Asrul Sani dan Gerak Kebudayaan

Di lautan sejarah kebudayaan Indonesia modern, ada nama Asrul Sani yang terus bergelombang dan berdiri di antara dua dunia, yaitu dunia ide (fikra) dan dunia gerakan (harakah). Ia bukan sekadar sastrawan, bukan sekadar sutradara, dan bahkan bukan sekadar organisator kebudayaan—melainkan perumus suatu cara berpikir tentang menjadi manusia Indonesia melalui kebudayaan.

Ketika bersama Nahdlatul Ulama (NU) membentuk Lesbumi (Lembaga Seniman Budayawan Muslimin Indonesia) pada awal 1960-an, ia sebenarnya sedang menegaskan satu tesis penting bahwa kebudayaan tidak boleh dilepaskan dari spiritualitas, dan bahwa Islam bukan lawan modernitas, melainkan fondasi moral untuk menghadapinya.

https://www.instagram.com/jejaringduniasantri/

Bahwa kebudayaan sebagai gerak, bukan warisan, Asrul pernah mengatakan, “Budaya itu kata kerja.” Ucapan ini tampak sederhana, tetapi sesungguhnya merupakan kritik filosofis terhadap cara berpikir masyarakat yang menjadikan kebudayaan sekadar benda mati—sesuatu yang dikoleksi, disakralkan, dan dipamerkan. Bagi Asrul, kebudayaan adalah tindakan manusia merespons keadaan, menjawab tantangan, dan mengolah kehidupan yang semakin kompleks.

Ketika hujan turun dan seseorang mengambil daun pisang untuk berlindung, kata Asrul, itulah kebudayaan. Dalam tindakan sederhana itu terdapat kesadaran praktis, intuisi, dan kreativitas — ciri khas manusia yang berbudaya. Artinya, budaya tidak selalu harus berbentuk karya besar seperti novel, film, atau tarian, tetapi bisa juga berupa tindakan kecil atau sederhana yang lahir dari kemampuan manusia menanggapi lingkungannya secara kreatif.

Pandangan ini mengandung dimensi eksistensial, manusia ada sejauh ia bertindak. Kebudayaan adalah cara manusia “menjadi” dan ”meng-ada”, bukan sekadar “memiliki”. Karena itu, baginya, tugas seniman bukan menjaga masa lalu, tetapi menafsirkan masa kini. Dengan cara berpikir seperti ini, Asrul melawan arus konservatif yang memandang budaya sebagai peninggalan nenek moyang yang harus dijaga bentuknya, tanpa keberanian untuk mengubah.

Di Lesbumi ada pergulatan ideologi kebudayaan. Lesbumi lahir dalam situasi politik yang penuh tarik-menarik pada awal 1960-an. Negara baru saja merdeka, tetapi wacana kebudayaan telah terpecah, di satu sisi ada Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat) yang berpihak pada ideologi komunis, menekankan fungsi sosial-politik seni, di sisi lain, ada kelompok kebudayaan yang menolak subordinasi seni pada ideologi apa pun, seperti Manifes Kebudayaan (Manikebu). Lesbumi muncul sebagai jalan ketiga—menawarkan paradigma (manhaj) kebudayaan berbasis Islam yang spiritual namun tetap modern.

Asrul, sebagai salah satu motor pemikiran Lesbumi, menolak dikotomi antara iman dan kemajuan. Ia menyadari bahwa kebudayaan Islam di Indonesia harus keluar dari posisi defensif — tidak cukup menjadi “warisan pesantren” atau “seni tradisi”, melainkan harus berbicara dalam bahasa zaman. Dengan kata lain, Islam harus kembali menjadi tenaga penggerak kebudayaan, bukan sekadar simbol moralitas.

Dalam berbagai pidato dan tulisannya, Asrul menegaskan bahwa seniman muslim tidak boleh hanya menjadi penonton modernitas. Ia harus masuk ke dalamnya, mengolahnya, dan memberi arah moral. Lesbumi tidak sekadar wadah organisasi, melainkan laboratorium gagasan, tempat di mana nilai-nilai keislaman diuji dalam praksis kebudayaan modern—film, teater, sastra, dan media massa.

Dari sinilah tampak bahwa Asrul Sani tidak memandang kebudayaan Islam sebagai entitas terpisah dari kebudayaan nasional. Ia menginginkan sebuah sintesis, Islam yang berakar di bumi Indonesia, tapi juga terbuka terhadap nilai kemanusiaan universal. Inilah bentuk humanisme religius yang ia perjuangkan.

