Karunia akal yang diberikan Tuhan menjadikan manusia sebagai makhluk yang sempurna. Secara khusus, akal diperuntukkan guna berpikir menggali ilmu-Nya. Bukan hanya sebagai penentu pilihan benar-salah, tetapi untuk keberlangsungan hidup dan menjadi manusia seutuhnya. Ini merupakan fitrah dari Tuhan. Manusia dengan segala kelebihan dan kekurangannya, diperintahkan oleh Tuhan untuk memperoleh pengetahuan menimba ilmu.
Melalui buku Islam Santuy ala Gus Baha (2020) ini, pembaca dapat melihat paradigma keilmuan Gus Baha yang luas sekaligus luwes. Meskipun beliau hanya lulusan ijazah pesantren, akan tetapi kecerdasannya tidak kalah dengan kalangan akademisi (hlm 3). Gus Baha seringkali menjadi rujukan ketika membahas suatu permasalahan, dan hasilnya diramu menjadi kajian yang ilmiah.
Gus Baha dikenal sebagai ulama fanatik ilmu. Ia selalu mengatakan kepada seluruh santrinya, jemaahnya untuk selalu belajar sebagai thalibul ‘ilm. BerIlmu merupakan suatu keharusan yang menjadi dasar pegangan setiap manusia. Dengan punya basis keluasan Ilmu, ia akan melahirkan sikap kemampuan yang luwes, fleksibel dalam membedakan yang benar dari yang salah, yang indah dari yang jelek, yang wajib dari yang sunnah, dan yang manusiawi dari sikap yang tidak manusiawi.
Dalam praksis persoalan fikih ibadah, Gus Baha mengingatkan untuk selalu memperhatikan aspek sosial dan dimensi solidaritas di sekitarnya. Artinya, kita dituntut untuk memahami perasaan senasibnya manusia secara umum. Karena bagaimanapun, sebagai agama yang diturunkan kepada umat manusia, seluruh tata aturan ibadah dalam Islam pasti memperhatikan sisi kemanusiaan manusia (hlm 26).
Jadi, misalnya ketika konteks salat berjamaah dan ditunjuk jadi imam salat. Maka, lihatlah kondisi para makmum. Kalau misal berada di jam istirahat kerja, maka bacaan suratnya tidak perlu panjang. Jangan sampai malah tergerus haddun nafsi, menampilkan sikap riya’ dengan membaca suratan panjang.
Peristiwa pembacaan surat-surat panjang, persis seperti yang dialami sahabat Muadz bin Jabal ketika menjadi imam salat. Ketika salatnya terlalu lama, ada sahabat lain yang mufaroqoh. Walhasil, dua-duanya melapor ke Rasulullah Saw, dan hal tak terduga, justru Muadz yang dimarahi oleh kanjeng Nabi. “Kamu kalau salat jangan lama-lama, bisa merusak Islam! Nanti akhirnya tidak senang salat karena kelamaan….”
Hal yang serupa juga berlaku di ruang lingkup pada di tingkatan hukum. Posisikanlah secara proporsional, yang fardhu harus diposisikan sebagai fardhu, yang sunnah juga harus diposisikan dalam koridor sunnah. Jangan sampai sunnah ditampakkan seolah wajib dan fardhu, sehingga agama nantinya menjadi sulit di mata orang awam serta bagi orang yang berniat masuk Islam.
Ihwal parenting, misalnya. Hal demikian juga perlu ilmu dalam mengelola tumbuh kembangnya anak. Seseorang (anak) dikenal sebagai hamba kebaikan (al-insan abdul ihsan) (hlm 68). Ia cenderung akan memilih terhadap sesuatu yang disukainya. Di sinilah orang tua harus berperan masuk supaya memberi kebebasan terhadap apa yang anak sukai, tetapi di saat yang bersamaan juga harus selalu diawasi supaya tidak kebablasan. Kekreativan orang tua dalam merawat, mendidik, dan membimbing besar kemungkinan anaknya tidak akan merasa kecewa dan kedekatanya juga tidak memudar terhadap orang tuanya.
