Dalam diskursus keislaman, mencari ilmu atau tholanul ilmi menjadi kewajiban bagi semua umat muslim tanpa terkecuali. Selain menjadi kewajiban, mencari ilmu juga mempunyai banyak keutamaan, salah satunya disebutkan dalam Al-Qur’an bahwa orang yang berilmu akan dinaikan derajatnya oleh Alloh SWT. Dalam proses pendidikan ini tentunya tempat dimana mencari ilmu itu mempunyai peran penting bagi perkembangan dan pemahaman thullab. Salah satu tempat pendidikan agama Islam khas indonesia dan sudah mencetak banyak ulama adalah pondok pesantren.
Pondok pesantren merupakan salah satu pendidikan Islam tertua yang ada di Indonesia. Pertama kali dikenalkan oleh Wali Songo sekitar abad ke 15-16 M. Selama berabad-abad, lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa. Maulana Malik Ibrahim (wafat 1419 M di Gresik Jawa Timur), yang dikenal Spiritual Father of Wali Songo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai gurunya para guru dalam tradisi pesantren di Tanah Jawa. Selain Maulana Malik Ibrahim, Raden Rahmat atau yang kita kenal Sunan Ampel (1401-1481 M) juga mendirikan pesantren yaitu Ampel Denta.
Sejarah lisan (oral history) yang berkembang di masyarakat Nusantara memberikan indikasi bahwa pesantren-pesantren tua dan besar di luar Jawa juga memperoleh inspirasi dari ajaran Wali Songo. Meskipun akar dan embrio pesantren bisa ditelusuri sejak periode Wali Songo, lembaga pendidikan Islam ini dalam pengertian modern hanya bisa ditemukan pada abad ke-18 dan ke-19.
Pesantren dan Perjuangan Kemerdekaan
Dalam perkembangannya, hampir semua pesantren dalam masa kolonial bergerak menentang penjajah pada masa penjajahan Belanda. Sejarah mencatat pejuang-pejuang nasional dari kalangan pesantren, seperti Imam Bonjol, Pangeran Diponegoro, Pangeran Antasari, Sultan Agung, Sultan Babullah, Sultan Hasanuddin, Teuku Umar, Cut Nyak Dien, Cut Meutiah, dan sebagainya.
Pada masa pendudukan Jepang, sejarah juga menyaksikan heroisme kalangan pesantren dalam melancarkan pemberontakan untuk memaksa Jepang pulang ke negerinya. Para pejuang dari pesantren pada masa penjajahan Jepang (sekadar menyebut beberapa nama) ialah KH Muhasan, KH Zainal Mustofa, H Madras, H Kartiwa, dan KH Husain. Mereka didampingi para santrinya dalam melawan Jepang di daerah Singaparna, Tasikmalaya, Cirebon, dan Indramayu.
Selama revolusi fisik (1945-1948), pesantren mengerahkan laskar-laskarnya, seperti Hizbullah, bersama rakyat bertempur mempertahankan kemerdekaan. Tidak sedikit pesantren dijadikan markas perjuangan rakyat. Ketika Surabaya dibombardir Sekutu pada 1945, Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari dari Pesantren Tebuireng lewat resolusi jihad pada 22 Oktober 1945 menfatwakan bahwa membela dan mempertahankan Tanah Air dari serangan musuh yang kafir lebih utama daripada menunaikan ibadah haji.
Resolusi jihad tersebut juga yang menjadi semangat perlawanan para pejuang kepada penjajah yang puncaknya pada 10 November atau yang kita peringati Hari Pahlawan. Karena pentingnya peran santri dan ulama dalam melawan penjajah khususnya setelah Resolusi Jihad, pemerintah menetapkan tanggal 22 Oktober menjadi Hari Santri Nasional.
Hal tersebut mengindikasikan bahwa peran pesantren dalam wacana kebangsaan sangatlah besar, terlebih para ulama pesantren Nahdlatul Ulama (NU) khususnya, sering menggaungkan gagasan “Hubbul wathon minal iman” yang artinya mencintai Tanah Air sebagian dari iman. Karena, para ulama percaya bahwa tidak mungkin menyebarkan syiar agama Islam kalau tanah airnya tidak aman. Oleh karenanya, para ulama walaupun Indonesia negara mayoritas Islam tidak mengenalkan konsep “Daarul Islam” atau Negara Islam, tetapi “Daarus Salam” atau negara yang damai.