Dibutuhkan dua entitas antara imajinasi dan institusi sebagai pisau analisisnya, sebab kebudayaan bagi Asrul bukan hanya gagasan, melainkan juga struktur. Ia memahami bahwa tanpa lembaga, gagasan akan menguap. Itulah sebabnya ia aktif membangun institusi seperti Dewan Kesenian Jakarta dan Lesbumi. Tindakan ini menunjukkan bahwa Asrul memadukan dua tipe pemikiran yang jarang bersatu, imajinatif dan organisasional.

Dalam dunia seni Indonesia, banyak tokoh besar hanya berhenti pada karya personal. Asrul berbeda. Ia sadar bahwa kebudayaan adalah ekosistem yang memerlukan ruang, aturan, dan kebijakan. Dengan mendirikan dan memimpin lembaga, ia menginstitusionalisasi imajinasi — sesuatu yang secara filosofis amat penting, karena mengubah kebudayaan dari sekadar ekspresi individual menjadi gerakan sosial.

Namun di sini juga ada paradoks bahwa setiap lembaga berpotensi membekukan semangat yang melahirkannya. Lesbumi, dalam konteks politik 1960-an, harus berhadapan dengan tarik-menarik ideologis yang keras. Ada saat di mana Lesbumi harus memilih antara otonomi seni dan loyalitas politik ke NU atau bahkan negara. Asrul menyadari risiko ini, tetapi ia memilih tetap berada di garis tengah, yaitu menggunakan lembaga bukan sebagai alat kekuasaan, melainkan alat dialog antara iman dan realitas sosial.

Bagi Asrul, seni sebagai jalan menuju manusia dan kemanusiaan. Jika Chairil Anwar mengekspresikan kemerdekaan individu melalui bahasa, maka Asrul Sani memperluasnya menjadi kemerdekaan kebudayaan melalui tindakan kolektif. Dalam pandangannya, seni adalah jalan untuk menemukan manusia dan kemanusiaan— seni bukan untuk politik, tetapi untuk memanusiakan politik. Ia menolak seni yang dogmatis, baik yang berbaju ideologi kiri maupun agama yang sempit. Baginya, Islam tidak membutuhkan propaganda seni, Islam membutuhkan seniman yang jujur terhadap pengalaman hidupnya.

Pemikiran ini sangat dekat dengan filsafat eksistensialisme yang sedang populer di zamannya. Asrul membaca Sartre, Camus, dan para pemikir Eropa, tetapi ia menafsirkan mereka dari sudut pandang Timur. Ia menolak nihilisme yang datang bersama modernitas, dan menggantinya dengan kesadaran religius yang aktif. Jika Sartre berkata bahwa manusia dikutuk untuk bebas, Asrul mungkin akan menambahkan: manusia juga dituntut untuk bertanggung jawab kepada Yang Ilahi.

Warisan dan relevansi Asrul kini lebih dari dua puluh tahun setelah kepergiannya (Asrul wafat pada 11 Januari 2004). Kita melihat bahwa banyak gagasan Asrul justru menjadi semakin relevan. Dunia digital dan globalisasi membuat budaya mudah terfragmentasi, manusia menjadi penikmat pasif, bukan pelaku budaya. Dalam konteks ini, kalimat Asrul “budaya itu kata kerja” menjadi kritik keras terhadap kita semua yang hidup di era algoritma dan konsumsi cepat.

Lesbumi, meski kini tidak seaktif masa lalu, meninggalkan warisan penting bahwa kebudayaan Islam bisa menjadi kekuatan kreatif, bukan sekadar simbol moral. Ia bisa berbicara dengan bahasa seni, sinema, sastra, dan diskursus intelektual tanpa kehilangan nilai spiritualnya. Asrul telah menunjukkan bahwa Islam dan kebudayaan tidak harus dipertentangkan — keduanya bisa menjadi dua wajah dari satu pencarian makna hidup manusia di tengah perubahan zaman.

Dengan demikian, Asrul Sani ada di antara keheningan dan gerak. Asrul Sani adalah cermin dari zaman yang gelisah, tetapi juga sumber ketenangan di tengah kegelisahan itu. Ia mengajarkan bahwa kebudayaan adalah kerja tanpa akhir, sebuah dialog terus-menerus (kontinuitas) antara yang lama dan yang baru, antara iman dan akal, antara lokalitas dan universalitas. Ia mengingatkan bahwa menjadi seniman bukan soal menciptakan karya indah, tetapi soal memberi arah pada peradaban. Maka, bila kita ingin memahami Asrul Sani bukan sebagai nama dalam buku sejarah, tetapi sebagai kesadaran yang hidup (keilmuan), kita harus meneladani keberaniannya untuk berpikir kritis—dan bergerak. Karena sebagaimana ia percaya kebudayaan hanya hidup sejauh manusia mau bekerja untuk kebudayaan.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan