Angin Agustus menyapu rambut Nisa, hingga terburai ke belakang, menjuntai-juntai, bertabur guguran cemara kering, dicucup suhu bergaram. Sejak seminggu lalu ia hanya bisa duduk bersimpuh di pantai itu, menangis di bawah pangkal cemara, sesekali memukul-mukul pasir, kadang melempar ranting dan kerap memanggil nama suaminya dengan suara nyaring memecah deru ombak. Sudah seminggu suaminya tak menepikan perahu, membuat hati Nisa miris dan selalu dihantui pikiran menentu.
Sudah berkali-kali keluarganya membujuk Nisa untuk pulang, tapi ia tidak mau. Dan berjanji tidak akan pulang, sebelum terlihat kibar bendera merah putih di tiang perahu suaminya menjarum langit di kejauhan, sebelum perahunya menepi, lalu ia bakal memeluknya, hidup atau mati. Tak ada cara lain yang bisa ditempuh keluarganya, kecuali hanya mengirimkan nasi setiap pagi, sore, dan malam, walau nasi-nasi itu jarang dimakan, hanya ditabur begitu saja di atas pasir.
“Kembalilah, Kak Suto!. Aku menunggumu di sini. Ini bulan Agustus. Bukankah setiap 17 Agustus kita merayakan upacara di pantai ini?. Aku tak sabar untuk menaikkan bendera di tiang perahumu itu ke tiang lain yang terbuat dari pohon cemara. Ayo pulang, Kak!” teriak Nisa sambil menuding ke arah laut. Air matanya leleh, melabuhi pipinya yang kusam. Teriakannya hilang didesau angin. Nisa mengulanginya lagi. Beberapa kali lagi. Namun Suto dan perahunya tak juga muncul. Timsar dan warga yang mencarinya, setiap kali menepi selalu dengan wajah masam dan nyaris tak bicara sepatah kata pun. Pertanda belum berhasil.
Takdir memang tidak bisa ditawar, apalagi dicegah. Malam hari, sebelum Suto berangkat melaut, Nisa sudah melarangnya dengan alasan angin Agustus sedang kencang, khawatir ombak akan menerjang. Tapi Suto tidak mau. Ia berdalih ingin jadi pemberani, berjuang tanpa rasa takut seperti kakeknya. Kebetulan kala itu, ia sedang membawa pulang selembar bendera pemberian kakeknya—yang biasa dipancang di ujung tiang perahunya—untuk diasapi dengan dupa dan disiram air kembang karena malam itu malam Jumat Legi. Bendera itulah yang selalu menyemangati Suto untuk terus berani menantang laut dan menaklukkan gelombang besar.