Belajar Online Masa Pandemi, Perlukah?

21 views

Sejak tahun ajaran baru dimulai, saban pagi istri seorang juru parkir ini harus mengantarkan dua anaknya ke rumah tetangga, beberapa blok dari rumahnya sendiri. Kedua anaknya yang berseragam sekolah lengkap ini kemudian bisa mengikuti belajar online dengan cara menumpang smartphone milik anak tetangganya itu. Mereka tinggal di kawasan Depok, tak jauh dari ibu kota negara.

Sejak itu, bersama-sama, mereka mengikuti belajar online dari satu smartphone. Hal itu terpaksa dilakukan karena orangtua dari anak juru parkir ini tak mampu membelikan smartphone untuk anaknya, apalagi kalau harus dua sekaligus. Rasa malu, sungkan, dan tak enak hati dibuang jauh-jauh demi sang anak dapat mengikuti belajar online.

Advertisements

Di Bondowoso, Jawa Timur, banyak orangtua menarik kembali anak-anak mereka yang sudah diterima di SMA/SMK. Mereka kemudian memindahkan anak-anak mereka ke pondok pesentran yang sudah lebih dulu memulai tahun ajaran baru. Mereka menilai, belajar online yang diterapkan di SMA/SMK selama masa pandemi tidak efektif untuk mencapai tujuan pendidikan. Pilihan mereka jatuh ke pondok pesantren.

***

Istri juru parkir ini hanya satu dari jutaan orang yang mungkin mengalami nasib dan pengalaman yang sama saat berhadapan dengan segala tetek-bengek belajar online di masa pandemi. Dan, apa yang dirasakan para orangtua di Bondowoso itu juga pasti terjadi di daerah-daerah lain, di pelosok-pelosok Nusantara.

Dua peristiwa itu menggambarkan sekaligus dua sisi buram pendidikan di masa pendemi: ongkos pendidikan yang semakin mahal dengan hasil yang justru tidak optimal. Ilustrasi-ilustrasi berikut menguatkan tesis tersebut.

Begitu memasuki tahun ajaran baru (dan mungkin umumnya terjadi di sekolah-sekolah swasta), orangtua harus segera membayar ini: uang masuk sekolah untuk murid baru dan/atau uang daftar ulang untuk murid lama; uang seragam sekolah (untuk murid baru); uang pembelian buku-buku yang disediakan dan diwajibkan sekolah; dan masih ada lagi yang lain.

Cukup? Belum! Di masa pandemi ini, karena pembelajaran dilaksanakan secara online, setiap siswa sekolah “wajib” memiliki gadget. Entah smartphone atau personal computer (PC). Jika tak memiliki gadget, mana bisa seorang siswa dapat mengikuti belajar online. Jika dalam satu keluarga ada dua atau tiga anak yang bersekolah, entah SD, SMP, atau SMA, maka orangtuanya harus punya uang untuk membeli tiga gadget sekaligus.

Cukup? Belum! Tugas-tugas sekolah ternyata seabrek-abrek. Penugasan atau soal yang sering diberikan oleh sekolah sesaat menjelang belajar online dimulai, ternyata harus diprint. Tidak mungkin sepagi itu, dalam situasi menjelang dimulainya belajar online, para orangtua harus lari terbirit-birit untuk mencari jasa printing yang sudah buka. Alhasil, selain gadget, harus juga tersedia mesin printer pribadi. Sampai seorang kawan mengaku rumahnya sudah seperti kantornya: ada smartphone, PC, mesin printer, lengkap dengan kertar-kertasnya.

Cukup? Ternyata masih belum. Setelah segala peralatannya tersedia, orangtua masih harus menyiapkan paket data yang cukup agar gadget atau smartphone selalu tersambung dengan jaringan Internet. Soal apakah jaringan Internetnya kuat atau lemah, stabil atau labil, bukan urusan orangtua. Yang menjadi kewajiban orangtua adalah membeli paket data secukup-cukupnya.

Sekarang, coba bayangkan, bagaimana orang-orang miskin harus bisa menyediakan segala peralatan yang dibutuhkan untuk sekadar agar anaknya bisa mengikuti belajar online? Bagaimana orang-orang miskin ini harus membeli paket data secukup-cukupnya? Bagaimana para orangtua harus meninggalkan pekerjaannya karena harus mendampingi anak-anaknya mengikuti belajar online?

