“Apa ibu tak salah dengar? Apa kamu tidak takut terkena kutukan leluhur!” Mariya berkata dengan sedikit menekan suaranya. Lampu teplok yang terbuat dari kaleng tersandar miring di atas dinding. Bayangan anaknya turut bergerak-gerak mengikuti ke mana arah angin menerpa api di atas sumbu.
“Tidak, Bu. Itu hanya mitos. Soal kutukan itu masih simpang siur kebenarannya,” kata Nurdin usai menambah minyak tanah ke dalam kaleng.
Ketegasan anaknya membuat perempuan itu merasa gamang. Ia sungguh tak menyangka akan tumbuh keinginan semacam itu dalam hati Nurdin. Sambil terus menganyam daun siwalan, Mariya berusaha menyingkirkan kengerian yang perlahan mengendap dalam kepalanya. Memang semua nasib manusia telah ditakdirkan oleh Tuhan, tapi bukan tak mungkin mara bahaya datang lewat perantara batu keramat itu.
“Saya tidak meniatkan diri membongkar batu itu, tapi saya hanya berniat untuk mencari nafkah.” Sekejap tangannya meraih jemari ibunya, seolah memberi kepastian bahwa semua akan baik-baik saja.
“Jadi kamu menerima tawaran orang berdasi itu?” tanya sang ibu penasaran.
“Saya terpaksa, Bu.”
Deg! Dada Mariya seperti tertimpa benda keras. Apa yang ditakutkan selama ini tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Tentang seonggok bukit di belakang rumahnya yang menyimpan banyak misteri.
Mariya menghela napas. Sepotong ingatan kembali muncul di kepalanya ketika beberapa alat berat yang tiba-tiba mogok sewaktu mau digunakan untuk membongkar batu. Konon, batu yang dikeramatkan itu tidak begitu dalam. Ada yang menaksir sekitar kedalaman sepuluh kaki orang dewasa. Namun, sampai saat ini masih belum ada satu pun orang yang berhasil meski menggunakan buldoser sekalipun. Tetap saja batu itu kokoh, seolah terpasung paku bumi.
Bulan terlelap di balik arak-arakan awan. Di halaman kunang-kunang berkelebat membelah temaram sinar rembulan. Mariya berharap Nurdin tidak benar-benar membongkar batu itu. Ada banyak alasan mengapa ia melarangnya, salah satunya karena batu itu dikeramatkan dan dipercaya sebagai peninggalan orang sakti terdahulu.
***
Masih sepi ketika Nurdin meninggalkan rumahnya. Sebuah cangkul ia letakkan di pundak, sedang tangannnya menenteng satu termos air dan sesisir pisang. Nurdin sengaja tak minta dibuatkan bekal pada sang ibu karena ia berangkat tanpa sepengetahuannya. Yang penting, kali ini ia harus berhasil menghancurkan batu itu agar bisa membeli sekarung beras biar tidak melulu makan singkong rebus setiap hari.
Di lereng bukit itu Nurdin tidak hanya seorang diri. Ia bersama dua kawannya yang sama-sama menyepakati kontrak membongkar batu tapal kuda dengan seorang mandor beberapa waku lalu. Langkah mereka seperti mengejar hewan buruan, berusaha mencengkeram jalan terjal menuju atas bukit. Ada banyak harapan yang kerap kali tumbuh setiap kaki mereka menjejaki jalan setapak. Mereka saling berbagi kesah menjalani hidup di tengah kemiskinan. Seperti kata Misnan misalnya, uang hasil membongkar batu nanti akan dibuat membeli rumah dan sepasang sapi sebagai mahar untuk melamar Syarifa. Berbeda dengan Nisma, upah hasil membongkar batu akan dibuat untuk mewujudkan mimpi ibunya agar sampai ke tanah suci. Di antara harapan-harapan itu, tentu mereka berharap cerita batu tapal kuda yang memakan korban tidak benar-benar terjadi. Mereka berharap cerita itu hanya kisah pengantar tidur waktu kecil dulu.
