Ngateno, tetangga dekatku, kerja di Arab Saudi dan telah berangkat beberapa minggu lalu. Namun, anehnya dia telah pulang sore tadi. Berita ini sontak menghebohkan kampungku. Pasalnya, untuk berangkat kerja ke sana dia harus menjual sepetak lahan ladangnya. Ini sudah berangkat malah tiba-tiba pulang. Untuk itulah aku bersama rombongan jamaah salat maghrib menyempatkan datang menengok ke rumahnya.
Kulihat Ngateno tengah duduk berpangku tangan di ruang depan. Kami segera datang menghampiri.
“Bagaimana kau bisa pulang secepat ini, No? Kau sudah mengantungi pundi-pundi uang?” tanyaku tanpa tedeng aling-aling.
Ayah satu anak itu tak segera menjawab pertanyaanku. Ia garuk kulit kepalanya yang entah gatal atau tidak.
“Orang Arab itu nggak beres,” sahutnya kemudian.
“Bagaimana bisa kau katakan nggak beres?” aku semakin penasaran.
“Maunya sendiri. Apa-apa tak ada yang benar,” sahutnya lebih cepat.
“Bagaimana ceritanya?” tanyaku tak kuat menahan penasaran.
“Saat pertama kali aku nyopir aku sudah dapat kemarahannya.”
“Apa itu? Jangan bikin orang penasaran to, No. Ayo segera ceritakan.” Yang lain ikut nimbrung.
“Katanya jalan yang kulalui salah. Namun ketika aku putar balik dia malah memarahiku,” jawab Ngateno penuh emosi.
“Apa katanya tatkala melihat jalan yang kau ambil salah itu?” pertanyaanku berikutnya.
“Nyasar! Nyasar! Nyasar!!!”
Aku tertawa dalam hati, takut menyinggung perasaannya yang tengah gelisah.
“Itu bukan nyasar, No. Itu yasar, artinya kiri, kau diminta melewati jalur kiri atau memilih jalan belok kiri. Jadi, kau memang keliru!” Ngateno terperanjat seketika.
“Itu saja alasan kau dipulangkan?”
Rumah sempit itu terasa makin sempit dengan raut muka pemilik rumah yang tengah gelisah.
“Dua hari yang lalu aku keluar kota. Dan nasibku apes, bahkan semakin menjadi-jadi apesnya.” Tukasnya sedih.
“Bagaimana bisa?” tanyaku lagi.
“Ada batu besar di depan kami. Aku hendak menghindarinya namun juraganku malah menyuruhku untuk menabrakkannya.”
“Bagaimana permintaannya?”
“Hajar-hajar-hajaaar!” lantang Ngateno menirukan suara juragan Arabnya.
Aku tak kuat menahan tawa.
“Pantas saja. Dia beritahu kamu bahwa ada batu di depan kamu, karena hajar artinya batu. Dan kamu justru menghajar mobil juraganmu dengan menabrakkannya!”
Ngateno menangis, menyesal berangkat kerja ke Arab lewat jalur belakang tanpa belajar bahasanya terlebih dahulu.