Padahal, di masa pandemi ini, jangankan untuk memenuhi kebutuhan tersier, untuk sekadar cukup makan agar bisa bertahan hidup saja sudah susah. Banyak orang harus utang kanan-kiri. Ekonomi kembang kempis. Begitu banyak orang kehilangan pekerjaan, tidak bisa bekerja secara normal, pendapatan menurun, dan yang masih bekerja gajinya pun dipotong. Itulah kenapa Badan Pusat Statistik telah memastikan bahwa akibat Covid-19, baru hingga data Maret 2020 angka kemiskinan sudah melonjak ke level 9,79 persen.

***

Fakta itu menunjukkan bahwa justru ketika masyarakat sedang terkenan dan mengalami kesulitan ekonomi, ongkos pendidikan malah menjadi semakin mahal karena harus online dengan pelaksanaan yang tidak efektif dan hasil yang tidak optimal. Jika kondisi demikian terus dipermanenkan seperti rencana Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan hingga akhir tahun ajaran 2020, dan pandemi belum juga berlalu, maka bisa dipastikan akan semakin banyak anak sekolah yang tak bisa mengikuti program belajar online ini. Ini akan menjadi kegagalan dunia pendidikan dalam beradaptasi dengan pandemi.

Karena itu, pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, beserta stakeholder pendidikan nasional harus menemukan solusi yang tidak semakin membebani masyarakat, terutama kaum miskin.

Ada beberapa pilihan yang perlu dipertimbangkan. Jika, misalnya, pemerintah tak mampu menyubsidi kaum miskin untuk belajar online, sebaiknya belajar online ditiadakan dan/atau tidak diwajibkan. Selama masa pandemi dan belum dimungkinkan belajar tatap muka, para siswa cukup diwajibkan belajar di rumah secara total dengan jam belajar yang fleksibel agar orangtua bisa memberikan pendampingan dan bimbingan. Plus, sesekali guru melakukan kunjungan ke rumah murid untuk melakukan pemantauan, termasuk dengan monitoring penyelesaian tugas-tugas belajar.

Ada contoh menarik yang dilakukan satu sekolah di Bekasi, Jawa Barat. Sekolah tersebut menyiapkan materi-materi ajar dalam format PDF dan pengajaran guru direkam dalam video lalu disimpan dalam DVD. DVD tersebut kemudian dibagikan kepada murid dan bisa disalin ke dalam flashdisk. Dengan kreasi demikian, para siswa sekolah tersebut dapat belajar dari rumah dengan jam belajar yang fleksibel tanpa harus online melalui, misalnya, aplikasi Zoom atau lainnya.

Pilihan lain, pemerintah bisa memberikan subsidi biaya pendidikan bagi kaum miskin, khususnya untuk yang belajar di sekolah-sekolah swasta. Jika pemerintah mengucurkan bantuan ke pondok pesantren hingga Rp 2,3 triliun selama masa pandemi, kenapa tidak untuk sekolah-sekolah swasta. Subsidi bisa berupa pembebasan uang SPP atau biaya lainnya. Dan, sebagai kompensasi terhadap sekolah-sekolah swasta yang kehilangan pendapatan, untuk sementara, selama masa pandemi, gaji guru dan biaya operasionalnya ditanggung pemerintah.

Ada pilihan lain lagi tapi sangat ektrem dan memang sulit untuk diterapkan: “penghapusan” masa belajar satu semester. Ini bukan hal yang tak pernah terjadi di Indonesia. Pada 1978, di masa Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Daoed Joesoef, ada “penambahan” satu semester atau pengunduran tahun ajaran baru satu semester. Hingga 1978, tahun ajaran baru jatuh pada Januari. Mulai 1979, tahun ajaran baru bergeser Juli hingga saat ini. Akibatnya, kenaikan kelas dan kelulusan ditunda satu semester.

Saat itu ada beberapa alasan sehingga kebijakan “kontroversial” itu muncul. Pertama, menyesuaikan dengan tahun anggaran sehingga memudahkan perencanaan anggaran pendidikan. Kedua, menyesuaikan dengan tahun ajaran baru di luar negeri yang memang terjadi pada Juli sehingga memudahkan siswa yang melanjutkan studi ke luar negeri. Ketiga, musim libur panjang di bulan Desember bersamaan dengan musim penghujan di Indonesia. Sehingga, meskipun libur panjang, anak-anak sekolah tak bisa liburan ke mana-mana.

Apa pun pilihannya, senyampang tahun jaran baru baru dimulai, harus segera dicari solusi agar pendidikan yang layak juga bisa dirasakan dan dinikmati oleh semua kalangan, baik yang kaya maupun yang miskin.

Multi-Page

Tinggalkan Balasan