Kepul asap dari tungku dapur membumbung ke corong atap. Mak Didit duduk di dekat tungku perapian menjaga bara api agar tidak padam. Sedang Didit menatap nyalang panci yang tengah dipanggang itu. Maknya segera mengangkat panci dari tungku. Ketika tutup panci yang sudah agak peyok itu dibuka, asap kukusan menguar aroma khas. Didit beranjak dari duduknya. Berdiri setengah berjinjit untuk melihat isi dalam panci tersebut.
“Nasi aking lagi, Mak?”
Maknya mengangguk lemah. Sedang tangannya cekatan memindahkan nasi aking yang masih panas ke dalam baskom. Didit bermuram durja. Ia berharap hari ini maknya memasak nasi baru.
“Makan saja apa yang ada. Mak tak punya uang.”
Didit melangkah gontai menjemput nasi aking hangat bertabur garam yang akan mengganjal perutnya hari ini. Tak ada yang istimewa, selain rasa hambar sedikit asin yang kadang kala menyangkut di tenggorokan ketika ditelan. Tidak terhitung sudah berapa kali sendok keluar masuk mulutnya. Tidak ada sedikit pun rasa lezat dari nasi sisa tersebut, selain hanya kenyang yang dirasakannya.
Didit segera menyelesaikan makannya karena teman-temannya sudah memanggil untuk berangkat mengaji. Bocah itu langsung berlari ke luar rumah. Mak memandangi Didit dari balik pintu. Bocah bertubuh kurus, berambut kusut tak terurus, dan berkaus lusuh itu terlihat berbeda di antara kerumunan anak-anak tersebut. Tentu. Mak sangat mengenali anaknya: bocah bertubuh ceking yang kerap kali dijuluki teri oleh teman-temannya. Tulang-tulang sangat kentara menonjol di balik kulitnya.
Didit sempat didiagnosa gizi buruk karena berat badan tidak seimbang dengan usianya. Kala itu di sekolahnya sedang mengadakan pemeriksaan kesehatan. Badan teman-temannya sehat dan kuat, sedang dirinya masih jauh dari kata ideal. Ini bukan kali pertama Didit diduga mengalami gizi buruk, sebab sedari kecil ia selalu memiliki berat badan yang jauh lebih kecil dibandingkan anak-anak seusianya.
Namun sampai saat ini Didit masih sehat dan kuat. Ia masih bermain bola dengan teman-temannya, membantu mak mencuci pakaian tetangga, sekaligus mengantarkan pakaian tersebut ke rumah-rumah pemiliknya. Pun pundak Didit juga masih mampu memikul air dari sumur yang letaknya setengah kilometer dari rumahnya.
Tubuh Didit yang kurus bersebab makanan yang mengisi perutnya tidak lebih dari nasi aking berbumbu garam. Maknya hanya mampu memberinya nasi sisa. Itu pun sisa makanan dari orang lain yang diberikan ketika Didit mengantarkan pakaian.
Mak Didit selalu menjaga agar tungku dapurnya tetap hangat dan asap dapur tetap mengepul di pagi hari. Kalau bukan untuk merebus air sudah pasti untuk menanak nasi aking. Mak Didit tahu, ia tak mungkin membiarkan tungkunya dingin. Sebab, asap dapur menjadi simbol agar tetangga selalu menganggap bahwa ia sedang menanak nasi.
Sebenarnya Didit sudah bosan dengan makanan itu. Kalau saja bisa memilih, ia tak ingin makan saja. Sebab, lidahnya sudah teramat bosan mengecap nasi aking rebus yang itu-itu saja. Namun, Didit tetap makan. Mak akan sedih kalau makanannya tidak dihabiskan.
Bukannya mak Didit tak peduli, ia juga menyadari kalau tubuh Didit teramat kurus. Tulang-tulang di wajahnya semakin menyembul di balik kulit. Sampai-sampai membentuk cekungan di bawah mata hingga membuat kedua bola matanya terlihat seperti mau loncat ke luar.
***
Malamnya hujan deras menyelimuti kampung. Kilatan halilintar turut membuat Didit menggigil ketakutan. Sementara badannya sedang sakit demam. Tubuhnya kejang-kejang. Didit takhenti merengek manja. Maknya hanya mengompres dan mengerok tubuh Didit dengan balsam. Ia menatap wajah sang mak dengan kantuk menggantung di pelupuk mata, sambil berkata, “Mak, biasanya Amir kalau sakit dikasih makanan yang enak-enak, semoga besok Didit bisa seperti Amir ya, Mak?”
Mak memandangi wajah Didit dengan mata yang mulai mengembun. “Tidurlah … besok akan mak usahakan,” balasnya.
Keesokan pagi panas di badan Didit takkunjung turun. Mak akhirnya membawa Didit ke puskesmas. Untunglah keluarga mereka memiliki kartu berobat gratis sehingga tidak perlu memikirkan biaya pengobatan. Selang infus menempel di tangan Didit. Tubuhnya tak lagi berdaya.
Apa yang dikatakan dokter tidak jauh berbeda ketika screening kesehatan di sekolahnya. Tubuhnya kekurangan asupan gizi. Dokter hanya memberikan obat-obatan dan vitamin untuk Didit. Maknya gelisah. Betapa pun ia lebih tahu, obat-obatan dan vitamin tidak akan berpengaruh banyak, bilamana makanan yang dimakan Didit tidak mengandung gizi sama sekali. Apa boleh buat, sepiring nasi baru tidaklah terjangkau untuk orang-orang di bawah garis kemiskinan seperti mereka.
Namun, keinginan Didit terwujud. Para tetangga yang menjenguknya membawa buah-buahan segar dan aneka kue. Ditambah bantuan bahan makanan dari gerakan pemerhati gizi turut disumbangkan untuk Didit. Bermacam lauk-pauk lezat dihidangkan semata agar menyumbang sedikit daging untuk membungkus tulangnya.
Kendati demikian, takada perubahan sama sekali. Semakin hari kondisi Didit kian memburuk. Tubuh Didit bertambah kurus. Semakin kurus. Hingga pada malam kesekian kalinya, tanpa disangka-sangka Izrail menjemputnya menghadap Tuhan. Tubuh Didit direbahkan di pangkuan maknya. Merengkuhkan lengan maknya untuk mencari kehangatan. Namun, badannya sudah telanjur dingin di sekujur tubuh.
Sekarang, Didit sudah terbujur dalam peti murah yang dihias aneka rupa bunga. Semata-mata agar terlihat bagus ketika ditonton puluhan pasang mata pelayat. Aroma yang menguar ketika memasak daging dan acar untuk acara tahlilan, tidak akan membuatnya mencapai kesejahteraan yang sebenarnya. Aneka makanan yang tersaji hanyalah sebatas ludah yang melewati kerongkongan sejenak, tanpa pernah mengeluarkannya dari bayang-bayang kemiskinan. Betapa pun asap dapur kembali kepada muasalnya: sekadar penutup aib agar tetangga mengira bahwa ia sedang menanak nasi.
Pacitan, November 2021.