Tegalrejo, salah satu kecamatan yang terletak di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, ini tampak tak asing bagi orang-orang yang bergelut di dunia pesantren. Sebab, di sana berdiri pondok pesantren terkenal bernama Asrama Perguruan Islam (API).
Pesantren API sendiri didirikan pada 15 September 1944 oleh seorang ulama karismatik bernama KH Chudlori. Kiai Chudlori merupakan sosok pribumi yang lahir dari pasangan Muhammad Ikhsan dan Ibu Mujirah. Ayah Kiai Chudlori merupakan seorang penghulu, mewarisi sang kakek, Abdul Halim yang juga penghulu di bawah pemerintahan Belanda. Abdul Halim merupakan seorang priyayi yang sangat dihormati oleh masyarakat setempat.
Kiai Chudlori tercatat malang-melintang ke berbagai pesantren dalam menimba ilmu agama. Setelah lulus mengenyam studi di HIS (Hollandsch Inlandcsh School) pada 1923, ia melanjutkan rihlah, pencarian ilmu menuju Pesantren Payaman. Pesantren Payaman sendiri merupakan sebuah pesantren di Magelang yang saat itu diasuh oleh Kiai Siroj.
Dikisahkan oleh Otong Nadzirin (dalam Jejak Auliya), bahwa terdapat cerita unik tatkala Kiai Chudlori nyantri di Pesantren Payaman. Saat itu, Kiai Chudlori yang baru berumur belasan tahun, harus pulang setiap bulannya untuk mengambil perbekalan. Uniknya, dirinya membawa perbekalan itu ke pesantren dengan cara dipanggul di pundaknya dengan berjalan kaki. Tentu hal tersebut merupakan suatu yang luar biasa yang dilakukan oleh seorang anak keturunan priyayi yang masih muda.
Tak sampai di situ, saat Kiai Chudlori menimba ilmu di Pesantren Tebuireng yang diasuh oleh KH Hasyim Asy’ari, dirinya lagi-lagi menampakkan jiwa kesederhanaannya. Saat itu Kiai Chudlori selalu mendapat jatah kiriman uang sebesar Rp 750 per bulan. Akan tetapi, dirinya hanya mempergunakan uang tersebut sebanyak Rp 150. Sedangkan, sisa dari uang tersebut kemudian dikembalikan lagi kepada ayahnya. Hal itu disebabkan Kiai Chudlori memilih melakukan laku riyadah agar mendapatkan ilmu yang bermanfaat. Di antaranya, ia hanya memakan singkong rebus, dan meminum air sisa rebusan singkong tersebut.
Selain itu, saat masih nyantri di Pesantren Tebuireng, Kiai Chudlori juga mempunyai metode sendiri ketika belajar. Saat itu Kiai Chudlori membuat sebuah kotak dari papan tipis yang sempit dan tidak nyaman untuk diduduki. Kotak tersebut ditempatkannya di antara loteng dan atap. Saat waktu belajar tiba, Kiai Chudlori akan naik dan duduk di atas kotak tersebut untuk belajar. Dengan begitu, Kiai Chudlori akan lebih bisa berkonsentrasi dalam menghafal dan memahami setiap pelajaran.
Selain itu, ia juga akan bisa belajar setiap harinya sampai tengah malam. Dan apabila tertidur sebelum tengah malam, Kiai Chudlori akan menghukum dirinya sendiri dengan cara berpuasa pada hari berikutnya. Hal tersebut dilakukannya dengan tanpa makan sahur.
Maka, setelah mengelana ke berbagai pesantren di Nusantara, Kiai Chudlori kemudian pulang ke kampung halamannya. Di sana Kiai Chudlori mengawali bahtera rumah tangga dan mendirikan sebuah pondok pesantren yang diberi nama Asrama Perguruan Islam (API). Makin lama pesantrennya pun makin besar, dan tahap demi tahap santrinya juga semakin banyak. Selain mengasuh pesantren, Kiai Chudlori juga berdakwah menyebarkan ajaran Islam di sekitar wilayahnya dengan cara berbaur dengan masyarakat setempat.
Begitu terlihat bahwa seorang Kiai Chudlori merupakan sosok yang sangat sederhana. Meskipun seorang anak priyayi, namun dirinya tak lantas sombong dengan hal itu. Bahkan, Kiai Chudlori rela melakukan laku tirakat atau riyadah, yang kadang-kadang malah akan “menyiksa” dirinya.
Konon, laku riyadah merupakan rutinitas sehari-hari hingga Kiai Chudlori wafat. Maka tak heran jika ia menjadi seorang ulama besar yang disegani dan memiliki karamah. Bahkan, Pondok Pesantren API yang didirikanya itu kelak juga menjadi pesantren “mu’tabarah” dengan berpuluh-puluh ribu santrinya. Dari asahan spiritual dan intelektualnya pula lahir seorang guru bangsa bernama Abdurahman Wahid (Gus Dur).