal tersebut bertentangan dengan pernyataan Presiden Joko Widodo dan konsensus kenegaraan yang menolak politik identitas secara tegas.
Pernyataan Presiden Joko Widodo dalam menolak politik identas ini bukan tanpa alasan. Penolakan politik identitas didasarkan pada dampaknya yang sangat pahit. Politik identitas bisa menimbulkan gejolak di tengah-tengah masyarakat, seperti halnya ujaran kebencian, sentimen antarumat beragama, dan pengelompokkan masyarakat yang didasari rasa tidak suka.
Pribadi (2009) menggambarkan konsep politik identitas yang terjadi tahun 1990-an. Saat itu ada beberapa muslim Indonesia yang tergabung dalam pemikiran ghazwul fikri (invasi gagasan atau invasi budaya) menggelorakan gerakan anti-Barat. Hal ini meliputi budaya, film, model, makanan, gaya hidup, maupun pemikiran dan sikap Barat terhadap keagamaan. Mereka berusaha menolak secara terang-terangan apa yang terus dilakukan oleh pihak Barat.
Pada tahap selanjutnya, mereka mulai menginvasi gerakan keagamaan tradisionalis yang ada di Indonesia, seperti halnya tahlilan, khaul, ziarah kubur, dan kebudayaan yang lain. Corak keagamaan tradisionalis yang menurut mereka tidak sesuai dengan budaya Arab, disalahkan dan dianggap bertentangan dengan kebudayaan Islam. Sehingga, walaupun nilai keagamaan yang dipeluk sama, namun perbedaan kebudayaan membuat mereka buas dan menjelek-jelekkan kelompok lainnya. Inilah bahaya politik identitas yang apabila diangkat dalam Pemilu, bisa menimbulkan gejolak sentimen yang luar biasa.
Antipolitik Identitas, Sekularisme?
Tentu menjadi kajian yang menarik, jika ditarik kesimpulan bahwa anti-politik identitas berarti menganut paham sekularisme. Kita bisa melawan argumen ini dengan pemahaman ushul fikih pada salah satu kaidah, yaitu “Menolak mafsadah itu lebih diutamakan daripada mengambil manfaat”. Kaidah ini seolah memberi pengertian kepada kita untuk menelaah seberapa pentingnya politik identitas itu diterapkan di Indonesia.
Jika dilihat lebih teliti, kita dapat menemukan banyak problem pada penerapan politik identitas. Kebencian, sentimen ras keagamaan, dan bentrok antara kelompok, semuanya tidak bisa dipisahkan dari dampak penerapan politik identitas itu sendiri.
Sudah banyak agenda pemilu rusuh akibat politik identitas. Satu kelompok merasa lebih benar dibanding kelompok lain. Sehingga tidak ada toleransi terhadap kelompok yang berseberangan. Semuanya merasa benar, dan agenda politik harus dipertahankan mati-matian.
Meskipun di balik semua mafsadah tersebut, Islam sebagai agama mayoritas di Indonesia muncul sebagai agama yang diunggulkan. Agama yang bisa mendapat sorotan lebih banyak dibanding agama yang lain. Namun dengan menerapkan politik identitas, semua mafsadah yang telah disebutkan akan menimpa bangsa Indonesia. Maka dalam penerapan keagamaan yang benar, meniadakan politik identitas lebih utama daripada melaksanakannya.
Dan jelas peniadaan politik identitas seperti ini bukanlah termasuk tindakan sekularisme. Hal ini karena peniadaan politik identitas didasari atas nilai-nilai keagamaan. Peniadaan politik identitas mengandung nilai maslahat yang terkandung dalam setiap agama. Termasuk agama Islam sendiri yang berprinsip sebagai rahamatan lil alamin (rahmat bagi seluruh alam).
Fakta Politik Identitas di Indonesia
Meski demikian, kontestasi politik Indonesia dalam sejarahnya tidak bisa terlepas dari politik identitas. Misalnya, pesta demokrasi pemilihan presiden pada tahun 2014 silam. Pemilihan tersebut diwarnai oleh bumbu identitas keagamaan, seperti halnya klaim dukungan ulama, menggunakan gerakan salat Jumat di masjid Sunda Kelapa sebelum terdaftar di KPU, dan pertemuan penting dengan ulama seperti Rizieq Syihab di Mekkah untuk menegaskan dukungan ulama yang dimaksud.
Gerakan tersebut ramai menuai dukungan berlebih dari masyarakat hingga pada tahap hinaan kepada lawan politik. Ramai cibiran hingga fitnah yang bertebaran di media yang mencederai kontestasi politik tersebut.
Kemudian Pilkada DKI Jakarta 2017 juga memberikan dampak yang sama. Dampak paling parah, salah satu calon gubernur harus mendekam di penjara. Selain itu, gelombang penyuaraan dukungan di antara dua calon saling bersautan dan terlaksana di jalan-jalan. Dukungan yang disuarakan pada tahap lanjut, memberikan kebencian antara satu pihak dengan pihak yang lain. Sehingga bentrok berkepanjangan terus berlangsung.
Melihat dampak politik identitas yang kejam seperti itu, maka sebisa mungkin untuk menghindarkannya dari kontestasi Pemilu 2024. Adapun narasi anti-politik identitas sebagai tindakan sekularisme dapat dipatahkan dengan kaidah “Menolak mafsadah itu lebih diutamakan daripada mengambil manfaat”. Dengan semangat seperti itulah, politik identitas dapat dipatahkan berbarengan.