Dengan fadhilah ilmu akan menuntun seseorang pada rasa syukur, mengakui keagungan Allah Swt meskipun diperhadapkan dengan peristiwa yang biasa. Gus Baha mencontohkan, entitas nyamuk untuk menunjukkan kebesaran Allah Swt. Kita tahu bersama, nyamuk diciptakan sebagai makhluk kecil, tetapi ia mampu menghisap darah manusia. Nyamuk yang kecil di dalam tubuhnya mereka juga terdapat urat-urat, di dalamnya lagi juga terdapat telor anak-anak mereka, belum lagi ketika berbicara mengenai sistem pernapasannya.
Kesemua itu kalau dianalisis dengan pikiran jernih pasti timbul pertanyaan, “Kok bisa? MasyaAllah.” Jka kita merenungi, mentadaburi semua penciptaan Allah, sudah pasti Allah Swt akan menampakkan kebesaran dan kuasan-Nya kepada umat manusia (hlm. 123).
Lebih lanjut, modal ilmu juga itu sangat perlu ketika masuk pada dunia perpolitikan berbangsa dan bernegara. Seringkali ada kelompok yang getol dengan lantang berteriak penegakan panji khilafah supaya tatanan sosio-politik menjadi ideal. Artinya, steril dari segala maksiat, korupsi, dan segala hal tindakan yang nonIslami lainnya. Padahal, jika menelisik Sirah Nabawiyah, di zaman Nabi Muhammad Saw sudah ada kaum musyrik, munafik, dan fasik. Maka dari itu pertanyaan terbesarnya adalah, ideal yang seperti apa dan bagaimana? Di zaman Nabi Muhammad yang benar-benar Nabi utusan Allah saja kondisinya sangat beragam.
Inilah pentingnya ilmu, pun ketika menyangkut aksi terorisme. Sasaran aksi bom bunuh diri atau teror seringkali ditujukan ke orang-orang kafir supaya dunia terlihat steril. Padahal dalam ajaran agama justru penekanan pada maqoshid syariah. Di sisi lain, Nabi tentu menginginkan umat yang masih nonmuslim dapat hidayah menjadi muslim. Jikalau dibom kemudian meninggal, dan meninggal dalam keadaan kafir, tentu itu akan menyebabkan masuk ke dalam neraka. Hal yang demikian pasti bukan harapan Nabi. Lagi-lagi penting sekali melestarikan dan mengedepankan fungsi akal sebagai fitur utama manusia, terutama untuk menghargai fitrahnya yang suci.
Dalam menghadapi berbagai persoalan; ibadah, muamalah, hingga sosio-politik memang harus berdasarkan perspektif keilmuan. Ilmu akan menstimulus sikap kita dalam bertindak. Orang yang mempunyai ilmu mendalam sudah tentu akan menjalankan sikapnya sesuai muqtadhol hal. Jika dalam kondisi damai, berbaur dengan masyarakat yang beragam termasuk berbeda dalam keyakinan. Maka, sikap yang dipertunjukkan mengedepankan rasa humanis, toleransi, moderat, dan egaliter.
Gus Baha hadir sebagai role model dengan membawa kesegaran yang santai, luwes, tapi berbobot. Di dalam majelis yang dibawakan, ia selalu membawa rasa optimisme bagi jemaahnya dalam berislam. Beragama dan berislam harus linier menampilkan kemudahan, keringanan, dan riang gembira.
Di sinilah pentingnya berislam yang berasaskan keilmuan, ia akan menghadirkan nilai-nilai keberimbangan yang seyogyanya harus dihadirkan secara ramah dan mudah demi terciptanya iklim keberagamaan yang proporsional nan sehat.
Data Buku
Judul Buku: Islam Santuy ala Gus Baha
Penulis: Tim Harakah ID
Penerbit: Harakah Books
Cetakan: II, November 2020
Tebal: 170 halaman