Karakter Kebangsaan KH Hasyim Asyari
Wacana kebangsaan yang dibawa oleh pondok pesantren itu tanpa sebab. Selain diajarkan pendidikan Islam, dalam pesantren juga diajarkan pendidikan karakter kebangsaan. Dalam buku Kyai Haji Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri, Ahmad Baso memaparkan beberapa pendidikan karakter kebangsaan yang dilakoni KH Hasyim Asy’ari, sekaligus yang diajarkan kepada santri-santrinnya :
Pertama, pendidikan karakter pesantren berupaya mengajak bangsa ini untuk mandiri bukan hanya dalam soal ekonomi dan politik. Dalam pendidikan seperti ini, anak-anak kita diajarkan bahwa bangsa ini juga punya pengetahuan sendiri, tahu, dan berilmu. Ada kebanggaan tersendiri untuk tahu tentang dirinya sebagai bangsa, punya tradisinya sendiri, dan juga percaya diri bahwa mereka bisa melakukan kerja pengetahuan yang bebas dan mandiri.
Kedua, pendidikan karakter pesantren mengajarkan anak-anak didiknya untuk bergaul dan bersatu di antara sesama anak-anak bangsa se-Nusantara, apa pun latar belakang suku dan agamanya. Mereka diajarkan untuk saling berinteraksi secara harmonis di antara berbagai komunitas bangsa tersebut. Kalau ada perselisihan, mereka diminta untuk berdamai melalui mediasi para ulama pesantren atau yang ditunjuk oleh orang orang pesantren untuk memerankan fungsi mediasi tersebut.
Ketiga, pengetahuan diabdikan bagi kepentingan dan keselamatan nusa dan bangsa ini. Itu sebabnya pesantren mengajarkan berbagai jenis kebudayaan Nusantara yang akan menjadi alat perekat, pertahanan dan mobilisasi segenap kekuatan bangsa ini.
Keempat, karena pergaulannya yang begitu rapat dengan bangsa-bangsa lain di jalur perdagangan dunia di Samudera Hindia, orang-orang pesantren juga mengajarkan anak-anak bangsa ini cara-cara menghadapi dan bersiasat dengan bangsa-bangsa lain, terutama dengan orang-orang Eropa (kini Amerika) yang berniat menguasai wilayah di Asia Tenggara.
Kelima, orang-orang pesantren juga mengajarkan kepada anak-anak bangsa ini untuk memaksimalkan serta memanfaatkan segenap potensi ekonomi dan sumber daya negeri ini. Itu sebabnya pesantren hadir di dekat sumber-sumber mata air dan sumber-sumber kekayaan alam.
Dari pendidikan yang diajarkan oleh pendiri Jam’iyyah NU tersebut, menunjukkan bahwa peran pesantren dalam meneruskan perjuangan Wali Songo dalam membantu anak-anak bangsa ini memelihara segenap memori kolektif bangsa ini dari masa lalu tentang kejayaannya, tentang segenap pengalamannya berhadapan dengan bangsa-bangsa asing, hingga membantu mereka mengingat kembali perjuangan orang-orang yang berkorban untuk bangsa dan tanah air ini.
Mekanisme untuk itu dilakukan dengan memelihara sejumlah tradisi, ritual, upacara, dan segenap praktik-praktik keagamaan, kesenian, dan berkebudayaan. Seperti tradisi ziarah makam, penghormatan terhadap petilasan tokoh-tokoh penyebar Islam pertama atau nenek moyang pembuka desa pertama. Praktik-praktik ini menghubungkan satu generasi ke generasi berikutnya, dari satu komunitas ke komunitas lainnya, sehingga solidaritas berbangsa, persatuan dan kebersamaan di antara komponen bangsa ini, ikut terjaga.
Ulama dan santri yang merupakan pilar penting dalam pesantren menjadi garda terdepan dalam menjaga bangsa Indonesia, karena pesantren secara historis mempunyai andil besar mendirikan bangsa Indonesia. Karena itu, sulit dipercaya ketika seseorang yang membangun rumah malah dirusak sendiri.
Karenanya ketika ada orang yang mengaku-ngaku ulama atau santri dari pesantren tetapi tidak cinta tanah air atau ingin merusak bangsa Indonesia, maka perlu dipertanyakan kesantriannya atau keulamaannya.
Referensi:
- Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren Pendidikan Alternatif Masa Depan, (Jakarta: Gema Insani Press, 1997).
- Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren Perhelatan Agama dan Tradisi.
- Ahmad Baso, Kyai Haji Hasyim Asy’ari: Pengabdian Seorang Kyai Untuk Negeri.