Siklus kehidupan tidak pernah lepas dari dinamika atau persoalan sosial, budaya, dan agama yang kita sendiri tidak pernah menduga apa yang akan menimpa kita. Sebab, kita hanya aktor yang langsung disutradarai oleh Sang Pencipta.
Meski, barangkali ada segelintir dari kita yang bisa menerka apa yang akan terjadi di masa depan, tetapi itu hanya berlaku bagi kekasih-Nya. Dan, tidak menutup kemungkinan, kita juga bisa melakukan hal demikian, mendekatkan diri kepada Allah. Hanya, usaha yang harus kita kerahkan tidak sedikit alias banyak.
Statemen tersebut pernah dibuktikan oleh ulama terkemuka yang menyandang gelar Hujjatul Islam, Imam Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, yang dikenal luas akan ilmu tasawufnya. Nyatanya Imam al-Ghazali dulu tidak jauh berbeda dengan kita. Melakukan apa yang kita lakukan sekarang, seperti berdagang salah satunya.
Namun, setelah sang ayah wafat, al-Ghazali dan saudaranya dititipkan kepada ulama sufi. Nah, dari situlah al-Ghazali mencari guru. Hingga pada akhirnya al-Ghazali menulis banyak kitab tentang kebatinan. Salah satunya karyanya yang fenomenal adalah Ihya Ulumuddin.
Dari sekian banyak karya al-Ghazali, salah satunya adalah kitab Kimiya’us Sa’adah, yang diindonesiakan oleh KH A Mustofa Bisri (Gus Mus) menjadi buku berjudul Proses Kebahagiaan.
Buku ini banyak menjelaskan tentang masalah kebatinan yang sering menimpa kita. Apalagi seperti zaman sekarang yang seolah sudah tidak tahu kodrat kita di bumi. Sehingga banyak orang yang memberikan pertanyaan spesifik, siapa kita? Apa tujuan kita diciptakan? Mengapa kita harus diciptakan? Begitulah kita, ciptaan yang sudah lupa pada hakikat kita. Inilah yang sedang melanda manusia zaman sekarang.
Zaman sekarang kita sudah lupa pada esensi kita berada di bumi. Kita sudah tidak lagi mengenal aturan syariat yang semestinya patut kita dahulukan dari pada aturan yang lain. Kita sudah tidak mengerti apa itu iman dan Islam, sebab semua yang menjadi wajib, semenjak kita ditiupkan ruh, dilupakan begitu saja.
Oleh karenanya kita sudah tidak mengenal kita sendiri. Ketakwaan kita sudah direnggut oleh nafsu kebinatangan kita. Hal tersebut berimbas pada sikap dan perilaku kita yang acuh terhadap segala seusatu. Menurut Imam al-Ghazali, sikap dan prilaku syariat inilah sebenarnya esensi dasar ketakwaan kepada Allah (hal.13).
Pantaslah kita masih merasa sengsara meski berlimpah harta yang kita miliki. Banyak orang yang mengeluhkan ketidakadilan Allah dalam memberi rahmat-Nya. Padahal, kalau kita lebih datail dan cermat lagi dalam mendikte kehidupan yang kita jalani, tentu kita akan sadar sendiri, bahwa sebenarnya kitalah biang keroknya kehidupan yang kita jalani sendiri.
Mengapa demikian, sebab sikap dan etika kita sudah tidak melekat lagi dalam diri kita. Imam al-Ghazali dikenal dengan sifat warak, tawaduk, dan zuhudnya. Sehingga Imam al-Ghazali menemukan kebahagiaan yang sejati. Tidak heran meski kekurangan dalam segi materi, Imam al-Ghazali tidak pernah mengeluh, dan justru semakin mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Dengan budi pekerti yang baik, orang akan mencapai derajat kebahagiaan (hal.81).
Andaikata kita memberikan stimulus perihal untuk mendapatkan kebahagiaan yang hakiki, maka pernyataan yang konkret ialah melakukan hal—yang meliputi entah—dengan hati-hati dan diselingi sabar. Dengan demikian apa yang pernah dicapai oleh Imam al-Ghazali dapat kita raih pula.
Apa yang Imam al-Ghazali lakukan? Imam al-Ghazali hanya melakukan terapi qolbu, dengan cara menyingkirkan hal-hal duniawi. Sifat-sifat kemanusiaan dihilangkan dari hati. Sehingga hati akan terus tertuju kepada Allah semata. Dengan begitu, kita akan mudah mencapai kebahagiaan yang hakiki.
Sebab, tak ada kebahagiaan sejati kecuali Allah telah menghendaki kepada kita. Jiwa adalah hati yang kau kenal dengan mata hati dan merupakan hakikatmu yang dalam (hal.45). Oleh sebab itu, kita beramai-ramai memperbaiki hati kita yang tidak terkontrol ini. Jangan sampai pusat dari kebahagiaan ini luluh pada dunia.
Imam al-Ghazali sebenarnya sudah lama memprediksi hal yang akan terjadi di zaman sekarang ini. Maka dengan begitu kehadiran buku terjemahan ini mampu mendorong kita menjauh kebutuhan yang bersifat sementara dengan cara mengurangi ketergantungan pada yang duniawi. Apalagi kita sampai jauh pada Sang Pencipta. Maka jangan mengaharap kita akan mendapatkan kebahagiaan yang hakiki seperti janji-Nya dalam Al-Quran.
Oleh karenanya buku ini seolah menjadi wajib kita baca untuk merenungi kekhilafan kita selama ini yang menyimpang dari jalan semestinya. Akan menjadi wajib pula buku ini dibaca bagi mereka yang ingin benar-benar mencapai kebahagiaan sejati. Mari kita nikmati hidup ini dengan sebaik-baiknya, bukan dengan sebaliknya; melenceng. Wallahu A’lam.