Di atas bukit, dekat pohon jati yang dikelilingi hamparan perdu terdapat lempengan batu besar. Tepat di tengahnya terdapat jejak sepasang kaki kuda. Tak begitu jelas, namun tak mengurangi kepercayaan masyarakat bahwa jejak itu merupakan tempat pemandian kuda Ki Emmar, salah satu pendekar sakti mandraguna. Dalam satu cerita disebutkan bahwa kudanya sangat setia menemani ke mana pun Ki Emmar pergi. Bahkan ketika sang tuan dikubur setelah tewas dalam peperangan, si kuda tetap berdiri di atas batu itu seolah menanti kedatagannya.
Matahari bersinar dengan terangnya. Peluh mereka bercucuran, menetes di lengan yang terlihat belang. Pekerjaan mereka terhambat akar-akar pohon yang menjalar di sekeliling batu. Saking susahnya parang yang digunakan tak bisa diayunkan untuk membersihkan akar-akar itu. Seakan ada kekuatan gaib yang berusaha menangkis setiap parang menyentuh permukaan akar yang nampak seperti jaring.
“Kita istirahat dulu,” ajak Nurdin sambil menyodorkan mangga yang ia petik di lereng bukit tadi.
“Aneh, ya. Seharian kita bekerja hanya bisa menggali sedalam ini,” ujar Misnan sambil mengipas-ngipaskan bajunya.
Memang aneh, tanah di sekitar batu terlihat seperti mengeras setiap cangkul diayunkan. Tak seperti ketika Nurdin menggali sumur, biasanya dalam sehari ia bisa menggali sampai kedalaman lima atau enam meter. Sedangkan di batu ini yang dikerjakan tiga orang tanpa henti hanya bisa menggali sedalam pinggang orang dewasa.
Pikiran-pikiran buruk menjalari seisi kepala mereka. Debar keraguan dan firasat tak nyaman semakin mencokol dalam dadanya. Remang senja di ufuk barat semakin temaram, membalut bayang-bayang ilalang dengan sebuah kehangatan. Mereka bermalam di atas bukit—agar menghemat waktu perjalanan pulang pergi dan lekas menyelesaikan pekerjaan.
Tengah malam di atas bukit, di tengah kesepian —samar-samar terdengar seperti lolongan serigala. Bebunyi makhluk melata berderik di balik pohon-pohon. Nurdin tak bisa memejamkan mata. Dua temannya mendengkur pulas beralaskan ilalang.
***
Besoknya Nurdin dikejutkan dengan Misnan yang ditemukan tergeletak di dekat batu tapal kuda dengan mata mendelik. Di dada sebelah kiri telihat memar serta terdapat bekas kaki kuda. Dadanya terlihat remuk seperti terbentur benda keras. Diam-diam kecemasan melanda hatinya. Ia berusaha terlihat tenang agar Nisma tidak semakin panik.
“Kita pulang saja, aku tak mau mati konyol di tempat ini,” lirih Nisma berujar. Wajahnya pucat seperti kain kafan.
“Bagaimana dengan pekerjaan kita?” tanya Nurdin, ragu.
“Sudah. Lupakan saja. Apa kau mau seperti dia!” telunjuknya mengarah ke arah Misnan yang tergeletak di atas tanah.
“Aku tak memaksamu, tapi lihat kita sudah menggali tanah di sekitar batu. Tanggung kalau kita tinggalkan.”
Nisma bergeming tak memberi jawaban pada Nurdin yang masih ngotot
***
“Lupakan saja batu itu, masih ada pakerjaan lain yang bisa kau kerjakan.”
“Tapi, Bu, upahnya sangat besar. Sayang kalau dilewatkan.”
“Apa kamu belum kapok dengan apa yang terjadi pada Misnan?”
“Itu sudah ajalnya dia, Bu. Setiap orang memiliki nasib masing-masing.”
