Pondok Pesantren Kreatif Baitul Kilmah menyelenggarakan Halaqah Pendidikan Politik Santri pada Sabtu (15/7/2023). Halaqah bertema “Revitalisasi Fiqih Siyasi-Turost untuk Membangun Ideologi Politik Praktis 2024” ini aula Pesantren Kreatif Baitul Kilmah di Sendangsari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta.
Halaqah yang diikuti seluruh santri Baitul Kilmah ini menghadirkan Bupati Abdul Halim Muslih sebagai pembicara. Turut hadir sebagai nara sumber adalah adalah sejumlah intelektual muda Nahdlatul Ulama (NU), seperti KH Muhammad Yusuf Chudori (Gus Yusuf), KH Muhammad Nur Hayid (Gus Hayid), Wakil Ketua MPR RI Jazilul Fawaid, dan anggota DPRD DIY Aslam Ridlo.
Dalam halaqah tersebut, Abdul Halim Muslih mendorong kaum santri untuk belajar dan memahami dunia politik. Sebab, banyak masyarakat yang kehilangan arah atau orientasi dalam berpolitik. Lebih jauh, Abdul Halim Muslih menjelaskan bahwa konsep trias politica dalam sistem pemerintahan modern yang dikenalkan Montesquieu sesungguhnya sudah terdapat Al-Qur’an di surat Al-Imran ayat 104.
Menurut Abdul Halim, konsep Trias Politica yang dicetuskan oleh ilmuwan Prancis bernama Montesquieu pada tahun 1748 adalah konsep yang terlambat jika dibandingkan dengan konsep yang ada dalam Islam. Lebih dari 1000 tahun sebelumnya, Nabi Muhammad Saw telah menerima wahyu yang mengandung prinsip-prinsip yang mirip dengan Trias Politica yang dikemukakan oleh Montesquieu.
“KH Ahmad Ghozali Mashuri, salah satu tokoh NU mengungkapkan bahwa trias politica Montesquieu sudah terlambat lebih dari 1000 tahun dibandingkan Islam,” kata Bupati kelahiran Rembang itu.
Karena itu, ia mendukung kegiatan halaqah politik digalakkaan di kalangan santri. “Saya mendukung hal ini karena saat ini banyak santri dan masyarakat santri kita yang telah kehilangan orientasi politiknya dan bahkan mengalami disorientasi. Keadaan seperti ini harus segera kita selamatkan, salah satunya melalui halaqah politik,” ungkap Abdul Halim.
Abdul Halim juga menyampaikan harapannya agar santri dan masyarakat santri tetap mempertahankan orientasi politik mereka. “Agar para santri dan masyarakat santri tidak kehilangan orientasi politiknya. Dan alhamdulillah pada pagi siang ini kita dipertemukan dengan para intelektual santri yang tidak asing lagi bagi kita,” tambahnya.
Ia mengatakan, KH Dimyati Rois, salah satu ulama sepuh pada saat itu pernah mengatakan bahwa siyasah juz’un syar’iyyah, berpolitik itu bagian penegakan nilai-nilai syariat.
Sementara itu, Katib Aam PBNU, KH Abdul Malik Madani, mengatakan, bahwa nilai-nilai syariat ini berdasar pada tujuan-tujuannya dikenal dengan maqashid syariah, yaitu agama (hifdzu ad-din), diri sendiri (hifdzu an-nafs), keturunan (hifdzu an-nasl), harta (hifdzu al-maal), dan akal (hifduz al-‘aql).
Maqashid syariah itu bisa diwujudkan oleh lembaga-lembaga yang memiliki otoritas yang paling kredibel. Lembaga-lembaga yang memiliki otoritas untuk mewujudkan itu tidak lain adalah pemerintah dalam sistem pemerintahan yang mengenal atau yang mengadopsi konsep Trias Politica Montesquieu tersebut, yaitu eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Menurutnya, sangat penting bagi santri untuk secara konsisten merujuk kepada warisan pengetahuan yang telah ditinggalkan oleh para ulama. Hal ini bertujuan agar kita tidak tersesat dalam arah dan panduan politik.
“Inilah pentingnya bagi kita sebagai santri untuk selalu kembali kepada rujukan-rujukan yang telah diwariskan oleh para ulama kita agar kita tidak kehilangan orientasi di dalam politik,” tandasnya.