Sambil berusaha meyakinkan ibunya, Nurdin menceritakan mega proyek yang akan dibangun di atas bukit. Dengan terperinci ia menuturkan tempat wisata yang akan segera berdiri di atas sana. Kata Nurdin proyek tersebut akan mengangkat strata sosial dan ekonomi warga kampung. Tak perlu lagi merantau atau bergantung hidup pada hasil tani yang tak tentu hasilnya. Warga bisa membuka warung makan dan toko di atas bukit jika proyek itu sudah rampung, ujar Nurdin meniru perkataan orang berdasi itu waktu menemuinya beberapa waktu lalu.
“Kau tahu? Itu sama saja merusak alam.”
“Apanya yang merusak? Itu pembangunan untuk kesejahteraan warga.”
Mariya menyerah dengan sikap keras kepala Nurdin. Duduk termenung dekat lampu teplok yang hampir tak mau menyala, Mariya berucap istighfar berkali-kali. Ia tak mau sesuatu yang buruk terjadi pada anaknya.
Tujuh hari setelah kematian sahabatnya, Nurdin dan Nisma kembali ke atas bukit. Alangkah terkejutnya mereka, lubang yang digali seminggu lalu rata dengan tanah. Nampak tak ada bekas galian, seolah tak terjadi aktivitas menambang batu.
Tak mau patah semangat, mereka kembali kerja keras menghancurkan batu tapal kuda itu. Kali ini mereka tak lagi menggali lubang, tapi langsung memukul batu itu secara bergantian hingga terlihat percikan api dari saking kerasnya palu dibenturkan ke permukaan batu. Benar saja, usaha mereka tak sia-sia. Lambat laun permukaan batu itu hancur kecil-kecil serupa kerikil.
“Jangan bermalam di sini lagi. Aku tak mau terjadi apa-apa pada kita,” ujar Nisma sambil memukul batu. Nurdin hanya membalas dengan anggukan kepala.
***
Besoknya warga kampung dikejutkan dengan teriakan seorang perempuan. Pagi yang sepi mendadak pecah dengan derap langkah kaki menuju arah datanganya suara itu.
“Nisma tewas,” ucap salah seorang pada warga.
“Tewas bagaimana?” tanya warga yang lain penasaran.
“Sangat mengenaskan. Dia tewas dengan mata mendelik, di dadanya juga ada bekas kaki kuda persis seperti Misnan waktu itu.”
Bulu kuduk mereka bergidik. Mereka tak pernah membayangkan hal semacam ini terjadi lagi di kampungnya. Baru kali ini warga digemparkan dengan temuan mayat yang sama-sama menyisakan jejak sepasang kaki kuda. Perlahan kecemasan berkelindan di dada para warga.
“Sepertinya batu itu akan memakan korban lagi. Kejadian ini persis seperti waktu kakek muda dulu.” Batuk mengguncang dada ringkihnya. Berpasang-pasang mata tertuju pada Ki Misdu, tetua kampung Toteker.
“Siapa pun yang mencoba membongkar batu tapal kuda akan berakhir mengenaskan,” jelasnya beberapa saat setelah berhasil mengatur laju napasnya.
Matanya menerawang ke sebuah peristiwa besar lima puluh tahun lalu ketika sejumlah warga ditemukan tewas secara misterius. Orang-orang itu mati ketika berusaha menghancurkan batu tapal kuda itu. Selain menyisakan jejak kaki kuda, tubuh mereka juga dipenuh memar dan tulang remuk.
“Batu itu dijaga oleh jelmaan kuda Ki Emmar, tak akan ada yang berhasil mengbongkarnya. Sekalipun mereka memaksa pasti akan berakhir dengan tragis.” Ki Misdu berpandangan dingin melihat bukit di balik kampung itu.
“Itu tidak benar. Saya tidak pernah melihat ada kuda di atas sana,” Nurdin membelah kerumunan. Orang-orang berpandangan sinis.
“Jadi kamu salah satu yang berusaha membongkar batu itu?”
Nurdin tergeragap. Tidak mungkin ia mengaku, bisa-bisa ia mendapat hukuman cambuk karena melanggar aturan adat.